INDEI Menilai Sudah Saatnya Pemprov Maluku Lakukan Reformasi Birokrasi
http://www.beritamalukuonline.com/2014/06/indei-menilai-sudah-saatnya-pemprov.html
Koordinator Indonesian Democration Reform Institute (INDEI)
RENCANA perombakan birokrasi oleh Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Said Assagaf dan Zeth Sahuburua terus menggelinding benak publik. Namun gebrakan untuk mereformasi birokrasi Pemda Maluku harus menunggu waktu yang tepat dan efisien.
Akan tetapi disisi lainnya, penyegaran tubuh pemerintahan dan efisensi birokrasi sudah layak dan saatnya di lakukan saat ini oleh pasangan SETIA, mengingat lingkup SKPD dan birokrasi masih terisi oleh orang-orang lama sehingga dibutuhkan reformasi birokrasi diberbagai jenjang pemerintahan Maluku agar tercipta pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance).
Hal ini disampaikan oleh Koordinator Indonesian Democration Reform Institute atau INDEI, Wahada Mony di Jakarta.
Menurut Mony, perombakan birokrasi ini akan sangat penting dan strategis jika dilakukan oleh pemerintah Provinsi Maluku. Karena untuk mengukur dan mengevaluasi kembali kinerja pimpinan lembaga pemerintahan di setiap lingkup SKPD Maluku dan prestasi para birokrat atas capaian kerja pemerintahan yang terukur dari masukan, proses, keluaran, hasil, manfaat, hingga dampak kebijakan bagi rakyat.
Maka sudah seharusnya Pemprov Maluku segera melakukan perombakan birokrasi secara kompeten dan profesional di tubuh pemerintahan Maluku.
“Birokrasi Maluku harus segera dirombak karena tidak ada kekhawatiran upaya untuk membangun Maluku akan terhambat karena ketidakmampuan bekerja para pejabat birokrasi yang tidak berkompeten dibidangnya” kritik Mony.
Aktifis PB HMI ini menilai, sejauh ini rakyat begitu pesimis dan kurang percaya lagi kepada kinerja birokrasi di Maluku. Hal ini karena merosotnya kinerja para pelaku birokrat maupun pimpinan di lingkup SKPD pemerintahan yang tidak mampu memberi pelayanan publik dengan baik, tidak akuntabel bahkan maraknya praktek KKN di berbagai lingkup dinas terkait yang mengarah pada inkompetensi kinerja birokrasi yang amburadul. Sehingga perlu perbaikan dan penataan sistem birokrasi pemerintahan secara profesional dan terbuka yang harus dilakukan dengan pergantian dan perombakan sejumlah birokrat dilingkup SKPD yang dianggap kinerjanya buruk, memiliki sejumlah rapor merah di aspek kebijakan, serta inkompetensi pada jabatan pemerintahan yang emban.
Hal ini bukan tanpa alasan, karena ciri dan mental birokrasi kita terutama di Maluku lebih dekat dengan mental birokrat yang korup, lamban bekerja, malas dan tidak taat kinerja serta minim prestasi.
“Perombakan birokrasi haruslah benar-benar profesional dan sesuai dengan kriteria pejabat birokrat yang tepat dan kompeten di bidangnya. Bukan karena landasan politis apalagi like and dislike, sehingga efektif pemerintahan yang dibangun oleh Assagaf dan Sahuburua berjalan dengan baik dan efisien”. Harap Mony lagi.
Perombakan birokrasi atau kata lain reformasi birokrasi bagi Mony merupakan upaya sistematis, terpadu dan komprehensif untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik (good governance), meliputi aspek kelembagaan, sumber daya manusia aparatur, ketatalaksanaan, akuntabilitas, pengawasan, dan pelayanan publik.
Reformasi birokrasi dihadapkan pada upaya mengatasi inefisiensi, inefektivitas, tidak profesional, tidak netral, tidak disiplin, tidak patuh pada aturan, rekrutmen PNS tidak transparan, KKN yang marak di berbagai jenjang pekerjaan dan pelayanan publik yang masih jauh dari harapan.
Untuk itu perombakan birokrasi di Maluku oleh pasangan “SETIA” adalah untuk tujuan (1) perbaikan kualitas layanan publik, (2) menghilangkan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), (3) peningkatan efisiensi birokasi serta (4) efektivitas penyelenggaraan pemerintahan birokrasi.
Hal ini tentunya kepemimpinan kepala daerah Maluku (Assagaf dan Sahuburua) akan menjadi faktor kunci terlaksana perombakan birokrasi dengan baik. Dengan mampu mengubah budaya kerja dan membangun kapasitas birokrasi dengan baik.
Setidaknya mencakup perubahan secara gradual terhadap nilai (public value) dan budaya aparat pemerintah daerah yang berimplikasi pada etos kerja, kualitas pelayanan publik, hingga perubahan perilaku sebagai penguasa (ambtenaar) menjadi pelayan dan pengayom bagi masyarakat Maluku. (bm 10/*)
RENCANA perombakan birokrasi oleh Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Said Assagaf dan Zeth Sahuburua terus menggelinding benak publik. Namun gebrakan untuk mereformasi birokrasi Pemda Maluku harus menunggu waktu yang tepat dan efisien.
Akan tetapi disisi lainnya, penyegaran tubuh pemerintahan dan efisensi birokrasi sudah layak dan saatnya di lakukan saat ini oleh pasangan SETIA, mengingat lingkup SKPD dan birokrasi masih terisi oleh orang-orang lama sehingga dibutuhkan reformasi birokrasi diberbagai jenjang pemerintahan Maluku agar tercipta pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance).
Hal ini disampaikan oleh Koordinator Indonesian Democration Reform Institute atau INDEI, Wahada Mony di Jakarta.
Menurut Mony, perombakan birokrasi ini akan sangat penting dan strategis jika dilakukan oleh pemerintah Provinsi Maluku. Karena untuk mengukur dan mengevaluasi kembali kinerja pimpinan lembaga pemerintahan di setiap lingkup SKPD Maluku dan prestasi para birokrat atas capaian kerja pemerintahan yang terukur dari masukan, proses, keluaran, hasil, manfaat, hingga dampak kebijakan bagi rakyat.
Maka sudah seharusnya Pemprov Maluku segera melakukan perombakan birokrasi secara kompeten dan profesional di tubuh pemerintahan Maluku.
“Birokrasi Maluku harus segera dirombak karena tidak ada kekhawatiran upaya untuk membangun Maluku akan terhambat karena ketidakmampuan bekerja para pejabat birokrasi yang tidak berkompeten dibidangnya” kritik Mony.
Aktifis PB HMI ini menilai, sejauh ini rakyat begitu pesimis dan kurang percaya lagi kepada kinerja birokrasi di Maluku. Hal ini karena merosotnya kinerja para pelaku birokrat maupun pimpinan di lingkup SKPD pemerintahan yang tidak mampu memberi pelayanan publik dengan baik, tidak akuntabel bahkan maraknya praktek KKN di berbagai lingkup dinas terkait yang mengarah pada inkompetensi kinerja birokrasi yang amburadul. Sehingga perlu perbaikan dan penataan sistem birokrasi pemerintahan secara profesional dan terbuka yang harus dilakukan dengan pergantian dan perombakan sejumlah birokrat dilingkup SKPD yang dianggap kinerjanya buruk, memiliki sejumlah rapor merah di aspek kebijakan, serta inkompetensi pada jabatan pemerintahan yang emban.
Hal ini bukan tanpa alasan, karena ciri dan mental birokrasi kita terutama di Maluku lebih dekat dengan mental birokrat yang korup, lamban bekerja, malas dan tidak taat kinerja serta minim prestasi.
“Perombakan birokrasi haruslah benar-benar profesional dan sesuai dengan kriteria pejabat birokrat yang tepat dan kompeten di bidangnya. Bukan karena landasan politis apalagi like and dislike, sehingga efektif pemerintahan yang dibangun oleh Assagaf dan Sahuburua berjalan dengan baik dan efisien”. Harap Mony lagi.
Perombakan birokrasi atau kata lain reformasi birokrasi bagi Mony merupakan upaya sistematis, terpadu dan komprehensif untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik (good governance), meliputi aspek kelembagaan, sumber daya manusia aparatur, ketatalaksanaan, akuntabilitas, pengawasan, dan pelayanan publik.
Reformasi birokrasi dihadapkan pada upaya mengatasi inefisiensi, inefektivitas, tidak profesional, tidak netral, tidak disiplin, tidak patuh pada aturan, rekrutmen PNS tidak transparan, KKN yang marak di berbagai jenjang pekerjaan dan pelayanan publik yang masih jauh dari harapan.
Untuk itu perombakan birokrasi di Maluku oleh pasangan “SETIA” adalah untuk tujuan (1) perbaikan kualitas layanan publik, (2) menghilangkan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), (3) peningkatan efisiensi birokasi serta (4) efektivitas penyelenggaraan pemerintahan birokrasi.
Hal ini tentunya kepemimpinan kepala daerah Maluku (Assagaf dan Sahuburua) akan menjadi faktor kunci terlaksana perombakan birokrasi dengan baik. Dengan mampu mengubah budaya kerja dan membangun kapasitas birokrasi dengan baik.
Setidaknya mencakup perubahan secara gradual terhadap nilai (public value) dan budaya aparat pemerintah daerah yang berimplikasi pada etos kerja, kualitas pelayanan publik, hingga perubahan perilaku sebagai penguasa (ambtenaar) menjadi pelayan dan pengayom bagi masyarakat Maluku. (bm 10/*)