Kekerasan Seksual Makin Marak di Maluku
http://www.beritamalukuonline.com/2015/02/kekerasan-seksual-makin-marak-di-maluku.html
LAPAN Minta Pemprov Realisasikan Perda No 2 Tahun 2012
Ambon - Berita Maluku. Maraknya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak akhir akhir ini mendorong Yayasan Lingkar Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak Maluku (LAPAN) meminta Pemerintah Provinsi untuk segera merealisasaikan pemenuhan hak-hak perempuan dan anak tindak kakerasan seksual di Maluku lewat Peraturan Daerah No 2 Tahun 2012.
Salah seorang pendamping LAPAN Maluku, Othe Patty yang ditemui, pada Rabu (18/2/2015) mengungkapkan, Perda No 2 Tahun 2012 sesungguhnya telah disahkan oleh DPRD provinsi Maluku, tetapi hingga saat ini belum diimplelemntasikan oleh Pemprov Maluku.
“Palu sudah diketuk tetapi belum terealisasi, ini sebuah kebutuhan yang menjadi tangung jawab negara terhadap hak-hak korban tindak kekerasan perempuan dan anak,“ urai Patty.
Dijelaskan olehnya, sebagai upaya untuk merealisasikan Perda tersebut, pihaknya telah melakukan audiens dengan ketua DPRD provinsi Maluku, Edwin Adrian Huwae SH pada 2 Februari 2015 lalu, dan telah disepakati bahwa DPRD provinsi Maluku dan LSM LAPAN akan segera medorong Pemprov Maluku untuk segera merealisasikan Perda perlindungan perempuan dan anak tersebut.
Menurut Patty, saat draf Perda itu dibahas di tingkat dewan, ketua DPRD Prov Maluku, Edwin Adrian Huwae, SH saat itu menjabat ketua Fraksi PDIP.
“Jadi paling tidak beliau tahu persis tentang perjalanan Perda ini,“ pungkasnya.
Adapun landasan hukum yang mendorong Pemprov untuk segera merealisasikan Perda perlindungan anak dan perempuan ini adalah Undang-Undang No 23 tahun 2002 dan 2004.
Diungkapkan oleh wanita yang selalu konsern dalam pendampingan korban tindak kekerasan perempuan dan anak ini, semestinya penangganan terhadap korban tindak kekerasan perempuan dan anak tidak hanya sebatas mengawal proses hukum di pengadilan tetapi yang paling urgen adalah “Reitegrasi” terhadap hak-hak korban.
“Pemerintah harus tahu bahwa, kebutuhan korban bukan hanya setelah kasus dipidanakan, tetapi kebutuhan untuk pemulihan lebih besar daripada putusan pengadilan itun sendiri,” urainya.
Wanita asal Alang ini mencontohkan, kasus dimana anak korban tindak kekerasan seksual dipaksa untuk dikeluarkan dari sekolah. “Dimana sebenarnya tanggungjawab pemerintah, anak itu kan korban, dialah yang seharusnya dilindungi hak-haknya, apakah korban tindak kekerasan seksual itu menyetujui peristiwa itu menimpanya? Tidak kan,” bebernya.
Untuk itu, Patty meminta aparat penegak hukum di daerah ini supaya memiliki prespesktif yang sama dalam melindungi hak-hak korban tindak kekerasan seksual, sehingga dalam menangani korban tindak kekerasan seksual, hak-hak korban tidak dilanggar hingga berpotensi terjadi pelanggaran HAM. (BM 02)
Ambon - Berita Maluku. Maraknya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak akhir akhir ini mendorong Yayasan Lingkar Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak Maluku (LAPAN) meminta Pemerintah Provinsi untuk segera merealisasaikan pemenuhan hak-hak perempuan dan anak tindak kakerasan seksual di Maluku lewat Peraturan Daerah No 2 Tahun 2012.
Salah seorang pendamping LAPAN Maluku, Othe Patty yang ditemui, pada Rabu (18/2/2015) mengungkapkan, Perda No 2 Tahun 2012 sesungguhnya telah disahkan oleh DPRD provinsi Maluku, tetapi hingga saat ini belum diimplelemntasikan oleh Pemprov Maluku.
“Palu sudah diketuk tetapi belum terealisasi, ini sebuah kebutuhan yang menjadi tangung jawab negara terhadap hak-hak korban tindak kekerasan perempuan dan anak,“ urai Patty.
Dijelaskan olehnya, sebagai upaya untuk merealisasikan Perda tersebut, pihaknya telah melakukan audiens dengan ketua DPRD provinsi Maluku, Edwin Adrian Huwae SH pada 2 Februari 2015 lalu, dan telah disepakati bahwa DPRD provinsi Maluku dan LSM LAPAN akan segera medorong Pemprov Maluku untuk segera merealisasikan Perda perlindungan perempuan dan anak tersebut.
Menurut Patty, saat draf Perda itu dibahas di tingkat dewan, ketua DPRD Prov Maluku, Edwin Adrian Huwae, SH saat itu menjabat ketua Fraksi PDIP.
“Jadi paling tidak beliau tahu persis tentang perjalanan Perda ini,“ pungkasnya.
Adapun landasan hukum yang mendorong Pemprov untuk segera merealisasikan Perda perlindungan anak dan perempuan ini adalah Undang-Undang No 23 tahun 2002 dan 2004.
Diungkapkan oleh wanita yang selalu konsern dalam pendampingan korban tindak kekerasan perempuan dan anak ini, semestinya penangganan terhadap korban tindak kekerasan perempuan dan anak tidak hanya sebatas mengawal proses hukum di pengadilan tetapi yang paling urgen adalah “Reitegrasi” terhadap hak-hak korban.
“Pemerintah harus tahu bahwa, kebutuhan korban bukan hanya setelah kasus dipidanakan, tetapi kebutuhan untuk pemulihan lebih besar daripada putusan pengadilan itun sendiri,” urainya.
Wanita asal Alang ini mencontohkan, kasus dimana anak korban tindak kekerasan seksual dipaksa untuk dikeluarkan dari sekolah. “Dimana sebenarnya tanggungjawab pemerintah, anak itu kan korban, dialah yang seharusnya dilindungi hak-haknya, apakah korban tindak kekerasan seksual itu menyetujui peristiwa itu menimpanya? Tidak kan,” bebernya.
Untuk itu, Patty meminta aparat penegak hukum di daerah ini supaya memiliki prespesktif yang sama dalam melindungi hak-hak korban tindak kekerasan seksual, sehingga dalam menangani korban tindak kekerasan seksual, hak-hak korban tidak dilanggar hingga berpotensi terjadi pelanggaran HAM. (BM 02)