Politik Transaksional: Antara ’’Caleg Jadi’’ dan (Caleg) ’’Dijadikan’ KPU Maluku
http://www.beritamalukuonline.com/2014/04/politik-transaksional-antara-caleg-jadi.html
POLITIK uang (money politic) dan politik transaksional juga ikut menghiasi wajah perpolitikkan Indonesia sebelum pelaksanaan pemilihan anggota legislatif (pileg), Rabu, hari ini, 9 April 2014. Untuk menggapai kekuasaan dan kekayaan, dua patron politik ini masih laku dijual para elite politik saat ini.
Imbasnya, masyarakat terjebak dan menjadi korban ’horor politik’ yang dilakoni politisi sempalan ditopang ’tangan-tangan tak kelihatan’ (invisible hands) Komisi Pemilihan Umum (KPU). Menakar peluang para calon anggota DPR dan DPD RI daerah pemilihan Maluku bakal menyajikan transaksional politik dimaksud, meski politik uang belum lah final disebut tak tersaji dalam wacana politik ini.
Oleh: RONY SAMLOY
POLITIK dan olahraga ibarat dua sisi mata uang. Tak bisa dipadukan, tapi acap kali saling melengkapi dan saling memengaruhi. Kecerdasan dan kecermatan dalam politik ikut melahirkan calon pemimpin yang beramanah, berintegritas, berkarakter, aspiratif, dan militan terhadap benih-benih ketidakadilan dan kesewenang-wenangan.
Di bilik sebelahnya, mengusung ’fair play game’ dan menjunjung sportivitas, sebuah tim dipastikan akan dinobatkan sebagai ’tim fair play. Olahraga bukan sekadar mengejar prestasi, tapi juga pride dan prestise. Politik? Tak jelas tujuannya, tetap di ranah abu-abu. Karena itu, jika di panggung olahraga, pencinta maupun penikmat laga sepak bola, misalnya, hanya memercayai hasil di lapangan hijau, bukan ramalan di atas kertas para analis dan komentator, maka tidak demikian dengan estimasi di kosmos politik.
Di politik, hasil rekapitulasi di tingkat Panitia Pemungutan Suara (PPS) belum menjamin sepenuhnya (100 persen) bagi seorang calon anggota legislatif (caleg) untuk ongkang kaki atau duduk manis di kursi legislatif untuk durasi lima tahun ke depan. Kontraproduktif dengan olahraga, politik bukan menyajikan hasil di lapangan, tapi nominal (angka-angka) di atas kertas.
Jika di olahraga, ada wasit dan asisten wasit sebagai sutradara di lapangan hijau, keputusannya tak bisa diganggu gugat, di politik yang menjadi sutradaranya adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU). Jika proses politik, entah pemilihan anggota legislatif (Pileg), pemilihan presiden (Pilpres) maupun pemilihan umum kepala daerah (Pilkada), berlangsung elegan dan fair, praktis lima komisioner KPU akan dianggap sukses karena benar-benar mempertaruhkan kredibilitas dan integritas mereka dengan baik dan akuntabel.
Sebaliknya, jika agenda politik berjalan semrawut, tingkat partisipasi pemilih menurun drastis, calon yang dijadikan tak berkualitas dan hanya melakoni diri bak ’pot bunga’ di Senayan, paling rendah jadi siswa taman kanak-kanak seperti dagelan politik mendiang Presiden Gus Dur di DPRD provinsi/kabupaten/kota, KPU layak disebut ’biang kerok’ dari kotornya atmosfer politik yang tersaji dan disajikan pihak penyelenggara.
Memasuki Pileg 2014, Rabu hari ini (9/4), KPU Maluku plus penyelengara serupa di 11 kabupaten/kota Maluku, diperhadapkan pada dua terminologi. Pertama, sosok (caleg) jadi, dan kedua, sosok yang ’dijadikan’ KPU. Sosok jadi secara alamiah mengkristalisasi pada caleg-caleg yang punya elektabilitas tinggi di masyarakat, sehingga imbasnya mereka memeroleh suara signifikan pada Pileg kali ini.
Sebaliknya, bagi caleg-caleg yang dijadikan KPU, mereka umumnya merupakan sosok yang diragukan kapasitasnya, kurang popular, elektabilitas yang rendah, tapi mereka datang dari latar belakang keluarga penguasa kuat dan pengusaha ternama di salah satu atau beberapa kabupaten/kota di Maluku. Ambil misal sosok Amrullah Amri Tuasikal, caleg Gerindra Nomor urut 1 untuk DPR RI Daerah Pemilihan Maluku.
Dibanding ayahnya, Abdulah Tuasikal, Amri tak popular di dunia aktivis kepemudaan apalagi dunia politik Maluku. Namun, ditopang jumlah konstituen yang relatif besar, lebih dari 100.000 pemilih (dari 300 ribu jiwa lebih penduduk Maluku Tengah), Amri dipastikan akan diloloskan KPU Maluku Tengah sebagai Anggota DPR RI periode 2014/19. Perhitungannya sederhana, mantan Ketua KPU Maluku Tengah La Alwi kini masuk jajaran komisioner KPU Maluku 2014/19.
La Alwi merupakan golden boy (anak emas) Abdulah Tuasikal selagi berkuasa dua periode (2001/06 dan 2006/11) di ’Bumi Pamahanunusa’ itu. Politik acap kali menyajikan dua sekmen, balas jasa dan balas dendam. Suara Amri akan mengalahkan caleg nomor urut 1 dari PKB, Rohani Vanath, istri Bupati SBT Abdulah Vanath, yang bertarung dengan donasi pemilih hampir 60 ribu di SBT.
Konfigurasi politik di kubu PDI Perjuangan akan kembali memosisikan ’tokoh veteran PDI’ Alexander atau Alex Litaay sebagai aleg DPR RI asal Maluku untuk periode lima tahun ke depan. Terima atau menolak, senioritas menjadi ’harga mati’ bagi PDIP. Nah, tarik menarik kepentingan dan politik transaksional ustru akan tersaji di antara caleg Demokrat dan Partai Golongan Karya.
Pertama, jika dari Golkar akan mengapung nama Hamzah Sangajie (nomor urut 2), konstelasi politik di tubuh Demokrat akan mengerucut ke sosok Elwen Roy Pattiasina (nomor urut 2). Kedua, jika dari Demokrat akan mengapung nama Suaedy Marasabessy (nomor urut 1)---atau istrinya, Derita Rina/nomor urut 3), Golkar kemungkinan akan meloloskan Edison Betaubun (nomor urut 1) (atau Marleen Peeta/nomor urut 3) untuk mewujudkan ’sharing power ’perimbangan’ versi KPU Maluku.
Bagaimana peluang para calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia Dapil Maluku?. Posisi satu atau dua teratas diprediksi bakal diduduki kembali Jhon Pieris (incumbent) dan Nono Sampono sebagai pendatang baru. Posisi ketiga dan keempat milik siapa? Masih mengusung semangat orang basudara, banyak analis politik memperkirakan dua posisi akhir dari konstelasi 4 kursi DPD asal Maluku di Senayan, Jakarta, ini akan disabet Ana Latuconsina (incumbent) dan Enggelina Pattiasina, mantan anggota DPR RI dapil Sulawesi Utara.
Dari aspek kapasitas, kemampuan lobi, dan kemampuan memengaruhi kebijakan nasional, sosok Pieris, Sampono dan Pattiasina oleh banyak kalangan dinilai sangat layak mengemban aspirasi rakyat Maluku untuk perjuangan Provinsi Kepulauan, Lumbung Ikan Nasional (LIN), hak 10 persen Participating Interest (PI) Gas Alam Cair Blok Masela, Kabupaten Maluku Barat Daya, dan aspirasi daerah lainnya yang sejauh ini masih mandek di tingkat pusat.
Meski terbatas kewenangannya ketimbang DPR RI, namun meloloskan anggota DPD yang cerdas, berkualitas, dan punya jaringan lobi di tingkat nasional, akan sangat efektif untuk mewujudkan aspirasi Maluku yang gagal diperjuangkan anggota DPR RI dapil Maluku periode 2009/14 lalu.
Kita berharap melalui pileg nanti, akan lahir empat aleg DPR dan empat anggota DPD RI asal Maluku yang cerdas, militan, dan mampu menjembatani aspirasi lokal ke tingkat nasional. Pemilih yang cerdas lasimnya memilih calon pemimpin yang cerdas, beramanah, berkatakter, dan berintegritas. Selamat menyalurkan aspirasi politik di Tempat Pemungutan Suara (TPS) masing-masing. (**)
Imbasnya, masyarakat terjebak dan menjadi korban ’horor politik’ yang dilakoni politisi sempalan ditopang ’tangan-tangan tak kelihatan’ (invisible hands) Komisi Pemilihan Umum (KPU). Menakar peluang para calon anggota DPR dan DPD RI daerah pemilihan Maluku bakal menyajikan transaksional politik dimaksud, meski politik uang belum lah final disebut tak tersaji dalam wacana politik ini.
Oleh: RONY SAMLOY
POLITIK dan olahraga ibarat dua sisi mata uang. Tak bisa dipadukan, tapi acap kali saling melengkapi dan saling memengaruhi. Kecerdasan dan kecermatan dalam politik ikut melahirkan calon pemimpin yang beramanah, berintegritas, berkarakter, aspiratif, dan militan terhadap benih-benih ketidakadilan dan kesewenang-wenangan.
Di bilik sebelahnya, mengusung ’fair play game’ dan menjunjung sportivitas, sebuah tim dipastikan akan dinobatkan sebagai ’tim fair play. Olahraga bukan sekadar mengejar prestasi, tapi juga pride dan prestise. Politik? Tak jelas tujuannya, tetap di ranah abu-abu. Karena itu, jika di panggung olahraga, pencinta maupun penikmat laga sepak bola, misalnya, hanya memercayai hasil di lapangan hijau, bukan ramalan di atas kertas para analis dan komentator, maka tidak demikian dengan estimasi di kosmos politik.
Di politik, hasil rekapitulasi di tingkat Panitia Pemungutan Suara (PPS) belum menjamin sepenuhnya (100 persen) bagi seorang calon anggota legislatif (caleg) untuk ongkang kaki atau duduk manis di kursi legislatif untuk durasi lima tahun ke depan. Kontraproduktif dengan olahraga, politik bukan menyajikan hasil di lapangan, tapi nominal (angka-angka) di atas kertas.
Jika di olahraga, ada wasit dan asisten wasit sebagai sutradara di lapangan hijau, keputusannya tak bisa diganggu gugat, di politik yang menjadi sutradaranya adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU). Jika proses politik, entah pemilihan anggota legislatif (Pileg), pemilihan presiden (Pilpres) maupun pemilihan umum kepala daerah (Pilkada), berlangsung elegan dan fair, praktis lima komisioner KPU akan dianggap sukses karena benar-benar mempertaruhkan kredibilitas dan integritas mereka dengan baik dan akuntabel.
Sebaliknya, jika agenda politik berjalan semrawut, tingkat partisipasi pemilih menurun drastis, calon yang dijadikan tak berkualitas dan hanya melakoni diri bak ’pot bunga’ di Senayan, paling rendah jadi siswa taman kanak-kanak seperti dagelan politik mendiang Presiden Gus Dur di DPRD provinsi/kabupaten/kota, KPU layak disebut ’biang kerok’ dari kotornya atmosfer politik yang tersaji dan disajikan pihak penyelenggara.
Memasuki Pileg 2014, Rabu hari ini (9/4), KPU Maluku plus penyelengara serupa di 11 kabupaten/kota Maluku, diperhadapkan pada dua terminologi. Pertama, sosok (caleg) jadi, dan kedua, sosok yang ’dijadikan’ KPU. Sosok jadi secara alamiah mengkristalisasi pada caleg-caleg yang punya elektabilitas tinggi di masyarakat, sehingga imbasnya mereka memeroleh suara signifikan pada Pileg kali ini.
Sebaliknya, bagi caleg-caleg yang dijadikan KPU, mereka umumnya merupakan sosok yang diragukan kapasitasnya, kurang popular, elektabilitas yang rendah, tapi mereka datang dari latar belakang keluarga penguasa kuat dan pengusaha ternama di salah satu atau beberapa kabupaten/kota di Maluku. Ambil misal sosok Amrullah Amri Tuasikal, caleg Gerindra Nomor urut 1 untuk DPR RI Daerah Pemilihan Maluku.
Dibanding ayahnya, Abdulah Tuasikal, Amri tak popular di dunia aktivis kepemudaan apalagi dunia politik Maluku. Namun, ditopang jumlah konstituen yang relatif besar, lebih dari 100.000 pemilih (dari 300 ribu jiwa lebih penduduk Maluku Tengah), Amri dipastikan akan diloloskan KPU Maluku Tengah sebagai Anggota DPR RI periode 2014/19. Perhitungannya sederhana, mantan Ketua KPU Maluku Tengah La Alwi kini masuk jajaran komisioner KPU Maluku 2014/19.
La Alwi merupakan golden boy (anak emas) Abdulah Tuasikal selagi berkuasa dua periode (2001/06 dan 2006/11) di ’Bumi Pamahanunusa’ itu. Politik acap kali menyajikan dua sekmen, balas jasa dan balas dendam. Suara Amri akan mengalahkan caleg nomor urut 1 dari PKB, Rohani Vanath, istri Bupati SBT Abdulah Vanath, yang bertarung dengan donasi pemilih hampir 60 ribu di SBT.
Konfigurasi politik di kubu PDI Perjuangan akan kembali memosisikan ’tokoh veteran PDI’ Alexander atau Alex Litaay sebagai aleg DPR RI asal Maluku untuk periode lima tahun ke depan. Terima atau menolak, senioritas menjadi ’harga mati’ bagi PDIP. Nah, tarik menarik kepentingan dan politik transaksional ustru akan tersaji di antara caleg Demokrat dan Partai Golongan Karya.
Pertama, jika dari Golkar akan mengapung nama Hamzah Sangajie (nomor urut 2), konstelasi politik di tubuh Demokrat akan mengerucut ke sosok Elwen Roy Pattiasina (nomor urut 2). Kedua, jika dari Demokrat akan mengapung nama Suaedy Marasabessy (nomor urut 1)---atau istrinya, Derita Rina/nomor urut 3), Golkar kemungkinan akan meloloskan Edison Betaubun (nomor urut 1) (atau Marleen Peeta/nomor urut 3) untuk mewujudkan ’sharing power ’perimbangan’ versi KPU Maluku.
Bagaimana peluang para calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia Dapil Maluku?. Posisi satu atau dua teratas diprediksi bakal diduduki kembali Jhon Pieris (incumbent) dan Nono Sampono sebagai pendatang baru. Posisi ketiga dan keempat milik siapa? Masih mengusung semangat orang basudara, banyak analis politik memperkirakan dua posisi akhir dari konstelasi 4 kursi DPD asal Maluku di Senayan, Jakarta, ini akan disabet Ana Latuconsina (incumbent) dan Enggelina Pattiasina, mantan anggota DPR RI dapil Sulawesi Utara.
Dari aspek kapasitas, kemampuan lobi, dan kemampuan memengaruhi kebijakan nasional, sosok Pieris, Sampono dan Pattiasina oleh banyak kalangan dinilai sangat layak mengemban aspirasi rakyat Maluku untuk perjuangan Provinsi Kepulauan, Lumbung Ikan Nasional (LIN), hak 10 persen Participating Interest (PI) Gas Alam Cair Blok Masela, Kabupaten Maluku Barat Daya, dan aspirasi daerah lainnya yang sejauh ini masih mandek di tingkat pusat.
Meski terbatas kewenangannya ketimbang DPR RI, namun meloloskan anggota DPD yang cerdas, berkualitas, dan punya jaringan lobi di tingkat nasional, akan sangat efektif untuk mewujudkan aspirasi Maluku yang gagal diperjuangkan anggota DPR RI dapil Maluku periode 2009/14 lalu.
Kita berharap melalui pileg nanti, akan lahir empat aleg DPR dan empat anggota DPD RI asal Maluku yang cerdas, militan, dan mampu menjembatani aspirasi lokal ke tingkat nasional. Pemilih yang cerdas lasimnya memilih calon pemimpin yang cerdas, beramanah, berkatakter, dan berintegritas. Selamat menyalurkan aspirasi politik di Tempat Pemungutan Suara (TPS) masing-masing. (**)