Membumikan Pancasila ditengah arus Radikalisme Agama
http://www.beritamalukuonline.com/2018/05/membumikan-pancasila-ditengah-arus.html
Oleh: Ibnu Salim Oat
(Direktur Lingkar Studi Islam dan Kebangsaan Kota Tual)
TERORISME dan Radikalisme menjadi paham dan gerakan yang tidak bisa dianggap pepesan kosong. Di tengah iklim demokrasi politik di Indonesia, semua ideologi radikal dapat berkembang secara masif. ironisnya mereka terlihat bebas untuk menyebarluaskan paham ideologinya bahkan dilakukan secara terbuka dan transparan. Terbukti mereka begitu mudahnya menyebarkan propaganda kebencian, pembunuhan hingga rumah ibadah pun dikorbankan.
Dalam konteks pengeboman 3 (tiga ) gereja di Surabaya merupakan sebuah penanda bahwa kewargaan kita mengalami keterpurukan sosial dalam menjaga haluan pancasila dari gerakan saparatis oleh sekelompok orang yang mengatas namakan agama untuk merusak prinsip keberagaman di republik tercinta.
pada sisi ini, Pancasila seolah dibenturkan dengan dalil agama sehingga menjebak para pemeluk agama kedalam konflik sosial.
Padahal secara tidak sadar, nilai-nilai Pancasila itu sejatinya bersumber dari nilai-nilai ajaran semua agama. Maka untuk merawat keberagaman Indonesia, diperlukan penegasan Pancasila sebagai agama publik.
Pancasila di sebut “agama publik”, karena ia mewakili nilai-nilai kepublikan dari semua agama. Persoalnnya tinggal bagaimana agama publik didefinisikan oleh setiap ajaran agama sehingga berlakulah inklusi sosial itu.
Dalam kaitan ini, perlu dipahami dua macam definisi agama. Pertama, definisi eksistensial. Kedua, definisi fungsional.
Dalam definisi pertama, agama merupakan nilai yang memiliki prasyarat eksistensialnya sendiri. Prasyarat ini berisi teologi, kitab suci, rasul, ritus dan umat. Sedangkan dalam definisi kedua, agama dilihat dari sisi kemanfaatannya, baik personal maupun sosial. Setiap agama memiliki eksistensi dan fungsi. Dan istilah “agama publik” merujuk pada fungsi sosial dari agama. Artinya, setiap agama memiliki nilai-nilai tentang kehidupan masyarakat yang baik, yang berguna untuk membuat masyarakat menjadi baik.
Meskipun dalam realitasnya, masih banyak orang beragama yang belum mampu mengembangkan sifat ketuhanan (meniru sifat kasih Tuhan) dalam keteladanan sosial dengan kata lain, format keberagaman kita masih terjebak pada pemujaan eksterioritas formalisme peribadatan semata, tanpa kesanggupan untuk menggali nilai spiritualitas dan moralitas ketuhanan dalam kewargaan.
Bahwa fungsi ketuhanan dalam sila Pancasila sejatinya diartikan sebagai “refleksi teologi dalam membangun kehidupan yang lapang dan toleran”.
Ini merupakan pengamalan nilai-nilai Ketuhanan yang berkebudayaan yang selanjutnya diamalkan melalui keterlibatan umat beragama dalam proses demokratisasi demi tercipatnya keadilan sosial bagi kehidupan bersama.
Sebetulnya Pancasila tidak hanya mengajarkan soal teologi inklusif, tetapi secara transformatif yang berkeadilan, Pancasila telah dianggap sebagai kitab kebangsaan yang menghormati keragaman konsep teologi antar-agama-agama. Dengan demikian, teologi Pancasila dapat dipahami sebagai teologi politik yang menggeser identitas individu dari sebatas umat beragama yang saling berbeda, menjadi kewargaan yang bersatu demi terwujudnya cita-cita kerakyatan. Inilah yang kemudian dimaksudkan sebagai teo-demokrasi. Kita mempraktikkan demokrasi karena perintah Tuhan.