Lambang Marga Pariela Dan Horhorouw, Jadi Korban Pijakan Di Trotoar
http://www.beritamalukuonline.com/2015/03/lambang-marga-pariela-dan-horhorouw.html
Untuk mendapatkan kejelasan mengenai ikon adat tesebut, maka Berita Maluku menemui praktisi adat Pdt. Christ Tamaella, S.Th pada Minggu (15/3/2015).
Menurut Tamaella, symbol adat Maluku adalah ekspresi dari kehidupann leluhur dimasa lampau berhubungan dengan 3 hal yakni: hubungan antara manusia dengan pencipta, manusia dengan alam, serta hubungan dengan sesama manusia.
Lebih lanjut Tamaella menuturkan, hubungan manusia dengan penciptanya dapat diketahui melalui tanda tanda kebesaran, sedangkan manusia dengan alam tergambar lewat interaksi manusia dengan mahluk ciptaan, misalnya ada burung yang pada kelompok Nunusaku di sebut dengan “manutura” artinya ayam jantan yang dihormati Selain itu juga menurutnya interaksi antara manusia dan alam tidak hanya sebatas symbol tetapi juga nama marga, yakni marga Sapulete artinya melompat ke tempat yang tinggi (lette= gunung) ataupun marga Hattu yang berarti batu.
Dijelaskan olehnya, symbol pada trotoar yang ditemuinya, ada yang menggambarkan empat penjuru mata angin dan burung talang, pada simbol bagian tengahnya terdapat lingkaran hitam yang di sebut Fuse Pariela, pusat dari lingkaran besar.
“Bagian itu adalah sentral, dimana manusia alam dan Tuhan menyatu disitu."
Menurut pencipta lagu pela ini, fuse sesunguhnya adalah pusat persaudaraan yakni relasi antar sesama manusia tanpa pandang suku maupun agama, oleh karena itu, orang Maluku punya sentra kehidupan bersama yang terikat dalam kehidupan Pela dan Gandong.
Dibeberkan oleh budayawan Maluku ini, masing masing symbol memiliki fungsi, makna dan tempatnya masing masing, misalnya khusus untuk ditubuh dalam bentuk tattoo, ada juga simbol yang khusus di tempatkan di Baileo (ruang pertemuan).
“Selain itu ada juga simbol dari negeri adat yang dikenal dengan nama Teun Negeri dan simbol dari marga ( Teun Marga ),” ungkapnya.
Bahkan menurut Tamaella, dari simbol di trotoar itu, terdapat lambang dari salah satu marga (teun) di negeri Hutumuri yakni Horhoruw.
Terkait seruan untuk membongkar simbol-simbol adat dari Trotoar, seniman gerejawi ini berpandangan lain, meski menganggap bahwa penempatan lambang adat tersebut Pamali (Monne) tetapi pemerintah harus melakukan apa yang pada bahasa tanah disebut dengan “kewa ika" "kewa ruta” artinyan tahu ikat, tahu buka.
“Artinya setelah lambang-lambang adat itu ditempatkan di trotoar, maka tugas dari pemerintah adalah harus membukanya dengancara menginformasikan ke masyarakat arti dari lambang-lambang tersebut, agar kedepan tidak terjadi lagi pelecehan lambang adat oleh nak negeri sendiri,“ urainya.
Sementara itu menurut Joseph Tuhuleruw, Pembina Latupaty Maluku bahwa orang Maluku memiliki adat yang kuat, tetapi harus diatur sesuai dengan norma, pasalnya mungkin karena pengaruh modernisasi sehingga adat-istiadat bisa dilecehkan oleh orang Maluku sendiri.
"Untuk itu kedepan pemerintah harus duduk bersama budayawan dan praktisi adat, jika ada hal yang berkaitan dengan masalah adat,“ tandasnya.
Menurut Tuhuleruw, kendati moderenisasi dan globalisasi berkembang dengan pesat, generasi muda harus tetap menghargai adat.
“Kita harus meniru bangsa Jepang, meski telah modern mereka tetap mempertahankan kearifan lokal sehinga turis jepang terkenal sebagai turis teladan,” ungkapnya.
Selain itu, menurut mantan raja negeri Tawiri ini, melalui penghargan terhadap adat berarti kita menghargai orang tua, saudara dan tamu. (BM02)