Fenomena Banjir di Kota Ambon
http://www.beritamalukuonline.com/2016/03/fenomena-banjir-di-kota-ambon_12.html
Kota Ambon Butuh Lebih
Dari Sebuah Pemodelan Resiko Bencana
Oleh: Muhammad Rasyid
Angkotasan
AMBON merupakan
suatu wilayah yang memiliki potensi bencana yang sangat tinggi dan
juga sangat bervariasi dari aspek jenis bencana. Kondisi alam tersebut
serta adanya keanekaragaman penduduk dan budaya di Ambon menyebabkan
timbulnya risiko terjadinya bencana alam, bencana ulah manusia dan
kedaruratan kompleks, meskipun disisi lain juga kaya akan sumberdaya
alam.
Pada
umumnya bencana banjir & tanah longsor yang terjadi di Ambon,
disamping karena faktor alam juga karena ulah tangan manusia,
diantaranya karena banyaknya sampah yang dibuang sembarangan ke dalam
saluran air dan sungai yang menyebabkan selokan dan sungai menjadi
dangkal sehingga aliran air terhambat dan menjadi meluap dan
menggenang. Yang kedua, kurangnya daya serap tanah terhadap air
karena tanah telah tertutup oleh aspal jalan raya dan
bangunan-bangunan yang jelas tidak tembus air, sehingga air tidak
mengalir dan hanya menggenang.
Bisa
jadi daya serap tanah disebabkan ulah penebang-penebang pohon di
hutan yang tidak menerapkan sistem reboisasi (penanaman pohon
kembali) pada lahan yang gundul, sehingga daerah resapan air sudah
sangat sedikit. Faktor alam lainnya adalah karena curah hujan yang
tinggi dan tanah tidak mampu meresap air, sehingga luncuran air
sangat deras.
Kompleksitas
dari permasalahan bencana tersebut memerlukan suatu penataan atau
perencanaan yang matang dalam penanggulangannya, sehingga dapat
dilaksanakan secara terarah dan terpadu. Penanggulangan yang
dilakukan selama ini belum didasarkan pada langkah-langkah yang
sistematis dan terencana, sehingga seringkali terjadi tumpang tindih
dan bahkan terdapat langkah upaya yang penting tidak tertangani.
Topografi dan
geomorfologi Kota Ambon merupakan bagian kepulauan Maluku dari
pulau-pulau busur vulkanis. Sebagian besar berbukit dan berlereng
terjal, 73% luas wilayah berlereng terjal, dengan kemiringan di atas
20%. Hanya 17% wilayah daratan yang datar/landai dengan kemiringan
kurang dari 20%. Masyarakat memilih hunian pada daerah lereng atau
perbukitan karena daerah datar sudah terbatas dan mahal.
Berkembangnya permukiman
di kota juga dipengaruhi bertambahnya pendatang baru dari masyarakat
dari kabupaten/kota lain di wilayah Maluku yang menetap di kota ini
karena terkait dengan pendidikan, ekonomi dan lainnya. Pertumbuhan
penduduk yang tidak berimbang dengan ketersediaan lahan yang
terbatas, masyarakat cenderung membangun ke arah perbukitan yang
rawan longsor. 1 Agustus 2012.
Kejadian pada hari itu,
merupakan salah satu kejadian bencana yang disebabkan oleh akumulasi
hujan dengan intensitas sedang sampai dengan lebat, menyebabkan
terjadinya bencana tanah longsor dan banjir yang meliputi 5 wilayah
kecamatan yaitu Teluk Ambon, Teluk Ambon Baguala, Leitimur Selatan,
Sirimau dan Nusaniwe.
PERMASALAHAN DAN
SOLUSI
Model adalah representasi
suatu realitas dari seorang pemodal yang dihasilkan dari kegiatan
pemodelan. Tujuannya adalah untuk menjembantani atara dunia nyata
(real world) dengan dunia berfikir (thinking). Model
dibuat untuk membantu merumuskan dan menetapkan alternative
penanganan masalah setelah melalui proses simulasi. Dengan
menggunakan model, maka pemecahan masalah dapat dilakukan dengan
cepat dan tepat serta lebih ekonomis.
Didalam proses
interpretasi dunia nyata kedalam dunia model, berbagai proses
transformasi untuk menyajikan hasilnya bisa dilakukan misalnya dengan
interpretasi verbal dan interprestasi simbolik yang menghasilkan
model kuantitatif.
Secara universal
pemodelan adalah tentang bagaimana mengakali potensi bencana dengan
persamaan yang akan diaplikasikan sesuai bacaan pemodel. Namun lebih
dari pada itu Kota Ambon kiranya membutuhkan lebih dari pemodelan,
Kota Ambon membutuhkan solusi agar meminimalisir kerusakan dan
kerugian akibat bencana banjir ini sendiri.
PENATAAN RUANG AIR
SEBAGAI UPAYA PENGENDALIAN BANJIR
Tata ruang air adalah
bagaimana menata ruang daratan dengan memberikan tempat yang
semestinya bagi air untuk dapat masuk secara maksimal ke dalam tanah
melalui proses infiltration. Dengan demikian kapasitas run off air
menjadi minimal. Untuk mencapai hal ini maka bidang resapan air baik
di hulu dan hilir harus memadai.
Bidang resapan air di
bagian hulu yang paling baik adalah apabila fungsi kawasan hutan
dapat maksimal. Artinya, luas kawasan hutan yang ada harus dapat
menampung sebesar-besarnya jumlah hujan yang turun. Sedangkan di
bagian hilir, cara yang banyak dilakukan adalah dengan memaksimalkan
luas dan fungsi hutan kota, ruang terbuka hijau publik maupun
perorangan serta bidang resapan lainnya.
Hal lain yang mendasar
harus dipertimbangkan dalam tata ruang air adalah dengan memahami
bahwa air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah dan air
membutuhkan jalan (saluran) baik sistem alami (sungai, anak sungai)
maupun saluran buatan (saluran drainase). Saluran-saluran tersebut
harus dapat dilalui air dengan kapasitas maksimal sepanjang tahun.
Pada akhirnya air akan
bermuara ke laut. Sebelum mencapai laut air akan melewati pesisir
pantai. Di beberapa tempat alam telah menyediakan tempat parkir air
berupa rawa-rawa dan kawasan hutan bakau. Kontribusi curah hujan yang
tinggi di musim penghujan dan tingginya perubahan tataguna lahan
termasuk di wilayah hulu sungai merupakan penyebab utama terjadinya
banjir. Hal ini, tidak hanya berpengaruh pada saat debit tinggi atau
kondisi banjir, tetapi memberikan kontribusi yang cukup signifikan
pada saat debit rendah atau bahkan kekeringan.
Faktor penyebab
kekeringan sama persis seperti faktor penyebab banjir, keduanya
berperilaku linier dependent, yakni semua faktor yang menyebabkan
kekeringan akan bergulir mendorong terjadinya banjir. Semakin parah
kekeringan yang terjadi, semakin besar pula banjir yang akan menyusul
dan sebaliknya. Adanya perubahan kawasan hutan yang sebelumnya
merupakan daerah resapan air menjadi lahan pertanian, permukiman,
industri dan pertambangan bahkan menjadi hutan yang gundul membuat
air hujan yang jatuh langsung melimpas ke sungai, bukan masuk ke
dalam tanah. Berkurangnya daerah resapan air, mengakibatkan saat
musim kemarau aliran air ke dalam tanah menjadi berkurang.
Penataan Ruang dan
Manajemen Infrastruktur Dalam Penanganan Banjir
Bencana banjir yang
terjadi belakangan ini lebih disebabkan adanya eksploitasi tata ruang
(lahan) secara berlebihan. Tata ruang sendiri sebenarnya telah diatur
mulai dari perencanaan, pemanfaatan, dan pengendaliannya di dalam
Undang-Undang (UU) Penataan Ruang No. 26 tahun 2007, sebagai
penyempurnaan dari UU sebelumnya No. 24 tahun 1992. Namun kondisi
saat ini bahwa prinsip-prinsip penataan ruang masih belum
dilaksanakan secara optimal. Hal ini dapat dilihat dari masih
banyaknya proses pembangunan yang melanggar ketentuan di dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah, namun tidak ada sanksi yang tegas bagi
setiap pelanggaran tersebut.
Kaidah-kaidah utama dalam
UU Penataan Ruang yang mengedepankan keseimbangan antara kawasan
budidaya dan kawasan lindung dilanggar, padahal alam memiliki
kapasitas daya dukung tertentu. Situ-situ di kawasan perkotaan yang
secara alami terbentuk sebagai tempat parkir air di kala musim hujan
tiba diklaim sebagai daratan yang bisa dibudidayakan dengan
memanfaatkan teknologi. Sungai-sungai dialihkan alirannya dan bahkan
banyak yang ditutup untuk dibangun kawasan budidaya. Beberapa atau
bahkan sebagian besar fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai daerah
resapan air dirasakan tidak memberikan keuntungan secara ekonomi. Hal
itu diperburuk dengan semangat pemerintah daerah dalam mengejar
pendapatan daerah. Maka yang terjadi adalah perubahan fungsi
besar-besaran terhadap fungsi-fungsi resapan yang sangat dibutuhkan
untuk menjaga keseimbangan alam menjadi fungsi-fungsi budidaya yang
sangat tidak ramah lingkungan.
Saat ini tindakan yang
perlu segera dilakukan adalah mengembalikan fungsi kawasan-kawasan ke
fungsi awalnya yang lebih ramah lingkungan berdasar atas UU Penataan
Ruang. Memang bukan perkara sederhana untuk mengubah kembali fungsi
budidaya yang sudah terbentuk untuk dikembalikan menjadi
fungsi-fungsi yang ramah lingkungan yang notabene akan mengorbankan
kepentingan ekonomi. Namun apalah artinya kesejahteraan ekonomi yang
tinggi jika sewaktu-waktu bisa musnah dalam sekejap akibat bencana
banjir, belum lagi perasaan was-was setiap kali musim hujan datang
akan diikuti oleh banjir yang melanda.
Secara
umum banjir merupakan suatu keluaran (output)
dari hujan (input)
yang mengalami proses dalam sistem lahan yang berupa luapan air yang
berlebih. Kejadian atau fenomena alam berupa banjir yang terjadi
ahir-akhir ini di Indonesia memberikan dampak yang amat besar bagi
korban baik dalam segi material maupun spiritual. Untuk melakukan
suatu mitigasi bencana banjir maka diperlukan suatu pemetaan
daerah-daerah yang rawan terhadap bahaya banjir.
Lahan merupakan
sumberdaya penting yang memberikan informasi mengenai kondisi
lingkungan. Dari sudut pandang hidrologi informasi tersebut dapat
digunakan untuk teknik penyadapan mengenai karakteristik dan data
sumberdaya air, seperti pemetaan banjir, pemetaan batas-batas air
permukaan serta zonasi-zonasi wilayah yang mengalami pengendapan.
Secara realitas
permasalahan yang dihadapi oleh Kota Ambon berkaitan dengan penataan
kota ini adalah kurangnya RTH pada bagian dalam kota yang berfungsi
sebagai tempat penyerapan debit air agar kiranya dapat memaksimalkan
pengurangan genangan air pada wilayah permukaan. Hal ini pula dapat
membantu dimensi muka air tanah agar keseharian masyarakat dapat
secara perlahan terbantu.
SERIBU LUBANG BIOPORI
UNTUK AMBON SADAR BANJIR
Lubang
Resapan Biopori
atau
biasa disebut “Lubang
Biopori”
merupakan
metode alternatif untuk meningkatkan daya resap air hujan ke dalam
tanah. Metode ini pertama kali dicetuskan oleh Dr. Kamir R. Brata,
seorang peneliti seorang peneliti dan dosen di Departemen Ilmu Tanah
dan Sumber Daya Lahan, Institut Pertanian Bogor (IPB). Lubang Resapan
Biopori berupa sebuah lubang silindris yang dibuat secara vertikal ke
dalam tanah. Lubang ini akan memicu munculnya biopori secara alami di
dalam tanah. Biopori sendiri adalah istilah untuk lubang-lubang di
dalam tanah yang terbentuk akibat berbagai aktifitas organisme yang
terjadi di dalam tanah seperti oleh cacing, rayap, semut, dan
perakaran tanaman. Biopori yang terbentuk akan terisi udara dan
menjadi tempat berlalunya air di dalam tanah.
Prinsip
kerja lubang peresapan biopori sangat sederhana. Lubang yang kita
buat, kemudian diberi sampah organik yang akan memicu biota tanah
seperti cacing dan semut dan akar tanaman untuk membuat rongga-rongga
(lubang) di dalam tanah yang disebut biopori. Rongga-rongga (biopori)
ini menjadi saluran bagi air untuk meresap kedalam tanah.
Manfaat
Lubang Biopori
Lubang
resapan biopori
adalah
teknologi sederhana yang tepat guna dan ramah lingkungan. Lubang
biopori ini mampu meningkatkan daya resap air hujan ke dalam tanah
sehingga mampu mengurasi resiko banjir akibat meluapnya air hujan.
Selain itu, teknologi ini juga mampu meningkatkan jumlah cadangan air
bersih
di
dalam tanah.
·
Meningkatkan daya
resapan air
Lubang
resapan biopori mampu meningkatkan daya resap air hujan ke dalam
tanah. Hal ini akan bermanfaat untuk: Mencegah genangan air yang
mengakibatkan banjir, peningkatan cadangan air bersih di dalam
tanah, dan mencegah erosi dan longsor
Dengan
adanya lubang biopori akan mencegah terjadinya genangan air
yang secara tidak lansung dapat meminimalisir berbagai masalah yang
diakibatkannya seperti mewabahnya penyakit malaria, demam berdarah
dan kaki gajah.
·
Mengubah sampah
organik menjadi kompos
Sampah
organik
yang dimasukkan ke dalam lubang biopori akan dirubah menjadi kompos
oleh satwa tanah seperti cacing dan rayap. Kompos atau humus ini
sangat bermanfaat bagi kesuburan tanah. Selain itu sampah organik
yang diserap oleh biota tanah tidak cepat diemisikan ke atmosfir
sehingga mengurangi emisi gas rumah kaca (CO2 dan metan) yang
mengakibatkan pemanasan
global
dan
menjaga biodiversitas dalam tanah.
·
Memanfaatkan fauna
tanah dan akar tanaman
Lubang
biopori memicu biota tanah dan akan tanaman untuk membuat
rongga-rongga di dalam tanah yang menjadi saluran air untuk meresap
ke dalam tanah. Dengan adanya aktifitas ini menjadikan kemampuan
lubang peresapan biopori senantiasa terjaga dan terpelihara.
Biopori
memiliki segudang manfaat secara ekologi
dan
lingkungan, yaitu memperluas bidang penyerapan air, sebagai
penanganan limbah organik, dan meningkatkan kesehatan tanah. Selain
itu, biopori juga bermanfaat secara arsitektur
lanskap
sehingga
telah digunakan sebagai pelengkap pertamanan
di
berbagai rumah
mewah
dan
rumah minimalis yang menerapkan konsep rumah hijau. Biopori kini
menjadi pelengkap penerapan kebijakan luas minimum ruang
terbuka hijau
di
perkotaan bersamaan dengan pertanian
urban.
Bahkan pemerintah Kota
Sukabumi
sangat
menganjurkan ruang terbuka hijau memiliki biopori.
Biopori
mampu meningkatkan daya penyerapan tanah terhadap air sehingga risiko
terjadinya penggenangan
air
(waterlogging)
semakin kecil. Air yang tersimpan ini dapat menjaga kelembaban tanah
bahkan di musim
kemarau.
Keunggulan ini dipercaya bermanfaat sebagai pencegah banjir. Dinding
lubang biopori akan membentuk lubang-lubang kecil (pori-pori) yang
mampu menyerap air. Sehingga dengan lubang berdiameter 10 cm dan
kedalaman 100 cm, dengan perhitungan geometri
tabung
sederhana
akan didapatkan bahwa lubang akan memiliki luas bidang penyerapan
sebesar 3.220,13 cm2.
Tanpa biopori, area tanah berdiameter 10 cm hanya memiliki luas
bidang penyerapan 78 cm persegi. Biopori telah dibuat di berbagai
tempat di Jakarta
dengan
tujuan untuk mengurangi risiko terjadinya genangan air. Selain di
Jakarta, biopori juga dibuat di daerah yang tidak memiliki risiko
banjir. Biopori tersebut bermanfaat untuk menjaga keberadaan air
tanah
dan
kelestarian mata
air.
Biopori menjadi alternatif penyerapan air hujan di kawasan yang
memiliki lahan terbuka yang sempit. Di Puncak,
Bogor,
biopori dibangun untuk mengembalikan fungsi penyerapan air di kawasan
tersebut sehingga kondisi hulu sungai Ciliwung
menjadi
lebih sehat. Sejak dijadikan sebagai perkebunan teh, kawasan villa,
dan kawasan wisata, Puncak mengalami penurunan kemampuan penyerapan
air hujan sehingga risiko erosi
dan
peluapan air sungai di musim hujan menjadi lebih besar.
Namun
menurut penelitian oleh LIPI,
biopori tidak mampu mencegah banjir, namun efektif dalam menangani
genangan air. Dengan dimensi pori-pori yang kecil, maka laju
penyerapan air dikatakan relatif lebih lambat dibandingkan dengan
debit aliran air ketika terjadi banjir bandang
Pemerintah
Kota Ambon diharapkan dapat focus pada penanganan banjir yang selama
ini menjadi hal yang menakutkan dengan beragam ancamannya, kiranya
Pemerintah dapat lebih intensif dan dapat membuat sebuah langkah maju
demi meminimalisir potensi bencana banjir dengan pengadaan biopori
dalam jumlah yang cukup untuk menekan air di permukaan.
(Penulis adalah
Mahasiswa S1 Teknik Sipil UMI-Makassar)