HUT Pattimura ke 198: Latupati Ambil Api di Gunung Saniri
http://www.beritamalukuonline.com/2015/05/hut-pattimura-ke-198-latupati-ambil-api.html
Prosesi pembuatan dan pengambilan api di puncak gunung tertinggi di Pulau Saparua pada Kamis (14/5) tersebut, dipimpin Raja Negeri Tuhaha Merry Tanalepy dan saniri negerinya (dewan adat).
Peringatan Hari Pattimura jatuh setiap 15 Mei, sedangkan pada 2015 sebagai peringatan ke-198 terhadap tokoh pahlawan nasional itu.
Prosesi adat setahun sekali tersebut juga disaksikan para raja dan saniri negeri di Pulau Saparua serta ribuan warga yang datang dari berbagai daerah.
Dewan Saniri Desa Tuhaha selama ini lebih berhak menyelenggarakan prosesi itu, karena Gunung Saniri merupakan wilayah petuanan Desa Tuhaha.
Para raja dan kepala adat yang mengikuti prosesi tersebut, mengenakan pakaian tradisional yang didominasi warna merah dan hitam, begitu juga sebagian besar masyarakat Pulau Saparua.
Mereka juga membawa parang dan salawaku (tameng) sebagai lambang heroisme dan keberanian.
Pengambilan api di puncak Gunung Saniri untuk mengingatkan kembali kepada para generasi muda akan semangat dan heroisme Thomas Mattulesy yang bergelar "Kapitan Pattimura" bersama para pejuang lainnya, saat pertemuan akbar untuk menyusun strategi penyerangan terhadap penjajah pada 1817.
Sebelum prosesi, para ahli waris bersama para latupati menggelar ritual adat di rumah bekas tempat tinggal keluarga Pattimura di Desa Tuhaha. Di rumah tersebut tersimpan pakaian serta parang dan salawaku yang pernah digunakan Pattimura saat memimpin perang melawan penjajah.
Setelah itu, keluarga dan para latupati yang menggunakan pakaian serba hitam dan bagian lehernya dihiasi "lenso" (sapu tangan) adat bercorak merah-hitam, berjalan menuju puncak Gunung Saniri.
Mereka dikawal puluhan pemuda bertelanjang dada, menggunakan celana berwarna merah dan ditangan terhunus pedang, sambil menarikan tarian "cakalele" (tari perang).
Proses hingga menghasilkan "unar" atau titik api yang akan digunakan menyulut obor induk itu hanya bisa dilakukan oleh keturunan Pattimura, yakni dari Marga Matakena, Tatipikalawan, dan Polattu, serta dipimpin Raja Negeri Tuhaha Mery Tanalepy.
Wakil dari tiga marga itu bertugas menggosok dua bilah bambu, di mana pada bagian bawah salah satu bambu telah diletakkan "parung" atau serabut kelapa yang mudah terbakar, hingga menghasilkan panas dan titik api untuk membakar serabut kelapa yang telah dihaluskan dan diletakkan di bawah sebilah bambu.
Mereka hanya membutuhkan waktu kurang dari lima menit untuk menghasilkan titip api. Titik api itu, membakar "parung" yang kemudian digunakan untuk menyalakan obor induk sepanjang satu meter serta dua obor pendamping dengan ukuran masing-masing 60 centimeter.
Ratusan warga yang mengikuti proses pengambilan api sontak berteriak dan histeria saat obor Pattimura dinyalakan, sehingga menimbulkan suasana heroisma di puncak Gunung Saniri, diiringi tarian cakalele dan suara tabuhan tifa serta tiupan tahuri (kulit bia).
Api yang dihasilkan dari gesekan dua bilah bambu digunakan untuk menyulut lentera yang telah dipersiapkan, dan api pada lentera kemudian digunakan menyulut obor Pattimura.
Api pada lentera tersebut tidak boleh padam selama arak-arakan obor berlangsung hingga pada puncak peringatan Hari Pattimura yang dipusatkan di Lapangan Merdeka Saparua, Jumat.
Setelah prosesi pengambilan api, obor Pattimura kemudian dibawa lari secara estafet mengelilingi Pulau Saparua oleh para pemuda dengan dikawal para penari cakalele yang menggunakan parang, tombak, dan salawaku.
Saat tiba di Negeri Haria, dilakukan upacara singkat serta pembacaan 17 butir ikrar dan sumpah Kapitan Pattimura bersama kawan-kawannya untuk berperang melawan penjajahan Belanda.
Ikrar tersebut, isinya memperjuangkan kembali status sosial, ekonomi, hak asasi manusia serta agama, dan hukum masyarakat Pulau Saparua dan Maluku yang telah dirampas oleh kolonial Belanda.
Setelah arak-arakan, obor tersebut diserahkan kepada Upulatu (pemimpin) Maluku Said Assagaff yang juga Gubernur Maluku. Gubernur menyulut obor induk di Lapangan Merdeka Saparua, saat puncak peringatan itu.
Lapangan itu letaknya bersebelahan dengan Benteng Duurstede milik Belanda pada masa lalu yang kini menjadi saksi bisu heroisme perang Kapitan Pattimura bersama para pahlawan asal Maluku pada 14 Mei 1817. (ant/bm 10)