Masyarakat Adat Buru Ancam Sasi Adat dan Proses Hukum PT BPS dan Dinas ESDM Maluku
http://www.beritamalukuonline.com/2016/04/masyarakat-adat-buru-ancam-sasi-adat.html?m=0
BERITA MALUKU. Masyarakat adat Buru mengancam akan melakukan sasi adat dilokasi pengangkatan sendimen merkuri yang dilakukan PT. Buana Pratama Sejahtera (BPS) di seputaran kali Anahoni hingga Wasboli yang merupakan tempat pengumpulan sendimen, dan memproses hukum baik PT. BPS serta Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Maluku, karena dinilai telah melanggar aturan, dan tidak memiliki izin adat baik secara lisan maupun tertulis oleh pemilik hak ulayat.
“Upaya merupakan hasil tindaklanjut dari rapat terbuka yang berlangsung 20 April lalu, di Desa Kubalahing, yang dihadiri 40 tokoh adat dan kepala soa serta ribuan masyarakat adat,” ujar, A. Mustofa Besan, SH sebagai anak adat yang diberi gelar Jagalihong Baman Buru, di Ambon, Selasa (26/4/2016).
Dikatakan, walaupun PT. BPS sudah mengantongi Surat Perintah Kerja (SPK) dari Dinas ESDM Provinsi Maluku, namun pihaknya selaku masyarakat adat tetap menolak hal tersebut, sebagai upaya dalam rangka menegakkan hak ulayat adat.
Menurutnya, pengangkutan sendimen merkuri dan sianida yang dilakukan PT. BPS, hanya alasan untuk mengangkut material tanah guna dikelola menjadi emas.
Dirinya beranggapan, kalau hanya mengumpul atau mengangkut sendimen merkuri dan sianida tidak perlu memerlukan investor dari luar, mengingat masih ada banyak investor di daerah yang bisa dipergunakan dalam mengelola sendimen dimaksud.
“Kami sangat menyesalkan hal ini, apalagi sesuai undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang minerba, dikatakan pemanfaataan lokasi tambang diutamakan kepada masyarakat setempat atau masyarakat yang memiliki hak wilayat,” tuturnya.
Beber Amostoffa, dari tahun 2012 pihaknya sudah melakukan proses permintaan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) sejak pengelolaan hak pertambangan masih menjadi kewenangan Kabupaten sampai pengelolaan pertambangan dialihkan ke Pemerintah Provinsi. Dimana anggaran yang dikeluarkan untuk memproses IPR sudah mencapai ratusan juta.
Diantaranya izin IPR yang dilakukan oleh koperasi Lolitbupolo, dengan menurunkan tim dari ESDM Maluku yang dipimpin Martha Nanlohy, dari pemetaan sampai pembuatan titik koordinat telah dibayar hampir kurang lebih Rp. 400 juta.
"Sesudah itu kami melakukan proses izin di Pemerintah Kabupaten Buru, pada beberapa SKPD, yaitu Dinas Pendapatan, Dinas Perdagangan, Dinas Pertambangan dan Dinas lingkungan hidup guna memperoleh SITU, SIUP, TDP, HO, UKL dan UPL, namun nyatanya belum juga didapatkan, bahkan dana yang sudah dikeluarkan untuk mendapatkan izin yang diiginkan mencapai puluhan juta."
“Kami mempunyai semua nota pembayaran resmi ke bank. Dan yang lebih parahnya lagi, bukan koperasi Lolitbupolo yang memproses hal ini, namun ada empat koperesi lainnya, diantaranya koperasi Waitemun Mandiri, hakwilalet, omaewopu, fena kayeli, dengan membayar dokumen dan proses perizinan yang membutuhkan dana puluhan juta sesuai titik koordinat pemetahan yang dilakukan oleh tim yang dipimpin Kadis ESDM Martha Nanlohy,” ulasnya.
Dari hal ini, dirinya bersama seluruh tokoh adat Buru merasa dipermainkan dan dibodohi, mulai dari izin IPR dari tahun 2012 masih kewenangan Pemkab Buru dalam hal ini Bupati tidak kunjung dikeluarkan, sampai kewenangan izin Pemerintah Provinsi, yang sampai saat izin yang diproses belum terealisasi.
“Kami berharap dengan adanya IPR, masyarakat adat setempat yang harus diutamakan untuk melakukan proses pengolahan tambang secara tradisional, dan hal ini tercantum dalam undang-undang nomor 4 tahun 2009,” ucapnya.
Untuk itu, dirinya berharap Gubernur, DPRD Provinsi, Pemerintah Kabupaten Buru, segera menghentikan PT. PBS dalam pengangkutan material tanah, kemudian meninjau kembali SPK dan MoU antara PT BPS dengan Kadis ESDM Maluku.
“Apabila langkah-langkah ini tidak direspon oleh PT BPS maupun Kadis ESDM dan Kabupaten, maka kami akan melakukan upaya lain yang dapat memberikan satu kepercayaan kepada masyarakat adat bahwa hak wilayat akan kembali ke masyarakat,” pungkasnya.
“Upaya merupakan hasil tindaklanjut dari rapat terbuka yang berlangsung 20 April lalu, di Desa Kubalahing, yang dihadiri 40 tokoh adat dan kepala soa serta ribuan masyarakat adat,” ujar, A. Mustofa Besan, SH sebagai anak adat yang diberi gelar Jagalihong Baman Buru, di Ambon, Selasa (26/4/2016).
Dikatakan, walaupun PT. BPS sudah mengantongi Surat Perintah Kerja (SPK) dari Dinas ESDM Provinsi Maluku, namun pihaknya selaku masyarakat adat tetap menolak hal tersebut, sebagai upaya dalam rangka menegakkan hak ulayat adat.
Menurutnya, pengangkutan sendimen merkuri dan sianida yang dilakukan PT. BPS, hanya alasan untuk mengangkut material tanah guna dikelola menjadi emas.
Dirinya beranggapan, kalau hanya mengumpul atau mengangkut sendimen merkuri dan sianida tidak perlu memerlukan investor dari luar, mengingat masih ada banyak investor di daerah yang bisa dipergunakan dalam mengelola sendimen dimaksud.
“Kami sangat menyesalkan hal ini, apalagi sesuai undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang minerba, dikatakan pemanfaataan lokasi tambang diutamakan kepada masyarakat setempat atau masyarakat yang memiliki hak wilayat,” tuturnya.
Beber Amostoffa, dari tahun 2012 pihaknya sudah melakukan proses permintaan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) sejak pengelolaan hak pertambangan masih menjadi kewenangan Kabupaten sampai pengelolaan pertambangan dialihkan ke Pemerintah Provinsi. Dimana anggaran yang dikeluarkan untuk memproses IPR sudah mencapai ratusan juta.
Diantaranya izin IPR yang dilakukan oleh koperasi Lolitbupolo, dengan menurunkan tim dari ESDM Maluku yang dipimpin Martha Nanlohy, dari pemetaan sampai pembuatan titik koordinat telah dibayar hampir kurang lebih Rp. 400 juta.
"Sesudah itu kami melakukan proses izin di Pemerintah Kabupaten Buru, pada beberapa SKPD, yaitu Dinas Pendapatan, Dinas Perdagangan, Dinas Pertambangan dan Dinas lingkungan hidup guna memperoleh SITU, SIUP, TDP, HO, UKL dan UPL, namun nyatanya belum juga didapatkan, bahkan dana yang sudah dikeluarkan untuk mendapatkan izin yang diiginkan mencapai puluhan juta."
“Kami mempunyai semua nota pembayaran resmi ke bank. Dan yang lebih parahnya lagi, bukan koperasi Lolitbupolo yang memproses hal ini, namun ada empat koperesi lainnya, diantaranya koperasi Waitemun Mandiri, hakwilalet, omaewopu, fena kayeli, dengan membayar dokumen dan proses perizinan yang membutuhkan dana puluhan juta sesuai titik koordinat pemetahan yang dilakukan oleh tim yang dipimpin Kadis ESDM Martha Nanlohy,” ulasnya.
Dari hal ini, dirinya bersama seluruh tokoh adat Buru merasa dipermainkan dan dibodohi, mulai dari izin IPR dari tahun 2012 masih kewenangan Pemkab Buru dalam hal ini Bupati tidak kunjung dikeluarkan, sampai kewenangan izin Pemerintah Provinsi, yang sampai saat izin yang diproses belum terealisasi.
“Kami berharap dengan adanya IPR, masyarakat adat setempat yang harus diutamakan untuk melakukan proses pengolahan tambang secara tradisional, dan hal ini tercantum dalam undang-undang nomor 4 tahun 2009,” ucapnya.
Untuk itu, dirinya berharap Gubernur, DPRD Provinsi, Pemerintah Kabupaten Buru, segera menghentikan PT. PBS dalam pengangkutan material tanah, kemudian meninjau kembali SPK dan MoU antara PT BPS dengan Kadis ESDM Maluku.
“Apabila langkah-langkah ini tidak direspon oleh PT BPS maupun Kadis ESDM dan Kabupaten, maka kami akan melakukan upaya lain yang dapat memberikan satu kepercayaan kepada masyarakat adat bahwa hak wilayat akan kembali ke masyarakat,” pungkasnya.