Pemdes Tak Transparan, Prona di Amahusu Marak Pungli
http://www.beritamalukuonline.com/2014/05/pemdes-tak-transparan-prona-di-amahusu.html
Ambon - Berita Maluku. Program Nasional Agraria (Prona) berupa pengadaan sertifikat tanah oleh Pemerintah Pusat bagi masyarakat miskin, seyogianya tidak dipungut biaya alias gratis.
Namun, dalam kenyataannya, program tersebut mulai ditungggangi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab sehingga merusak citra Pempus di mata masyarakat.
Salah satu kasusnya terjadi di Desa Amahusu, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon, di mana program sertifikasi yang dilaksanakan Panitia di desa tersebut kepada 120 pemohon telah menuai kontraversi yang ikut merasahkan masyarakat.
Pasalnya, terjadi pungutan liar (pungli) di balik pengurusan sertifikat di mana dari setiap kapling tanah masyarakat ditagih Rp 250 ribu per kapling sehingga menjadi beban bagi masyarakat, terutama golongan masyarakat yang kurang mampu dari sisi ekonomi.
Awalnya dalam pelaksanaan program ini di tahun sebelumnya oleh panitia Prona masyarakat dipungut Rp 70 ribu per orang, tetapi angka tersebut masih ditoleransi masyarakat. Herannya pada tahun ini jumlah tersebut meningkat lebih dari 200 persen sehingga meresahkan masyarakat.
Selain itu juga ditengarai Pemdes Amahusu tidak memiliki peta lokasi lahan-lahan sertifikasi tersebut, sehingga mengakibatkan pengukuran tersebut terkesan hanya untuk memenuhi target.
Dari realita di lapangan, ternyata terjadi pengukuran ganda atas lahan yang sama sehingga dikhawatirkan bisa berimbas menyulut perpecahan dan konflik sosial di tengah masyarakat.
Terkait hal ini, tokoh masyarakat Amahusu Hengky Silooy menegaskan sertifikat atas pengukuran pertama belum diterima pemilik, tetapi kembali diukur lagi pada persil/objek tanah yang sama, sehingga setiap tanah yang diukur bisa menerbitkan dua sertifikat.
Secara terperinci tokoh masyarakat yang kritis ini mengatakan, program Prona ini sudah bermasalah sejak awal karena saat melakukan sosialisasi panitia Prona tidak menjelaskan secara transparan peraturan-peraturan yang mendasari pelaksanaan program ini.
Ia juga menyoroti masalah pungli tersebut. ’’Menurut sepengatahuan saya untuk program ini masyarakat tidak dikenakan biaya, yang harus ditangung oleh masyarakat hanya tiga buah meterai,’’ ujar Hengky lugas, Rabu (21/5).
Dia mengharapkan Kepala BPN Kota Ambon segera turun dan berkoordinasi dengan Pemdes Amahusu terkait pelaksanaan program ini karena kenyataan yang dihadapi di lapangan sangat kontras dengan aturan yang ditetapkan.
’’Selama ini masyarakat telah mengajukan keberatan, tetapi mereka (panitia) malah tidak indahkan mereka jalan terus saja,’’ sesal Hengky. (ev/mg bm 015)
Namun, dalam kenyataannya, program tersebut mulai ditungggangi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab sehingga merusak citra Pempus di mata masyarakat.
Salah satu kasusnya terjadi di Desa Amahusu, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon, di mana program sertifikasi yang dilaksanakan Panitia di desa tersebut kepada 120 pemohon telah menuai kontraversi yang ikut merasahkan masyarakat.
Pasalnya, terjadi pungutan liar (pungli) di balik pengurusan sertifikat di mana dari setiap kapling tanah masyarakat ditagih Rp 250 ribu per kapling sehingga menjadi beban bagi masyarakat, terutama golongan masyarakat yang kurang mampu dari sisi ekonomi.
Awalnya dalam pelaksanaan program ini di tahun sebelumnya oleh panitia Prona masyarakat dipungut Rp 70 ribu per orang, tetapi angka tersebut masih ditoleransi masyarakat. Herannya pada tahun ini jumlah tersebut meningkat lebih dari 200 persen sehingga meresahkan masyarakat.
Selain itu juga ditengarai Pemdes Amahusu tidak memiliki peta lokasi lahan-lahan sertifikasi tersebut, sehingga mengakibatkan pengukuran tersebut terkesan hanya untuk memenuhi target.
Dari realita di lapangan, ternyata terjadi pengukuran ganda atas lahan yang sama sehingga dikhawatirkan bisa berimbas menyulut perpecahan dan konflik sosial di tengah masyarakat.
Terkait hal ini, tokoh masyarakat Amahusu Hengky Silooy menegaskan sertifikat atas pengukuran pertama belum diterima pemilik, tetapi kembali diukur lagi pada persil/objek tanah yang sama, sehingga setiap tanah yang diukur bisa menerbitkan dua sertifikat.
Secara terperinci tokoh masyarakat yang kritis ini mengatakan, program Prona ini sudah bermasalah sejak awal karena saat melakukan sosialisasi panitia Prona tidak menjelaskan secara transparan peraturan-peraturan yang mendasari pelaksanaan program ini.
Ia juga menyoroti masalah pungli tersebut. ’’Menurut sepengatahuan saya untuk program ini masyarakat tidak dikenakan biaya, yang harus ditangung oleh masyarakat hanya tiga buah meterai,’’ ujar Hengky lugas, Rabu (21/5).
Dia mengharapkan Kepala BPN Kota Ambon segera turun dan berkoordinasi dengan Pemdes Amahusu terkait pelaksanaan program ini karena kenyataan yang dihadapi di lapangan sangat kontras dengan aturan yang ditetapkan.
’’Selama ini masyarakat telah mengajukan keberatan, tetapi mereka (panitia) malah tidak indahkan mereka jalan terus saja,’’ sesal Hengky. (ev/mg bm 015)