Aniaya Tapol, Oknum Polisi Dilaporkan ke Kapolda Maluku | Berita Maluku Online | Berita Terkini Dari Maluku Berita Maluku Online
Loading...

Aniaya Tapol, Oknum Polisi Dilaporkan ke Kapolda Maluku

TP Tapol Sudah Surati Amnesti Internasional

Ambon - Berita Maluku. Diduga kuat menganiaya tahanan politik (Tapol) Republik Maluku Selatan, Paul Lodwijk Krikhoff, 35, oknum anggota Kepolisian Republik Indonesia berinsial Brigadir Polisi IO dilaporkan tim pengacara korban ke Kapolda Maluku Brigadir Jenderal Polisi Murad Ismael untuk ditindak tegas sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

Selain IO, Tim Pengacara korban yang terdiri dari Johanis Hahury, Noija Fileo Pistos, Johanis Balubun, Hendrik Lusikooy, an Charles Litaay juga melaporkan beberapa pihak yang ikut serta dalam penganiayaan tersebut, yakni MJSL, Brigadir Satu UB, AM dan SA.

Para pelaku telah dilaporkan ke bagian SPKT Kepolisian Daerah Maluku, Sabtu (8/11/2014) dan telah terdaftar dalam laporan polisi nomor: No TBL/228/XI/2014/SPKT.

Berdasarkan hasil investigasi Tim Pengacara Tapol pada Jumat (7/11/2014), pukul 10.30-13.00 WIT terhadap saksi korban dan saksi fakta, seorang dokter penjara, dan seorang pegawai Kejaksaan Negeri Ambon, diperoleh keterangan sebagai berikut, sesudah 9 tapol RMS selesai jalani sidang di Pengadilan Negeri Ambon, Kamis, (6/11/2014) sore sekira pukul 17.00, 9 tapol diangkut dengan mobil tahanan untuk dikembalikan ke dalam Rutan Waiheru Ambon.

Ketika kendaraan tiba di lokasi Monumen Gong Perdamaian Kota Ambon yang terletak sekitar 200 meter dari kantor Pengadilan Negeri Ambon, Paul Lodwijk Krikhoff berteriak ’’Mena Muria’’ yang ditujukan kepada kawan-kawan sesama Tapol yang mulai kelelahan akibat sidang yang melelahkan mereka. Lalu William Lawalata mengimbau Paul Lodwijk Krikhoff dan mengatakan ’’diam sudah’’.

Lalu Paul Lodwyk Krikhoff menyahut William Lawalata dan mengatakan "memangnya ada apa bila teriak Mena Muria"?.

Rupanya perdebatan antara William Lawalata dengan korban salah dimengerti oleh polisi IO yang berada di luar gerbong mobil tahanan yang tertutup, sehingga ketika kedua mobil tahanan yang berjalan beringingan terhenti karena macet di Mardika, IO turun dari mobil tahanan yang membawa tapol dan berkomunikasi dengan 2 rekan polisi lain yang mengawal dan berada di mobil tahanan lainnya yang juga berhenti di Mardika, yakni MJSL dan Briptu UB.

Selanjutnya ketika kendaraan yang memuat tahanan politik berhenti untuk mengisi bahan bakar di Galunggung (Batu Merah), para saksi melihat bahwa pegawai kejaksaan AM tanyakan sesuatu dari IO dan diduga mengenai teriakan Mena Muria dari Paul Lodwik Krikhoff tadi.

Sekira pukul 18.30 waktu Maluku kendaraan tahanan berisi 9 tapol dan 3 wanita tahanan kriminal tiba di depan Rutan Waiheru. Selanjutnya IO yang membuka pintu kendaraan tahanan, lalu perintahkan 3 tahanan wanita keluar duluan, lalu disusul tapol Butje Manuhuttu, tapi dilarang keluar oleh polisi IO, sehingga yang keluar adalah Izaak Leatemia, Frans Sinmiassa, Mathias Mehlidan, dan korban.

Sesudah korban keluar dari mobil tahanan, polisi MATRUTI katakan “ini dia”, lalu IO perintahkan korban tetap di tempat dan menghadapkan wajah ke samping kendaraan tahanan dan IO langsung menendang kepala bagian belakang dengan sepatu Dinas Harian Polisi, sehingga wajah korban membentur keras dinding kendaraan tahanan.

Tiga oknum polisi berpakaian dinas (MATRUTI, JUAN S.L. dan Briptu.UB) dan 2 polisi intelijen (pakaian preman) pegawai kejaksaan SA dan AM hanya melihat dan membiarkan penyiksaan ini dilakukan IO di depan mata mereka. Tak ada yang mencegah dan melerai.

Para tapol lain protes perbuatan polisi dan jaksa dan ingin membela korban, tapi para polisi segera bereaksi dan siagakan senjata mereka dalam keadaan siap ditembak ke arah para tapol.

Ketegangan ini dilihat petugas Rutan yang sedang membuka dan berada di pintu masuk Rutan Waiheru. Petugas Rutan yang melerai dikenali saksi-saksi bernama Baker, Valdo, dan beberapa lainnya membawa masuk semua tapol dan korban ke dalam Rutan.

Para polisi masih sempat mengejar tapol yang sudah di dalam Rutan dan menggedor-ngedor pintu utama Rutan dengan keras. Tapi pintu tidak terbuka.

Menurut saksi sesama tapol, 30 menit kemudian terhitung peristiwa penendangan atau penganiayaan tadi, korban langsung muntah-muntah saat tertidur tak sadarkan diri di ruang tahanan. Sesudah muntah, korban alami mual-mual, beberapa bagian kepala dan rahang bengkak, sakit kepala, pusing dan sulit mengunyah makanan.

Menurut korban, setelah menderita sakit akibat penganiyaan polisi, korban tak bisa makan sampai saat kedatangan Tim Pengacara Tapol siang tadi di Rutan Waiheru. Korban juga masih merasa kesakitan di bagian kepala dan rahang dan merasa pusing.

Peristiwa penganiayaan ini (menurut pengakuan saksi) disaksikan pula oleh pegawai kejaksaan Saiful Anwar.

’’Kami juga sudah bicara dengan Dokter penjara, Everlin Kailola di Rutan Waiheru siang tadi, dan minta keterangan dokter tersebut mengenai hasil diagnose kesehatan terhadap korban. Menurut dokter yang disaksikan tim pengacara, korban dan semua tapol, bahwa pemeriksaan dilakukan hanya dengan pengamatan luar dan tidak gunakan alat-alat medis yang bisa memastikan keadaan bagian dalam tubuh (kepala dan rahang) akibat penganiyaan tersebut’’.

’’Oleh sebab itu, kami sudah sampaikan keraguan kami mengenai hasil pemeriksaan dokter penjara, dan karenanya kami minta dokter penjara tersebut terbitkan satu surat keterangan dengan harapan supaya segera dilakukan pemeriksaan oleh dokter spesialis dengan peralatan yang memadai guna mendeteksi keadaan kepala dan rahang bagian dalam. Tapi Dokter tidak memperhatikan permintaan kami Tim Pengacara Tapol dan mengatakan bahwa korban baik-baik saja. Kami juga sudah bicara dengan petugas Rutan dan menyarankan kami meminta penetapan pengadilan untuk lakukan pembantaran korban guna pemeriksaan medis, padahal penetapan pembataran agar terdakwa diberikan kesempatan untuk diperiksa, harus berdasarkan Surat Keterangan dari dokter Rutan,’’ tulis Tim Pengacara Tapol dalam siaran persnya di Hotel Amboina, Minggu (9/11/2014).

Menurut Noija, tindakan Pelaku yang menyuruh korban, berdiri sambil menghadap ke mobil tahanan (membelakangi pelaku) dan dengan menggunakan kekuatan yang sudah diperhitungkan menendang kepala korban dengan menggunakan sepatu bonek yang dipakai oleh pelaku, yang mengakibatkan korban terbentur kepalanya pada mobil tahanan, serta membuat korban merasa sakit pada tempat tendakan dan tempat yang terkena mobil tahanan adalah merupakan tindak pidana penganiayaan sebagaimana diatur dalam pasal 351 KUHPidana.

’’Bahwa kekarasan yang sengaja dilakukan oleh pelaku, adalah merupakan pelanggaran HAM dan pelanggaran terhadap profesi Anggota Polri, yang dapat diuraikan dalam ketentuan sebagai berikut, pertama; Perubahan ke-2 Undang – Undang Dasar 1945, pasal 28G ayat (2) ’’Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
Kedua; Undang – Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, pasal 33 ayat (1) ’’Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.

Ketiga; Undang – Undang RI No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang hak – Hak Sipil dan Politik, Pasal 7 yang menegaskan bahwa ; Tidak seorangpun dapat dikenai penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Keempat; Undang – Undang RI No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia.

Noija menyebutkan, para pelaku secara langsung telah melanggar UU RI No. 2 Tahun 2002, karena melanggar ketentuan yang berkaitan dengan Tugas dan Wewenang sebagaimana diatur di dalam pasal 13 huruf b dan c.
Kelima; Peraturan Pemerintah RI No. 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara RI.
Tindakan pelaku, tidak sesuai dengan peraturan pemerintah di atas, yang mana dalam pasal 3 hurf f mewajibkan kepada seluruh anggota POLRI yang bertugas wajib menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.

Pelaku juga melanggar Peraturan KAPOLRI No. 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, menegaskan bahwa Instrumen perlindungan HAM yang perlu diperhatikan oleh setiap anggota POLRI dalam melaksanakan tugas berdasarkan pasal 27, 28 dan pasal 29 UUD 1945 adalah meliputi hak untuk tidak disiksa. Hal mana diatur dalam pasal pasal 5 huruf v.

’’Berdasarkan uraian di atas, maka kami mintakan kepada Kepala Kepolisian Daerah Maluku, untuk segera mengambil langkah - langkah sebagai berikut, segera mengambil langkah – langkah hukum, sesuai peraturan perundang – undangan yang berlaku terhadap para pelaku, segera mengambil langkah – langkah pemeriksaan pelanggaran terhadap kode etik Kepolisian Negara RI, terhadap kedua anggota Kepolisian yang ditugaskan untuk mengawal mobil tahanan Kejaksaan Negeri Ambon, pada tanggal 6 November 2014, segera meminta maaf kepada korban penganiayaan, karena pelaku melakukan dalam status penugasan dari isntitusi pelaku, dalam hala ini Kepolisian Republik Indonesia – Polres P. Ambon dan P.P. Lease."

Balubun menambahkan, kasus ini telah dilaporkan pihaknya ke Amnesti Internasional. ’’Kalau laporan ke Komisi HAM Internasional belum,’’ sahutnya. (bm01/bm09)
Pilihan 3458468186041833321
Beranda item

# Kota Ambon

Indeks

# ANEKA

Indeks