Tarian Cakalele Tetap Ditampilkan Saat Kongres Kebudayaan Maluku Pertama
http://www.beritamalukuonline.com/2014/09/tarian-cakalele-tetap-ditampilkan-saat.html
Ambon - Berita Maluku. Wakil Gubernur Maluku, Zeth Sahuburua mengimbau para personel Seksi Acara Panitia Kongres Kebudayaan Maluku Pertama (KKM I) Tahun 2014, tetap menggunakan tarian cakalele sebagai salah satu pengisi acara pembukaan event kebudayaan akbar Maluku di lokasi Pattimura Park, Ambon, 3 November mendatang.
’’Tidak masalah kalau Bung Semy (Toisutta) dan teman-teman mau pakai tarian cakalele untuk pembukaannya. Yang penting bisa dimodernisasi sedikit, sebab tarian cakalele merupakan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan Maluku,’’ sahut Sahuburua saat memimpin Rapat Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku dengan Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku (LKDM) dan Panitia KKM I di Lantai 6 Kantor Gubernur Maluku, Jumat petang kemarin (26/9/2014).
Duduk di samping Sahuburua, Ketua LKDM Tony Pariela dan Ketua Panitia Pelaksana KKM I Senda Titaley. Sahuburua memberikan respons positif menyusul keresahan hati Kepala Taman Budaya Maluku itu terhadap larangan pementasan tarian cakalele dalam beberapa kali perhelatan event-event akbar di Ambon pascakasus Hari Keluarga Nasional (Harganas) di Lapangan Merdeka Ambon, 29 Juni 2007 silam.
’’Waktu pak Kepala Staf TNI-AD mau datang ke Ambon, kita sebenarnya telah menyiapkan tarian cakalele dengan konfigurasi etnik yang indah dengan lantai dasar yang menarik. Menyangkut hal ini saya pernah diperiksa di Markas Densus 88 dan Markas Korem soal rencana pengentasan tarian cakalele untuk menyambut tamu-tamu kehormatan dari pusat, dan waktu itu kami rasa tarian cakalele sangat pas untuk menyambut seorang Kasad. Tapi, karena dilarang akhirnya kita suguhkan tari lenso untuk penyambutannya, padahal tarian lenso tak layak ditampilkan untuk penyambutan pejabat-pejabat militer,’’ keluh Toisutta dalam pertemuan itu.
Toisutta mengungkapkan tarian cakalele pernah ditulis Jhon Lokollo, guru besar Fakultas Hukum Universitas Pattimura (Unpatti) di Jurnal Nasional dan mendapat apresiasi positif dan sangat direspons oleh sejumlah guru besar di Tanah Air.
’’Kok herannya, nuansa keindahan tarian cakalele yang merupakan identitas kita orang Maluku ingin dikuburkan di tanah kita sendiri. Ini perlu menjadi perhatian kita semua, karena tarian cakalele ini sangat artistik dan sensual jika ditampilkan di mana-mana. Saya beberapa kali ikut kegiatan di Jakarta, panitia selalu panggil ’Ambon, mana tarian cakalelenya’. Itu pertanda kalau tarian cakalele sangat diapresiasi masyarakat dari dalam dan luar negeri,’’ terang pencipta lagu ’’Tunggu Apa Lae’’ yang akan dikidungkan 300an penyanyi saat pembukaan KKM I nanti.
Guru Besar Sejarah Unpatti John Pattikayhatu menyatakan tarian cakalele merupakan simbol identitas dari karakter orang Maluku yang kekar, gagah dan pemberani sehingga perlu dilestarikan di tengah arus modernisasi.
’’Orang Maluku dikenal sebagai sosok pemberani, apalagi kalau pakai senjata. Nah, tarian cakelele merupakan identitas dan bagian dari kebudayaan Maluku yang mesti dilestarikan dan ditampilkan saat gelaran event-event akbar bertaraf lokal, nasional maupun internasional di Maluku,’’ ulasnya.
Sahuburua berharap pembukaan dan penutupan KKM I di Ambon dan Saumlaki, Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB), 3-8 November nanti dapat dijadikan momentum perubahan dan pembaharuan bagi Maluku dari berbagai aspek kehidupan setelah porak-poranda dalam krisis kemanusiaan beberapa tahun silam.
’’Yang utama, meski KKM I merupakan bagian dari upaya kita membangun identitas ke-Maluku-an, tapi jangan sampai kegiatan ini ikut melunturkan dan menghilangkan Wawasan Kebangsaan orang Maluku. Yang kita tahu, Maluku merupakan salah satu dari delapan daerah di Tanah Air yang ikut mendirikan Negara ini pada tahun 1945, dan oleh karena itu KKM I mesti menjadi tolak ukur kebangkitan kita semua agar kita bisa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan daerah-daerah lain di Indonesia,’’ serunya. (bm01)
’’Tidak masalah kalau Bung Semy (Toisutta) dan teman-teman mau pakai tarian cakalele untuk pembukaannya. Yang penting bisa dimodernisasi sedikit, sebab tarian cakalele merupakan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan Maluku,’’ sahut Sahuburua saat memimpin Rapat Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku dengan Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku (LKDM) dan Panitia KKM I di Lantai 6 Kantor Gubernur Maluku, Jumat petang kemarin (26/9/2014).
Duduk di samping Sahuburua, Ketua LKDM Tony Pariela dan Ketua Panitia Pelaksana KKM I Senda Titaley. Sahuburua memberikan respons positif menyusul keresahan hati Kepala Taman Budaya Maluku itu terhadap larangan pementasan tarian cakalele dalam beberapa kali perhelatan event-event akbar di Ambon pascakasus Hari Keluarga Nasional (Harganas) di Lapangan Merdeka Ambon, 29 Juni 2007 silam.
’’Waktu pak Kepala Staf TNI-AD mau datang ke Ambon, kita sebenarnya telah menyiapkan tarian cakalele dengan konfigurasi etnik yang indah dengan lantai dasar yang menarik. Menyangkut hal ini saya pernah diperiksa di Markas Densus 88 dan Markas Korem soal rencana pengentasan tarian cakalele untuk menyambut tamu-tamu kehormatan dari pusat, dan waktu itu kami rasa tarian cakalele sangat pas untuk menyambut seorang Kasad. Tapi, karena dilarang akhirnya kita suguhkan tari lenso untuk penyambutannya, padahal tarian lenso tak layak ditampilkan untuk penyambutan pejabat-pejabat militer,’’ keluh Toisutta dalam pertemuan itu.
Toisutta mengungkapkan tarian cakalele pernah ditulis Jhon Lokollo, guru besar Fakultas Hukum Universitas Pattimura (Unpatti) di Jurnal Nasional dan mendapat apresiasi positif dan sangat direspons oleh sejumlah guru besar di Tanah Air.
’’Kok herannya, nuansa keindahan tarian cakalele yang merupakan identitas kita orang Maluku ingin dikuburkan di tanah kita sendiri. Ini perlu menjadi perhatian kita semua, karena tarian cakalele ini sangat artistik dan sensual jika ditampilkan di mana-mana. Saya beberapa kali ikut kegiatan di Jakarta, panitia selalu panggil ’Ambon, mana tarian cakalelenya’. Itu pertanda kalau tarian cakalele sangat diapresiasi masyarakat dari dalam dan luar negeri,’’ terang pencipta lagu ’’Tunggu Apa Lae’’ yang akan dikidungkan 300an penyanyi saat pembukaan KKM I nanti.
Guru Besar Sejarah Unpatti John Pattikayhatu menyatakan tarian cakalele merupakan simbol identitas dari karakter orang Maluku yang kekar, gagah dan pemberani sehingga perlu dilestarikan di tengah arus modernisasi.
’’Orang Maluku dikenal sebagai sosok pemberani, apalagi kalau pakai senjata. Nah, tarian cakelele merupakan identitas dan bagian dari kebudayaan Maluku yang mesti dilestarikan dan ditampilkan saat gelaran event-event akbar bertaraf lokal, nasional maupun internasional di Maluku,’’ ulasnya.
Sahuburua berharap pembukaan dan penutupan KKM I di Ambon dan Saumlaki, Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB), 3-8 November nanti dapat dijadikan momentum perubahan dan pembaharuan bagi Maluku dari berbagai aspek kehidupan setelah porak-poranda dalam krisis kemanusiaan beberapa tahun silam.
’’Yang utama, meski KKM I merupakan bagian dari upaya kita membangun identitas ke-Maluku-an, tapi jangan sampai kegiatan ini ikut melunturkan dan menghilangkan Wawasan Kebangsaan orang Maluku. Yang kita tahu, Maluku merupakan salah satu dari delapan daerah di Tanah Air yang ikut mendirikan Negara ini pada tahun 1945, dan oleh karena itu KKM I mesti menjadi tolak ukur kebangkitan kita semua agar kita bisa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan daerah-daerah lain di Indonesia,’’ serunya. (bm01)