Rakyat Menjerit, DPRD MBD Dinilai Tak Produktif
http://www.beritamalukuonline.com/2015/04/rakyat-menjerit-dprd-mbd-dinilai-tak.html
Ambon - Berita Maluku. Dua periodesasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Kabupaten Maluku Barat Daya, 2010-2014 dan 2014-2019, dituding tidak becus, tidak berkualitas dan tidak produktif.
Ketika masyarakat menjerit akibat kelangkaan stok Bahan Bakar Minyak (BBM) dan sulitnya memperoleh akses transportasi, informasi dan komunikasi, mayoritas anggota DPRD MBD justru hidup enak di sejumlah hotel mewah di Kota Ambon, sebut saja Amboina Hotel, Marina Hotel, Hotel Elisabeth, Hotel Mutiara, Swissbel Hotel, Hotel Manise, Penginapan Royal, Wisma Game dan penginapan-penginapan melati di ibu kota Maluku ini.
Tatkala pegawai-pegawai negeri sipil (PNS) dan honorer kategori dua (K-2) harap-harap cemas menanti nasib mereka yang belum jelas, anggota dewan terhormat dari Bumi Kalwedo sibuk melakukan perjalanan dinas dan studi banding ’cuci busi daging’ di sejumlah Kota Besar di Tanah Air, Jakarta, Surabaya, Batam, Denpasar, Makassar dan Menado.
DPRD MBD juga dianggap tidak produktif karena minim melahirkan produk hukum, Peraturan Daerah (Perda) selama kurun hampir 6 tahun terakhir. Padahal, untuk kedua kalinya ketua DPRD MBD Sauloro Chau Petrusz menjabat posisi serupa.
DPRD MBD masa bakti 2010-2014 layak disebut gagal total mengemban seluruh aspirasi rakyat di wilayah perbatasan RI-Timor Leste-Australia itu.
’’Anggota dewan asal MBD nih dong mangarti (sombong). Banyak yang seng tahu apa-apa, tapi bikin diri su kaya profesor saja, padahal sekolah jua seng batul-batul,’’ protes Simon Mauleky, salah satu warga MBD kepada Berita Maluku di Ambon, Rabu (15/4/2015).
Menurut Simon, tersendat-sendatnya pelayanan publik dan pemerintahan semata-mata disebabkan DPRD MBD sebagai representasi suara rakyat tidak mampu menjalankan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi), legislasi, budgeting, dan pengawasan dengan baik. Mereka hanya memakan gaji dan tunjangan selama 5 tahun. Nasib rakyat kurang dipedulikan.
’’Apa yang mau diharapkan dari kinerja DPRD MBD yang asal-asalan macam begitu, sudah kurang berkualitas dan tidak produktif, tapi tidak mau belajar memperbaiki kekurangan. Mereka lebih berorientasi proyek, uang dan jabatan ,’’ kesalnya.
Simon melihat komposisi anggota DPRD MBD yang mayoritas diduduki para tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat menyebabkan pihak legislative tidak mampu memproduksi Perda yang mampu mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan pemerintah dan masyarakat setempat.
’’Kan lucu kalau anggota Dewan tak paham apa itu SILPA (Sisa Lebih Penyesuaian Anggaran). Lebih menyedihkan kalau anggota DPRD MBD meminta tambahan armada pesawat perintis ke Kemhub RI untuk melayari rute ke MBD, padahal Bandara di Moa dan Kisar saja belum tuntas dikerjakan. Jadi, anggota dewan di MBD itu mereka hanya sok-sokkan pakai 2-3 ponsel, eksen dengan kaca mata hitam, dan bicara basar, tapi kualitasnya nol. Ini memang kesalahan rakyat memilih wakil rakyat,’’ sindirnya. (bm09/bm07/bm10)
Ketika masyarakat menjerit akibat kelangkaan stok Bahan Bakar Minyak (BBM) dan sulitnya memperoleh akses transportasi, informasi dan komunikasi, mayoritas anggota DPRD MBD justru hidup enak di sejumlah hotel mewah di Kota Ambon, sebut saja Amboina Hotel, Marina Hotel, Hotel Elisabeth, Hotel Mutiara, Swissbel Hotel, Hotel Manise, Penginapan Royal, Wisma Game dan penginapan-penginapan melati di ibu kota Maluku ini.
Tatkala pegawai-pegawai negeri sipil (PNS) dan honorer kategori dua (K-2) harap-harap cemas menanti nasib mereka yang belum jelas, anggota dewan terhormat dari Bumi Kalwedo sibuk melakukan perjalanan dinas dan studi banding ’cuci busi daging’ di sejumlah Kota Besar di Tanah Air, Jakarta, Surabaya, Batam, Denpasar, Makassar dan Menado.
DPRD MBD juga dianggap tidak produktif karena minim melahirkan produk hukum, Peraturan Daerah (Perda) selama kurun hampir 6 tahun terakhir. Padahal, untuk kedua kalinya ketua DPRD MBD Sauloro Chau Petrusz menjabat posisi serupa.
DPRD MBD masa bakti 2010-2014 layak disebut gagal total mengemban seluruh aspirasi rakyat di wilayah perbatasan RI-Timor Leste-Australia itu.
’’Anggota dewan asal MBD nih dong mangarti (sombong). Banyak yang seng tahu apa-apa, tapi bikin diri su kaya profesor saja, padahal sekolah jua seng batul-batul,’’ protes Simon Mauleky, salah satu warga MBD kepada Berita Maluku di Ambon, Rabu (15/4/2015).
Menurut Simon, tersendat-sendatnya pelayanan publik dan pemerintahan semata-mata disebabkan DPRD MBD sebagai representasi suara rakyat tidak mampu menjalankan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi), legislasi, budgeting, dan pengawasan dengan baik. Mereka hanya memakan gaji dan tunjangan selama 5 tahun. Nasib rakyat kurang dipedulikan.
’’Apa yang mau diharapkan dari kinerja DPRD MBD yang asal-asalan macam begitu, sudah kurang berkualitas dan tidak produktif, tapi tidak mau belajar memperbaiki kekurangan. Mereka lebih berorientasi proyek, uang dan jabatan ,’’ kesalnya.
Simon melihat komposisi anggota DPRD MBD yang mayoritas diduduki para tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat menyebabkan pihak legislative tidak mampu memproduksi Perda yang mampu mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan pemerintah dan masyarakat setempat.
’’Kan lucu kalau anggota Dewan tak paham apa itu SILPA (Sisa Lebih Penyesuaian Anggaran). Lebih menyedihkan kalau anggota DPRD MBD meminta tambahan armada pesawat perintis ke Kemhub RI untuk melayari rute ke MBD, padahal Bandara di Moa dan Kisar saja belum tuntas dikerjakan. Jadi, anggota dewan di MBD itu mereka hanya sok-sokkan pakai 2-3 ponsel, eksen dengan kaca mata hitam, dan bicara basar, tapi kualitasnya nol. Ini memang kesalahan rakyat memilih wakil rakyat,’’ sindirnya. (bm09/bm07/bm10)