Asmaradana: Bukan Hanya di Ambon Wartawan Tolak AJI Karena ”Tradisi Amplop”
http://www.beritamalukuonline.com/2014/11/asmaradana-bukan-hanya-di-ambon.html
Jurnalis Dalam Tantangan Independensi dan Profesionalitas
Ambon - Berita Maluku. Kehadiran media sosial dan munculnya Jurnalise publik menjadi otokritik bagi jurnalis saat ini, dimana porsi yang dulunya menjadi hal absolut dari pewarta kini mulai bergeser ke ranah publik.
Selain itu, munculnya feomena Wartawan Tanpa Surat kabar (WTS) dan wartawan Bodrex, menjadi tantangan tersendiri bagi media maupun jurnalis untuk memperkuat eksistensi diri, hal ini diungkapkan Koordinator Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Indonesia Timur, Upi Asmaradana, saat kegiatan diskusi dalam rangka perayaan HUT III dan Konferensi Tingkat Kota (Konferta) II AJI Ambon yang digelar pada ruang pertemuan Lt 3 Joas café, jalan Said Perintah Ambon, Sabtu (8/11/2014) kemarin.
Hadir dalam acara diskusi yang mengusung tema , “Aji Kota Ambon, Dalam Tantangan Independensi dan Profesionalitas,” adalah tokoh-tokoh pemerhati perempuan, sejumlah wartawan media cetak dan elektronik lokal maupun Nasional dan mahasiswa IAIN.
Menurut Upi, akibat banyaknya media informasi yang muncul saat ini , muatan berita yang tersaji jarang berisi fakta, tetapi informasi yang sering beredar adalah rumor, propaganda dan dugaan.
Selain itu juga, salah satu musuh kekebasan pers, adalah fenomena yang kini berlangsung di Indonesia yakni kecendrungan media dikuasai oleh oligarkhi dan politisi serta pemilik modal.
Yang masih tetap mempertahankan independensinya, tidak larut dalam gurita kekuasaan dan investor ekonomi adalah Kompas,“ ujar Upi menyebutkan nama salah satu media nasional terkemuka.
Profesionalisme jurnalistik juga menjadi kajian tersendiri dari Upi. “Dapatkah para jurnalis bisa hidup secara profesiomal tanpa amplop ?” kata Upi menyodorkan pertanyaan.
Dia mengungkapkan, realita bahwa banyak wartawan yang memilih untuk tidak bergabung dengan AJI, yang mengkampayekan penolakan amplop, bukan hanya terjadi di Ambon, tetapi juga di daerah lain, pasalnya menurut mereka karena gaji wartawan yang kecil.
Namun di balik realita itu, selalu ada jurnalis yang baik. Diungkapkannya, kasus mundurnya salah satu wartawan viva news.com dari news roomnya adalah salah satu contohnya. “Jurnalis lebih memilih setia dan menjunjung tinggi profesinya dari pada pemilik modal,” ujar Upi.
Sementara ketua Panwaslu, Lusi Peliouw menyatakan, media di Ambon tidak bisa dipegang indepedensi dan profesionalnya, terkadang katong wawancara panjang lebar, tetapi berita yang keluar lain dan tidak focus pada inti permasalahannya,“ ujar Peilouw.
Bahkan secara terang-terangan, Peilouw menyatakan ada media lokal yang terus memberitakan kejelekan institusi yang dipimpinnya setiap hari. Pemberitaan tersebut akhirnya berhenti, setelah pihaknya menyerahkan uang, sejumlah tiga juta rupiah.
”Jadi kalau didatangi wartawan, saya tanya, mau wawancara atau mau uang,“ ujar Peilouw tegas. (BM02)
Ambon - Berita Maluku. Kehadiran media sosial dan munculnya Jurnalise publik menjadi otokritik bagi jurnalis saat ini, dimana porsi yang dulunya menjadi hal absolut dari pewarta kini mulai bergeser ke ranah publik.
Selain itu, munculnya feomena Wartawan Tanpa Surat kabar (WTS) dan wartawan Bodrex, menjadi tantangan tersendiri bagi media maupun jurnalis untuk memperkuat eksistensi diri, hal ini diungkapkan Koordinator Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Indonesia Timur, Upi Asmaradana, saat kegiatan diskusi dalam rangka perayaan HUT III dan Konferensi Tingkat Kota (Konferta) II AJI Ambon yang digelar pada ruang pertemuan Lt 3 Joas café, jalan Said Perintah Ambon, Sabtu (8/11/2014) kemarin.
Hadir dalam acara diskusi yang mengusung tema , “Aji Kota Ambon, Dalam Tantangan Independensi dan Profesionalitas,” adalah tokoh-tokoh pemerhati perempuan, sejumlah wartawan media cetak dan elektronik lokal maupun Nasional dan mahasiswa IAIN.
Menurut Upi, akibat banyaknya media informasi yang muncul saat ini , muatan berita yang tersaji jarang berisi fakta, tetapi informasi yang sering beredar adalah rumor, propaganda dan dugaan.
Selain itu juga, salah satu musuh kekebasan pers, adalah fenomena yang kini berlangsung di Indonesia yakni kecendrungan media dikuasai oleh oligarkhi dan politisi serta pemilik modal.
Yang masih tetap mempertahankan independensinya, tidak larut dalam gurita kekuasaan dan investor ekonomi adalah Kompas,“ ujar Upi menyebutkan nama salah satu media nasional terkemuka.
Profesionalisme jurnalistik juga menjadi kajian tersendiri dari Upi. “Dapatkah para jurnalis bisa hidup secara profesiomal tanpa amplop ?” kata Upi menyodorkan pertanyaan.
Dia mengungkapkan, realita bahwa banyak wartawan yang memilih untuk tidak bergabung dengan AJI, yang mengkampayekan penolakan amplop, bukan hanya terjadi di Ambon, tetapi juga di daerah lain, pasalnya menurut mereka karena gaji wartawan yang kecil.
Namun di balik realita itu, selalu ada jurnalis yang baik. Diungkapkannya, kasus mundurnya salah satu wartawan viva news.com dari news roomnya adalah salah satu contohnya. “Jurnalis lebih memilih setia dan menjunjung tinggi profesinya dari pada pemilik modal,” ujar Upi.
Sementara ketua Panwaslu, Lusi Peliouw menyatakan, media di Ambon tidak bisa dipegang indepedensi dan profesionalnya, terkadang katong wawancara panjang lebar, tetapi berita yang keluar lain dan tidak focus pada inti permasalahannya,“ ujar Peilouw.
Bahkan secara terang-terangan, Peilouw menyatakan ada media lokal yang terus memberitakan kejelekan institusi yang dipimpinnya setiap hari. Pemberitaan tersebut akhirnya berhenti, setelah pihaknya menyerahkan uang, sejumlah tiga juta rupiah.
”Jadi kalau didatangi wartawan, saya tanya, mau wawancara atau mau uang,“ ujar Peilouw tegas. (BM02)