Efektifitas Data Kemiskinan di Maluku Harus Akomodir Potensi Lokal
http://www.beritamalukuonline.com/2014/06/efektifitas-data-kemiskinan-di-maluku.html?m=0
Ambon - Berita Maluku. Persolan penentuan kriteria kemiskinan di tingkat pusat terkadang tidak sinkron di tingkat lokal, hal ini berpengaruh dalam menentukan tingkat kemiskinan di suatu daerah, hingga penanganan penuntasan masalah sosial ini di ragukan efektifitasnya.
Selain itu ada juga beberapa faktor sosio kemasyarakatan yang berpengaruh pada efektifitas data kemiskinan, salah satunya adalah perilaku budaya orang Maluku yang masih memiliki “ego sosial” yakni tidak mau disebut miskin tetapi cepat tanggap, jika ada bantuan rakyat miskin.
Hal ini terungkap dalam kegiatan diskusi panel yang bertajuk “efektifitas program-program perlindungan sosial“ yang berlangsung di ruang rapat Pemkot Ambon, pekan kemarin.
Salah satu fasilitator penanganan masalah sosial, Pieter Soegiono mengatakan, penetapan pemerintah pusat soal pemenuhan minimal 60 kilogram beras per bulan sebagai acuan untuk menentukan rumah tangga miskin, tidak cocok, jika kita temui di kampung-kampung di Maluku yang lebih mengutamakan pangan lokal yang di konsumsi masyarakat.
“Kriteria kemiskinan tidak efektif jika berpatokan kepada kriteria tersebut,“ tandasnya.
Dijelaskan Soegiono, ada fakta yang tidak bisa diabaikan yakni ikatan emosional dari Koordinator desa yang nota bene adalah alat Negara namun tenyata dalam menyalurkan bantuan lebih mengutamakan keluarga dekatnya sehinga bantuan menjadi salah sasaran.
Soegiono juga menyoroti program pemberdayaan ekonomi dari pemerintah desa yang juga kerap kali tidak efektif, misalnya dari data temuannya di kelurahan Waihaong, Kecamatan Nusaniwe yang terletak di pesisir, diberikan alat-alat pertanian dan obat-obatan, sedangkan di desa yang butuh alat pertanian diberi bantuan perbengkelan.
“Untuk itu, sebelum orang melakukan assessment, seharusnya dia berpatokan kepada data dan fakta realitas di lapangan,” sarannya.
Untuk itu ia menyatakan, program ekonomi harus direvitalisasi dengan merekrut potensi lokal masyarakat desa/kelurahan, maupun yang lainnya harus diakomodir.
Sedangkan salah satu sumber mengatakan, petugas sensus saat mengambil sampel harus melibatkan apartur desa, pasalnya mereka yang lebih tahun kondisi dan kenyataan di lapangan.
Kendati demikian ia menghimbau petugas survey juga harus lebih jeli, sehingga tidak di dikte oleh aparatur desa.
“Dia juga harus memiliki kemampuan untuk mengobservasi dan melihat secara langsung dengan berpatokan pada indicator-indicator seperti asupan kalori, kualitas hunian warga,“ tandasnya.
Ia mengungkapkan, konflik internal juga berpengaruh pada akurasi hasil survey, misalnya jika ada konflik kepentingan aparatur desa dengan seorang warga, bisa berakibat warga tersebut disingkirkan dari daftar penerima bantuan meski dia layak untuk menerima bantuan tersebut.
Sedangkan menurut John Klemens, salah satu Pekerja Sosial Masyarakat mengatakan, sistim yang telah dibangun oleh pemerintah sudah cukup baik, hanya mekanismenya harus dikoreksi yakni verifikasi dilakukan ketika ada masalah pasalnya ketika sudah terjadi masalah, susah untuk dicari solusinya.
Terkait update data kemiskinan, menurut Klemens, data sensus saat ini adalah data yang telah usang pasalnya data tersebut telah dirilis sejak September 2011, dalam jangka waktu tersebut telah banyak terjadi perubahan.
Dijelaskan olehnya, kota Ambon merupakan sebuah kota yang menjedi tujuan migrasi masyarakat Indonesia. “Bisa saja masyarakat yang telah mapan dia sudah keluar meningggalkan kota, sedangkan penggatinya adalah masyarakat yang memang menyumbang beban kemiskinahn dari daerah asalnya,” ungkapnya lugas.
“Selain itu, ada juga kasus dimana keluarga yang tadinya masuk dalam golongan miskin sudah naik ke statusnya misalnya ketika anak-anaknya telah bekerja sebagai PNS atau wiraswasta yang berhasil, itu juga berpengaruh,” tandasnya.
Ketua Yayasan Yosep Maluku itu mengharapkan, kendati memerlukan biaya yang besar, up date data kemiskinan harus dilakukan setiap waktu supaya dapat mengakomodir semua data masyarakat miskin. (Nk)
Selain itu ada juga beberapa faktor sosio kemasyarakatan yang berpengaruh pada efektifitas data kemiskinan, salah satunya adalah perilaku budaya orang Maluku yang masih memiliki “ego sosial” yakni tidak mau disebut miskin tetapi cepat tanggap, jika ada bantuan rakyat miskin.
Hal ini terungkap dalam kegiatan diskusi panel yang bertajuk “efektifitas program-program perlindungan sosial“ yang berlangsung di ruang rapat Pemkot Ambon, pekan kemarin.
Salah satu fasilitator penanganan masalah sosial, Pieter Soegiono mengatakan, penetapan pemerintah pusat soal pemenuhan minimal 60 kilogram beras per bulan sebagai acuan untuk menentukan rumah tangga miskin, tidak cocok, jika kita temui di kampung-kampung di Maluku yang lebih mengutamakan pangan lokal yang di konsumsi masyarakat.
“Kriteria kemiskinan tidak efektif jika berpatokan kepada kriteria tersebut,“ tandasnya.
Dijelaskan Soegiono, ada fakta yang tidak bisa diabaikan yakni ikatan emosional dari Koordinator desa yang nota bene adalah alat Negara namun tenyata dalam menyalurkan bantuan lebih mengutamakan keluarga dekatnya sehinga bantuan menjadi salah sasaran.
Soegiono juga menyoroti program pemberdayaan ekonomi dari pemerintah desa yang juga kerap kali tidak efektif, misalnya dari data temuannya di kelurahan Waihaong, Kecamatan Nusaniwe yang terletak di pesisir, diberikan alat-alat pertanian dan obat-obatan, sedangkan di desa yang butuh alat pertanian diberi bantuan perbengkelan.
“Untuk itu, sebelum orang melakukan assessment, seharusnya dia berpatokan kepada data dan fakta realitas di lapangan,” sarannya.
Untuk itu ia menyatakan, program ekonomi harus direvitalisasi dengan merekrut potensi lokal masyarakat desa/kelurahan, maupun yang lainnya harus diakomodir.
Sedangkan salah satu sumber mengatakan, petugas sensus saat mengambil sampel harus melibatkan apartur desa, pasalnya mereka yang lebih tahun kondisi dan kenyataan di lapangan.
Kendati demikian ia menghimbau petugas survey juga harus lebih jeli, sehingga tidak di dikte oleh aparatur desa.
“Dia juga harus memiliki kemampuan untuk mengobservasi dan melihat secara langsung dengan berpatokan pada indicator-indicator seperti asupan kalori, kualitas hunian warga,“ tandasnya.
Ia mengungkapkan, konflik internal juga berpengaruh pada akurasi hasil survey, misalnya jika ada konflik kepentingan aparatur desa dengan seorang warga, bisa berakibat warga tersebut disingkirkan dari daftar penerima bantuan meski dia layak untuk menerima bantuan tersebut.
Sedangkan menurut John Klemens, salah satu Pekerja Sosial Masyarakat mengatakan, sistim yang telah dibangun oleh pemerintah sudah cukup baik, hanya mekanismenya harus dikoreksi yakni verifikasi dilakukan ketika ada masalah pasalnya ketika sudah terjadi masalah, susah untuk dicari solusinya.
Terkait update data kemiskinan, menurut Klemens, data sensus saat ini adalah data yang telah usang pasalnya data tersebut telah dirilis sejak September 2011, dalam jangka waktu tersebut telah banyak terjadi perubahan.
Dijelaskan olehnya, kota Ambon merupakan sebuah kota yang menjedi tujuan migrasi masyarakat Indonesia. “Bisa saja masyarakat yang telah mapan dia sudah keluar meningggalkan kota, sedangkan penggatinya adalah masyarakat yang memang menyumbang beban kemiskinahn dari daerah asalnya,” ungkapnya lugas.
“Selain itu, ada juga kasus dimana keluarga yang tadinya masuk dalam golongan miskin sudah naik ke statusnya misalnya ketika anak-anaknya telah bekerja sebagai PNS atau wiraswasta yang berhasil, itu juga berpengaruh,” tandasnya.
Ketua Yayasan Yosep Maluku itu mengharapkan, kendati memerlukan biaya yang besar, up date data kemiskinan harus dilakukan setiap waktu supaya dapat mengakomodir semua data masyarakat miskin. (Nk)