Kasus Kredit Macet Bank Maluku: Tiga Terdakwa Dituntut Delapan Tahun
http://www.beritamalukuonline.com/2016/06/kasus-kredit-macet-bank-maluku-tiga.html
BERITA MALUKU. Jaksa penuntut umum Kejaksaan Tinggi Maluku meminta majelis hakim tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Ambon menjatuhkan vonis delapan tahun penjara terhadap tiga terdakwa kasus kredit macet pada PT Bank Maluku-Maluku Utara.
"Eric Matitaputty, Jusuf Rumatoras dan Marcus Fangahoe terbukti bersalah melanggar pasal 2 junc to pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," kata JPU Rolly Manampiring di Ambon, Kamis (30/6/2016).
Menurut jaksa, ketiga terdakwa juga terbukti melanggar pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana karena secara bersama-sama telah melakukan tindak pidana korupsi.
Pembacaan tuntutan jaksa disampaikan dalam persidangan dipimpin ketua majelis hakim tipikor, RA Didi Ismiatun didampingi Alex Pasaribu dan Bernard Panjaitan selaku hakim anggota.
JPU juga menuntut Eric membayar denda sebesar Rp200 juta subsider enam bulan kurungan dan rekannya Marcus Rp200 juta subsider enam bulan kurungan dan membayar biaya perkara Rp10.000 dan meminta majelis hakim menyatakan mereka ditahan.
Sedangkan terdakwa Jusuf Rumatoras dituntut membayar denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan dan uang pengganti senilai Rp4 miliar dan dibebani biaya perkara Rp10.000.
Eric Matitaputty dan Marcus Fangahoy adalah analis kredit pada BUMD milik Pemprov Maluku tersebut, sedangkan Jusuf Rumatoras adalah Direktur Utama PT Nusa Ina Pratama.
Satu terdakwa lainnya atas nama Matheus Adrianus Matitaputty alias Buce yang merupakan mantan Kepala PT BM-Malut Cabang Utama Ambon akan dituntut JPU pada Kamis siang karena sedang menjalani perawatan medis.
Menurut JPU, terdakwa Jusuf Rumatoras pada 2006 mengajukan permohonan kredit modal kerja pembangunan KPR Poka Grand Palace lewat surat permohonan nomor 99/ABN/NIP/200 tanggal 22 Maret 2006 yang ditujukan kepada pimpinan PT BM Cabang Utama Ambon sebesar Rp4 miliar.
Terdakwa kemudian melakukan wawancara dengan Eric Matitaputty selaku analis kredit dan mengatakan bahwa dana kredit bagi PT NIP diperlukan segera mungkin untuk membangun perumahan Pemprov Maluku di kawasan Poka guna menanggulangi korban kerusuhan atau bencana sosial Ambon yang tidak memiliki rumah.
Dalam mengajukan permohonan kredit, kata JPU, terdakwa Yusuf melampirkan sejumlah dokumen diantaranya IMB 648.3.1240 tanggal 26 Oktober 2005 atas nama Pemprov Maluku dan Wali Kota Ambon sebanyak 137 unit KPR tipe 75, 54 serta tipe 43 namun IMB tersebut buka atas nama PT. NIP.
Kemudian terdakwa mengajukan surat perjanjian kerja sama pemprov dengan PT NIP, surat persetujuan DPRD Maluku tanggal 5 Agustus 2005, surat ukur tanah dan sejumlah dokumen lainnya.
"Terdakwa juga menggunakan sertifikat hak pakai nomor 02 atas nama pemprov sebagai jaminan tambahan dalam permohonan kredit dan berjanji kepada saksi Erik Matutaputty bahwa dalam waktu dekat akan diserahkan sertifikat hak guna bangunan," kata jaksa.
Kemudian terdakwa Yusuf bekerjasama dengan Eric selaku analis kredit sehingga pada saat melakukan kunjungan nasabah tanggal 2 April 2007, Eric merekayasa berita acara kunjungan nasabah.
Dimana bukti kepemilikan atas jaminan tambahan dicatat dengan status SHGB atas nama PT NIP milik Yusuf, padahal kenyataannya status tanah seluas 18.220 meter persegi itu masih sebatas hak pakai dan pemiliknya adalah Pemprov Maluku.
Permohonan kredit ini akhirnya disetujui Matheus Adrianus Matitaputty selaku kepala cabang utama tanggal 30 April 2007 dan sampai akhir tahun 2008, terdakwa belum mengembalikan pinjaman tersebut.
Terdakwa juga mengajukan permohonan perpanjangan waktu pengembalian kredit, namun sampai saat ini yang dikembalikan hanya sebesar Rp300 juta.
Saksi Markus Fangohoy yang berkas dakwaannya terpisah juga berperan membantu Yusuf dengan cara menerbitkan dokumen pengusulan kredit untuk perpanjangan waktu kredit bagi PT. NIP selama satu tahun tanpa dasar jaminan yang jelas.
Perbuatan terdakwa diancam dengan pasal 2 juncto pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana juncto pasal 64 ayat (1) KUH Pidana.
Majelis hakim menunda persidangan hingga Rabu (13/7) dengan agenda mendengarkan pembelaan baik secara pribadi dari para terdakwa maupun dari tim penasehat hukum mereka.
"Eric Matitaputty, Jusuf Rumatoras dan Marcus Fangahoe terbukti bersalah melanggar pasal 2 junc to pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," kata JPU Rolly Manampiring di Ambon, Kamis (30/6/2016).
Menurut jaksa, ketiga terdakwa juga terbukti melanggar pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana karena secara bersama-sama telah melakukan tindak pidana korupsi.
Pembacaan tuntutan jaksa disampaikan dalam persidangan dipimpin ketua majelis hakim tipikor, RA Didi Ismiatun didampingi Alex Pasaribu dan Bernard Panjaitan selaku hakim anggota.
JPU juga menuntut Eric membayar denda sebesar Rp200 juta subsider enam bulan kurungan dan rekannya Marcus Rp200 juta subsider enam bulan kurungan dan membayar biaya perkara Rp10.000 dan meminta majelis hakim menyatakan mereka ditahan.
Sedangkan terdakwa Jusuf Rumatoras dituntut membayar denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan dan uang pengganti senilai Rp4 miliar dan dibebani biaya perkara Rp10.000.
Eric Matitaputty dan Marcus Fangahoy adalah analis kredit pada BUMD milik Pemprov Maluku tersebut, sedangkan Jusuf Rumatoras adalah Direktur Utama PT Nusa Ina Pratama.
Satu terdakwa lainnya atas nama Matheus Adrianus Matitaputty alias Buce yang merupakan mantan Kepala PT BM-Malut Cabang Utama Ambon akan dituntut JPU pada Kamis siang karena sedang menjalani perawatan medis.
Menurut JPU, terdakwa Jusuf Rumatoras pada 2006 mengajukan permohonan kredit modal kerja pembangunan KPR Poka Grand Palace lewat surat permohonan nomor 99/ABN/NIP/200 tanggal 22 Maret 2006 yang ditujukan kepada pimpinan PT BM Cabang Utama Ambon sebesar Rp4 miliar.
Terdakwa kemudian melakukan wawancara dengan Eric Matitaputty selaku analis kredit dan mengatakan bahwa dana kredit bagi PT NIP diperlukan segera mungkin untuk membangun perumahan Pemprov Maluku di kawasan Poka guna menanggulangi korban kerusuhan atau bencana sosial Ambon yang tidak memiliki rumah.
Dalam mengajukan permohonan kredit, kata JPU, terdakwa Yusuf melampirkan sejumlah dokumen diantaranya IMB 648.3.1240 tanggal 26 Oktober 2005 atas nama Pemprov Maluku dan Wali Kota Ambon sebanyak 137 unit KPR tipe 75, 54 serta tipe 43 namun IMB tersebut buka atas nama PT. NIP.
Kemudian terdakwa mengajukan surat perjanjian kerja sama pemprov dengan PT NIP, surat persetujuan DPRD Maluku tanggal 5 Agustus 2005, surat ukur tanah dan sejumlah dokumen lainnya.
"Terdakwa juga menggunakan sertifikat hak pakai nomor 02 atas nama pemprov sebagai jaminan tambahan dalam permohonan kredit dan berjanji kepada saksi Erik Matutaputty bahwa dalam waktu dekat akan diserahkan sertifikat hak guna bangunan," kata jaksa.
Kemudian terdakwa Yusuf bekerjasama dengan Eric selaku analis kredit sehingga pada saat melakukan kunjungan nasabah tanggal 2 April 2007, Eric merekayasa berita acara kunjungan nasabah.
Dimana bukti kepemilikan atas jaminan tambahan dicatat dengan status SHGB atas nama PT NIP milik Yusuf, padahal kenyataannya status tanah seluas 18.220 meter persegi itu masih sebatas hak pakai dan pemiliknya adalah Pemprov Maluku.
Permohonan kredit ini akhirnya disetujui Matheus Adrianus Matitaputty selaku kepala cabang utama tanggal 30 April 2007 dan sampai akhir tahun 2008, terdakwa belum mengembalikan pinjaman tersebut.
Terdakwa juga mengajukan permohonan perpanjangan waktu pengembalian kredit, namun sampai saat ini yang dikembalikan hanya sebesar Rp300 juta.
Saksi Markus Fangohoy yang berkas dakwaannya terpisah juga berperan membantu Yusuf dengan cara menerbitkan dokumen pengusulan kredit untuk perpanjangan waktu kredit bagi PT. NIP selama satu tahun tanpa dasar jaminan yang jelas.
Perbuatan terdakwa diancam dengan pasal 2 juncto pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana juncto pasal 64 ayat (1) KUH Pidana.
Majelis hakim menunda persidangan hingga Rabu (13/7) dengan agenda mendengarkan pembelaan baik secara pribadi dari para terdakwa maupun dari tim penasehat hukum mereka.