Dari Kunker Komisi B DPRD Malra, Legalitas Pemerintahan Ohoi Dipertanyakan
http://www.beritamalukuonline.com/2017/09/dari-kunker-komisi-b-dprd-malra.html
Awaluddin Rado |
Anggota komisi B, Awaluddin Rado, Kamis (14/9/2017) menjelaskan, Komisi B dalam menjalankan tugas dan fungsinya terus melakukan pengawasan terhadap kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang dalam pengelolaannya bersentuhan langsung dengan hajat hidup masyarakat. Salah satunya dengan gencar melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama SKPD terkait dan ditindaklanjuti dengan Kunker guna membuktikan informasi dan data yang disampaikan dengan hasil yang terlihat dilapangan.
“Berdasarkan RDP yang dilakukan, kami komisi B selalu bertanya sejauh mana eksekutif dalam hal ini SKPD terkait mengeksekusi seluruh kebijakan programnya di desa/ohoi, dan jawaban yang kami terima selalu memuaskan disertai dokumen-dokumen pendukung. Berangkat dari informasi dan dokumen itulah kami mencoba menelusuri dan membuktikan kebenaran informasi yang disampaikan, data yang tertera dalam dokumen yang diberikan dan hasil yang terjadi dilapangan,” jelasnya.
Politisi muda Hanura ini mengatakan, mengingat Kei Besar memiliki luas wilayah serta jumlah desa yang lebih menonjol, maka kunker sementara dilaksanakan di wilayah Kei Besar dan kemudian dilanjutkan ke wilayah Kei Kecil.
Adapun 4 sektor utama yang menjadi prioritas dalam kunker yang dilakukan komisi B diantaranya pendidikan, kesehatan, perikanan dan pemberdayaan masyarakat desa/ohoi.
“Kami telah melakukan Kunker hampir di seluruh Desa yang ada di wilayah Kei Besar dengan 4 sektor utama yang menjadi prioritas, namun data dan presentasi yang disampaikan SKPD terkesan fiktif sebab yang kami temukan dilapangan sangat berbanding terbalik atau jauh dari fakta yang disampaikan, misalnya pemerataan tenaga guru, jumlah yang tertera didalam dokumen tidak sesuai dengan yang terlihat dilapangan,” tegasnya.
Rado menyampaikan, bahwa salah satu persoalan yang sangat fatal adalah pemerintahan ditingkat desa/ohoi. Pasalnya, berdasarkan Permendagri 112 Tahun 2014 bahwa pemerintahan desa adalah kepala desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Hal ini menjadi acuan terhadap pemerintahan ohoi yang hampir sebagian besar di Kabupaten Malra masih berstatus pejabat bukan kepala desa, sehingga pejabat dalam tupoksinya harus memahami bahwa tugas dan fungsi pejabat adalah sebagai panitia pelaksana pemilihan atau penetapan kepala ohoi definitif bukan seperti kenyataan yang terjadi dimana pejabat menjalankan dan mengambil alih tugas dan fungsi kepala ohoi definitif.
“Pejabat tidak memiliki hak untuk mengelola dana ohoi dan membentuk peraturan desa yang didalamnya memuat mekanisme dan tata kelola pelaksanaan pemerintahan ditingkat desa, entah ini sebuah kekeliruan ataukah kelalaian Pemda dalam hal ini dinas terkait untuk memberikan pemahaman,” katanya.
Tak hanya itu, perangkat desa yang terdiri dari Badan Musyawarah Desa Kabupaten Malra dikenal dengan Badan Saniri Ohoi (BSO) secara legalitas di SK kan oleh Kepala Daerah pada Tahun 2011 untuk seluruh ohoi di kabupaten Malra, namun dalam proses yang berjalan hingga Tahun 2017 ini ditemukan sekian banyak ohoi nama-nama yang tercantum dalam SK BSO terjadi kekosongan karena yang bersangkutan telah meninggal dunia.
Adapun persoalan lainnya ialah BSO tidak dilibatkan secara struktural dalam pelaksanaan perencanaan pembangunan di ohoi.
“Salah satu indikator BSO tidak dilibatkan karena mereka tidak memegang Anggaran Pendapatan Belanja Ohoi (APBO) dan hal ini terjadi diseluruh ohoi di Kei Besar,” ujarnya.
Senator asal Kei Besar ini menambahkan, hasil dari kunjungan kerja yang dilakukan komisi B akan dikonsultasikan ke Pemerintah Provinsi (Pemprov) dan Pemerintah Pusat dalam hal ini Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
“Hasil Kunker Komisi B akan ditindaklanjuti dalam hal ini akan dikonsultasikan kepada Pemprov maupun Pempus, terutama terkait dengan pelaksanaan pemerintahan di ohoi dan legalitas pemerintahan ohoi,” ujarnya.