Dinas Perhubungan Maluku Terkesan Pasif Terhadap Nasib Pelaut
http://www.beritamalukuonline.com/2014/04/dinas-perhubungan-maluku-terkesan-pasif.html
Ilustrasi |
Bagaimana tidak, daerah yang dulunya hanya bisa dijangkau dengan kapal perintis ukuran kecil seperti Maloli, Manusela dan Banda Naira kini telah diperkuat dengan Kapal-kapal perintis ukuran besar, hal ini jelas sangat membuahkan kebahagiaan tersendiri bagi mereka yang berasal dari daerah paling terluar dalam kepulauan Maluku ini.
Permasalahan kepadatan penumpang sampai berkali-kali lipat dari kapasitas muat yang diijinkan kini jelas menjadi cerita lama.
Namun ditengah keberhasilan pemerintah pusat dalam memenuhi permintaan pemerintah provinsi akan penambahan angkutan laut, pemerintah provinsi justru terkesan apatis. Pemerintah seakan melepaskan sebagian tanggung jawabnya kepada pihak Administrator Pelabuhan, Dinas Perhubungan yang pada fungsi awalnya adalah untuk memonitoring operasional setiap kapal melalui penempatan komprador-komprador dinas perhubungan pada masing-masing kapal, kini justru ditarik tanpa pengawasan yang jelas.
Alhasil banyak kapal perintis yang dioperasikan tidak sesuai dengan ketentuan waktu yang sudah dibakukan. Salah satu contoh, banyak kapal perintis cendrung berlabu sampai berhari-hari di dalam teluk Ambon, padahal sesuai aturan perintis; "jika pelabuhan Ambon adalah pelabuhan terakhir maka jangka waktu kapal berlabuh adalah 3 hari terhitung dari kapal tiba sampai dengan waktu keberangkatan lagi, tetapi jika pelabuhan Ambon adalah pelabuhan singgah maka batas waktu yang diberikan dari kapal tiba sampai dengan waktu keberangkatan adalah enam jam".
Hal ini sangat berefek negatif terhadap penumpukan penumpang dan jelas akan mengganggu rantai perekonomian yang cendrung akan dirasakan mesyarakat kepulauan, belum lagi jika terjadi kondisi cuaca buruk, kenaikan harga barangpun akan menjadi permasalahan musiman karena supply bahan kebutuhan menjadi sangat terhambat.
Kurangnya pengawasan dinas perhubunganpun menjadikan operator kapal cendrung membandel terhadap aturan, sampai-sampai dalam hal pengawakan kapalpun tidak ditempatkan sesuai dengan aturan yang dibakukan di dalam KM 70. Belum lagi awak kapal yang tidak dibekali dengan sertifikat ketrampilan penunjang keselamatan kapal penumpang, dan yang lebih parah lagi perwira kapal gadungan dengan ijasah palsu yang justru dipercayakan untuk mengawaki kapal, dengan demikian standard manajemen keselamatan pelayaran atau ISM CODE (Internasional Safety Management Code) menjadi dibawah rata-rata.
Perlu disadari bahwa Sumber Daya Manusia yang dibutuhkan dalam hal pengawakan kapal pada kenyataanya sangat sulit ditemui di daerah Maluku ini, padahal tidak sedikit putra daerah ini yang memiliki ijasah laut yang tinggi.
Perlu diketahui bahwa hal ini sebenarnya akibat dari standard pengupahan pelaut untuk daerah Maluku yang terkenal jauh dibawah standard, boleh dikatakan "Tidak Wajar" sehingga tidak heran jika pada akhirnya lebih dari 80% putra daerah Maluku yang memiliki ajasah memenuhi standard justru hengkang dari tanah sendiri dan memilih menguji nasib di daerah lain.
Survey membuktikan bahwa dalam setahun lebih dari 20 orang lulusan SMA/STM Negeri Ambon yang kemudian melanjutkan pendidikannya di Akademi Pelayaran tetapi tidak satupun yang mau kembali mengabdi untuk daerah sendiri.
Penyebabnya cukup jelas, bisa dibayangkan jika upah seorang pelaut berjasah tinggi disamakan dengan upah supir metro mini..??.
salah satu faktor penyebab adalah banyak pelaut berijasah palsu bersedia diupah dengan gaji jauh dibawa standard, dengan demikian operator kapal atau perusahaan pelayaran ini cendrung lebih memilih pelaut dengan tawaran rendah, padahal standard pengupahan pelaut justru sudah diatur dalam konvensi IMO (International Maritime Organisation) tahun 2010 di Manila.
ADMINISTRATOR PELABUHAN (ADPEL) dan Dinas Perhubungan Provinsi sesunggunya memiliki kapasitas untuk melakukan perubahan dalam hal ini, namun entah mengapa dua institusi ini seakan menutup mata dan tak perduli.
Mengenai standard pengawakan kapal memang kapasitas ADPEL, namun jika ADPEL masih tetap memberikan toleransi terhadap hal-hal seperti ini maka DINAS PERHUBUNGAN dengan kapasitasnya harus turun lapangan untuk mengatasi hal ini.
Dan jika perlu pemerintah provinsi harus menyusun tim yang terdiri dari beberapa orang berlatar belakang pendidikan pelaut untuk dapat melakukan Audit secara berkala untuk menunjukan tanggung jawab pemerintah provinsi terhadap nasib para pelaut dan lebih terutama lagi terhadap keselamatan masyarakat pengguna jasa kapal-kapal yang dimaksud. (**/bm 10)