Kebakaran Jenggot, Ketua Majelis Latupati Maluku Dituding Berdalih
http://www.beritamalukuonline.com/2014/06/kebakaran-jenggot-ketua-majelis.html
Ambon - Berita Maluku. Wakil Ketua Forum Anak Daerah Nusa Ina (FADNI) Maluku, Joses Dos Santos Walalayo menuding Ketua Majelis Latupati Maluku, Bonifaxius Silooy kebakaran jenggot dan mencoba berdalih atas kebijakan memberikan gelar adat maupun gelar kehormatan adat kepada Panglima TNI Moeldoko dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Sutarman saat kunjungan kedua pucuk pimpinan TNI dan Polri itu ke Kota Ambon, Maluku, awal Juni 2014, untuk memantau situasi politik menjelang pemilihan presiden pada 9 Juli nanti.
’’Di Harian Siwalima edisi Selasa (10 Juni 2014) halaman pertama dengan judul ’’Panglima TNI dan Kapolri Pantau Situasi Maluku, TNI-Polri Jamin Netral Saat Pilpres’’ disebut pemberian gelar adat, sementara di Harian Rakyat Maluku edisi Rabu (18/6/2014) dikatakan Ketua Majelis Latupati Maluku, bahwa apa yang diberikan bukan gelar adat, tapi gelar kehormatan. Ini ada dua pernyataan yang berbeda dari narasumber yang sama. Ini pertanda Ketua Majelis Latupati Maluku mencoba beralibi di balik pernyataan dan sepak terjangnya tak bijaknya selama ini,’’ tegas Walalayo kepada Berita Maluku di Ambon, Kamis (19/6/2014).
Walalayo menyatakan pemberian gelar adat maupun gelar kehormatan adat, tetap tak bisa dilepaspisahkan dari prosesi adat.
’’Kalau Ketua Majelis Latupati Maluku bilang apa yang diberikan kepada Panglima TNI dan Kapolri merupakan gelar kehormatan adat, kenapa saat itu dirinya menggunakan pakaian adat dan atribut adat Maluku. Bukankah hal itu merupakan pelecehan terhadap adat dan istiadat orang Maluku,’’ tandasnya.
Walalayo menjelaskan sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Gelar dan Tanda Kehormatan (GTK), yang punya kewenangan memberikan gelar dan tanda kehormatan hanyalah Pemerintah melalui Sekretaris Militer selaku Dewan GTK.
’’Pemberian gelar kehormatan itu pun hanya dilakukan di lingkup kementerian dan non departemen yang masih terikat dengan aturan birokrasi. Pemberian gelar kehormatan itu pun dilakukan saat peringatan hari-hari besar nasional, seperti 17 Agustus, 5 Oktober, 10 November, dan hari-hari besar nasional lainnya,’’ jelasnya.
Sementara pemberian gelar kehormatan adat, kata Walalayo, sejak zaman pendirian kerajaan-kerajaan maupun kesultanan di Nusantara sebelum berdirinya kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Kutai Kertanegara, Kesultanan Tidore, Jailolo, Ternate dan sebagainya, hanya dilakukan oleh Pangeran atau Sultan melalui rapat adat kepada seseorang yang selama 10 tahun telah berjuang dan berkiprah mengangkat harkat dan martabat kerajaan atau kesultanan dimaksud.
’’Jadi pemberian gelar kehormatan adat itu bukan karena selera pribadi Ketua Majelis Latupati Maluku. Pantasan adat dan budaya Maluku masih diinjak-injak etnis lain di Nusantara karena praktik-praktik pemberian gelar adat atau gelar kehormatan adat yang takaruang, asal kasih, punya kepentingan politik, dan bertendensi negative di luar makna adat yang sesungguhnya hingga saat ini,’’ kritiknya.
Walalayo mempertanyakan kebijakan ketua Majelis Latupati Maluku yang seenak perut memberikan gelar kehormatan adat kepada orang lain, terutama pejabat Negara yang tak punya peran penting bagi terjaganya harkat dan martabat etnis Maluku.
’’Kedatangan Panglima TNI dan Kapolri ke Maluku kan hanya untuk memantau situasi politik menjelang Pilpres, bukan membela kepentingan maupun harkat dan martabat orang Maluku. Kok digunakan Ketua Majelis Latupati untuk pemberian gelar kehormatan adat. Ini kan namanya cari muka, cari-cari kerjaan, dan menunjukkan kalau orang Maluku paling suka jual hak kesulungan di balik pemberian gelar kehormatan adat. Pemberian gelar kehormatan adat itu pun patut dipertanyakan karena sebagian Raja di Maluku Tengah dan Seram Bagian Barat mengaku tak tahu dengan pemberian gelar kehormatan adat tersebut, bahkan mereka juga tak setuju dengan cara-cara tak bermartabat seperti itu,’’ ulasnya.
JANGAN BERDALIH
Di kesempatan yang sama, pemuka adat Maluku Barat Daya, Herman Siamiloy mengimbau Ketua Majelis Latupati Maluku Bonifaxius Silooy tidak berdalih di balik kesalahannya memberikan gelar kehormatan adat kepada Panglima TNI dan Kapolri di Ambon pada 9 Juni lalu.
’’Saya minta Ketua Majelis Latupati Maluku janganlah beralibi, jangan suka berdalih kalau apa yang dilakukan sudah menyalahi kebiasaan maupun peraturan tentang mekanisme pemberiaan gelar kehormatan yang ada. Saya anggap hal itu merupakan pelecehan terhadap adat dan istiadat orang Maluku,’’ imbaunya.
Lebih jauh dijelaskan Siamiloy, meskipun oleh Ketua Majelis Latupati Maluku pemberian gelar adat dan pemberian gelar kehormatan adat berbeda, tapi proses dan prosedurnya harus tetap melalui seremonial adat yang sakral, tak murahan dan tak klise seperti itu.
’’Kalau dibilang Ketua Majelis Latupati, bahwa pemberian gelar kehormatan adat itu berbeda prosedurnya dengan pemberian gelar adat yang harus melalui prosesi adat di baileo, muncul pertanyaan mengapa saat itu dirinya menggunakan atribut dan pakaian kebesaran adat Maluku, khususnya Ambon. Istilah yang digunakan pun menggunakan bahasa adat Seram, Maluku Tengah atau Maluku. Ini patut dipertanyakan,’’ bilangnya.
Samloy menilai Majelis Latupati Maluku telah dimanfaatkan elite-elite politik lokal maupun nasional untuk kepentingan politik sesaat, namun mengorbankan harkat dan martabat atau jati diri adat dan kebudayaan Maluku.
’’Saya melihat Majelis Latupati Maluku hanya underbow dari kepentingan politik elite-elite tak bertanggungjawab. Majelis Latupati Maluku telah dijadikan alat kepentingan politik para pemimpin di daerah ini untuk meraup keuntungan ekonomi dan kekuasaan,’’ pungkasnya. (bm 01/bm 12)
’’Di Harian Siwalima edisi Selasa (10 Juni 2014) halaman pertama dengan judul ’’Panglima TNI dan Kapolri Pantau Situasi Maluku, TNI-Polri Jamin Netral Saat Pilpres’’ disebut pemberian gelar adat, sementara di Harian Rakyat Maluku edisi Rabu (18/6/2014) dikatakan Ketua Majelis Latupati Maluku, bahwa apa yang diberikan bukan gelar adat, tapi gelar kehormatan. Ini ada dua pernyataan yang berbeda dari narasumber yang sama. Ini pertanda Ketua Majelis Latupati Maluku mencoba beralibi di balik pernyataan dan sepak terjangnya tak bijaknya selama ini,’’ tegas Walalayo kepada Berita Maluku di Ambon, Kamis (19/6/2014).
Walalayo menyatakan pemberian gelar adat maupun gelar kehormatan adat, tetap tak bisa dilepaspisahkan dari prosesi adat.
’’Kalau Ketua Majelis Latupati Maluku bilang apa yang diberikan kepada Panglima TNI dan Kapolri merupakan gelar kehormatan adat, kenapa saat itu dirinya menggunakan pakaian adat dan atribut adat Maluku. Bukankah hal itu merupakan pelecehan terhadap adat dan istiadat orang Maluku,’’ tandasnya.
Walalayo menjelaskan sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Gelar dan Tanda Kehormatan (GTK), yang punya kewenangan memberikan gelar dan tanda kehormatan hanyalah Pemerintah melalui Sekretaris Militer selaku Dewan GTK.
’’Pemberian gelar kehormatan itu pun hanya dilakukan di lingkup kementerian dan non departemen yang masih terikat dengan aturan birokrasi. Pemberian gelar kehormatan itu pun dilakukan saat peringatan hari-hari besar nasional, seperti 17 Agustus, 5 Oktober, 10 November, dan hari-hari besar nasional lainnya,’’ jelasnya.
Sementara pemberian gelar kehormatan adat, kata Walalayo, sejak zaman pendirian kerajaan-kerajaan maupun kesultanan di Nusantara sebelum berdirinya kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Kutai Kertanegara, Kesultanan Tidore, Jailolo, Ternate dan sebagainya, hanya dilakukan oleh Pangeran atau Sultan melalui rapat adat kepada seseorang yang selama 10 tahun telah berjuang dan berkiprah mengangkat harkat dan martabat kerajaan atau kesultanan dimaksud.
’’Jadi pemberian gelar kehormatan adat itu bukan karena selera pribadi Ketua Majelis Latupati Maluku. Pantasan adat dan budaya Maluku masih diinjak-injak etnis lain di Nusantara karena praktik-praktik pemberian gelar adat atau gelar kehormatan adat yang takaruang, asal kasih, punya kepentingan politik, dan bertendensi negative di luar makna adat yang sesungguhnya hingga saat ini,’’ kritiknya.
Walalayo mempertanyakan kebijakan ketua Majelis Latupati Maluku yang seenak perut memberikan gelar kehormatan adat kepada orang lain, terutama pejabat Negara yang tak punya peran penting bagi terjaganya harkat dan martabat etnis Maluku.
’’Kedatangan Panglima TNI dan Kapolri ke Maluku kan hanya untuk memantau situasi politik menjelang Pilpres, bukan membela kepentingan maupun harkat dan martabat orang Maluku. Kok digunakan Ketua Majelis Latupati untuk pemberian gelar kehormatan adat. Ini kan namanya cari muka, cari-cari kerjaan, dan menunjukkan kalau orang Maluku paling suka jual hak kesulungan di balik pemberian gelar kehormatan adat. Pemberian gelar kehormatan adat itu pun patut dipertanyakan karena sebagian Raja di Maluku Tengah dan Seram Bagian Barat mengaku tak tahu dengan pemberian gelar kehormatan adat tersebut, bahkan mereka juga tak setuju dengan cara-cara tak bermartabat seperti itu,’’ ulasnya.
JANGAN BERDALIH
Di kesempatan yang sama, pemuka adat Maluku Barat Daya, Herman Siamiloy mengimbau Ketua Majelis Latupati Maluku Bonifaxius Silooy tidak berdalih di balik kesalahannya memberikan gelar kehormatan adat kepada Panglima TNI dan Kapolri di Ambon pada 9 Juni lalu.
’’Saya minta Ketua Majelis Latupati Maluku janganlah beralibi, jangan suka berdalih kalau apa yang dilakukan sudah menyalahi kebiasaan maupun peraturan tentang mekanisme pemberiaan gelar kehormatan yang ada. Saya anggap hal itu merupakan pelecehan terhadap adat dan istiadat orang Maluku,’’ imbaunya.
Lebih jauh dijelaskan Siamiloy, meskipun oleh Ketua Majelis Latupati Maluku pemberian gelar adat dan pemberian gelar kehormatan adat berbeda, tapi proses dan prosedurnya harus tetap melalui seremonial adat yang sakral, tak murahan dan tak klise seperti itu.
’’Kalau dibilang Ketua Majelis Latupati, bahwa pemberian gelar kehormatan adat itu berbeda prosedurnya dengan pemberian gelar adat yang harus melalui prosesi adat di baileo, muncul pertanyaan mengapa saat itu dirinya menggunakan atribut dan pakaian kebesaran adat Maluku, khususnya Ambon. Istilah yang digunakan pun menggunakan bahasa adat Seram, Maluku Tengah atau Maluku. Ini patut dipertanyakan,’’ bilangnya.
Samloy menilai Majelis Latupati Maluku telah dimanfaatkan elite-elite politik lokal maupun nasional untuk kepentingan politik sesaat, namun mengorbankan harkat dan martabat atau jati diri adat dan kebudayaan Maluku.
’’Saya melihat Majelis Latupati Maluku hanya underbow dari kepentingan politik elite-elite tak bertanggungjawab. Majelis Latupati Maluku telah dijadikan alat kepentingan politik para pemimpin di daerah ini untuk meraup keuntungan ekonomi dan kekuasaan,’’ pungkasnya. (bm 01/bm 12)