Wali Kota Berharap Raja Latuhalat Kembangkan Wisata
http://www.beritamalukuonline.com/2014/01/wali-kota-berharap-raja-latuhalat.html
Ambon - Berita Maluku. Wali Kota Ambon Richard Louhenapessy mengakui Latuhalat dan negeri-negeri lain di Semenanjung Nusaniwe punya potensi unggulan di sektor pariwisata bahari maupun kearifan lokal yang spesifik. Kendalanya, hingga saat ini potensi unggulan itu belum mampu dikelola dengan baik dan profesional bagi peningkatan derajat hidup masyarakat maupun pendapatan negeri-negeri pesisir di wilayah itu.
Karena itu, saat melantik Audy Salhuteru (51) sebagai Raja Latuhalat masa bakti 2014-2020, Richard harapkan Audy dan unsur Pemerintah Negeri (Pemneg) Latuhalat dapat mengembangkan potensi-potensi wisata setempat agar berdampak luas bagi masyarakat.
’’Saya makan ikan Napoleon di Hong Kong harganya Rp 2 juta, saya makan ikan Kakatua di Jawa bayar Rp 1,8 juta. Di Latuhalat sini saya makan ikan gratis. Kalau di Ambon biasanya ikan makan 1-2 kali, kalau di Jawa ikan mati bisa 4 kali. Di sini saya makan ikan hidup-hidup, ditangkap dari laut langsung disantap. Saya berjanji akan mengundang pejabat-pejabat daerah ini maupun tamu-tamu asing untuk makan di sini suatu hari nanti. Saya minta bapak Raja dan masyarakat di sini bisa siapkan harinya dan pelaksanaan acaranya,’’ pesan orang nomor satu Kota Ambon itu.
Menurut Richard, bagi Negara-negara berkembang, warganya berantusiasme ke luar negeri, Singapura, Malaysia, Belanda, Jerman, dan Negara-negara maju lainnya di Eropa dan Asia.
’’Tapi orang Barat itu mereka suka cari pemandangan alam yang asli. Mereka back to natural. Makanya tiap tahun banyak turis yang berkunjung ke Pulau Osi, Ora (Seram Barat/Maluku), Raja Ampat (Papua Barat), karena alamnya asli. Di sini ada potensi yang bisa kita kembangkan untuk menarik masuk para wisatawan,’’ terang Richard.
Dijelaskan Richard, identitas suatu bangsa atau suku bangsa diketahui dari tiga hal, yakni bahasa, makanan, dan pranata-pranata sosial.
’’Dari gaya bahasa, kita bisa tahu orang ini dari Jawa, orang ini dari Makassar, orang ini dari Maluku Tenggara,orang ini dari Hatuhaha, orang ini dari Ternate. Di Ambon khusus di jazirah Leitimur tak ada lagi bahasa asli, hanya dialek melayu Ambon. Untuk makanan, orang tahu orang itu dari Makassar karena coto Makassar, orang itu dari Madura karena coto Madura, orang itu dari Palembang karena empek-empek, orang itu dari Manado karena bubur manado, dan itu sudah diakui secara nasional. Di Ambon sebenarnya ada produk yang bisa dikembangkan secara nasional, tinggal kemauan kita bersama. Unsur ketiga adalah pranata-pranata sosial, misalnya seni musik, tari-tarian, rumah adat baileo dan lainnya. Khusus untuk musik Pemkot telah mengumandang Ambon sebagai ’City of Music’ karena sejak lama kedekatan orang Ambon dengan musik memang sangat kental. Khusus untuk baileo, kita harapkan setelah Latuhalat ini, Seilale dan Amahusu pun bisa bangun baileo yang representatif. Jadi kita perlu lestarikan kearifan lokal kita sebagai daya kekuatan pengembangan sektor pariwisata,’’ imbau Richard. (ev/mg bm 015/rony samloy)
Karena itu, saat melantik Audy Salhuteru (51) sebagai Raja Latuhalat masa bakti 2014-2020, Richard harapkan Audy dan unsur Pemerintah Negeri (Pemneg) Latuhalat dapat mengembangkan potensi-potensi wisata setempat agar berdampak luas bagi masyarakat.
’’Saya makan ikan Napoleon di Hong Kong harganya Rp 2 juta, saya makan ikan Kakatua di Jawa bayar Rp 1,8 juta. Di Latuhalat sini saya makan ikan gratis. Kalau di Ambon biasanya ikan makan 1-2 kali, kalau di Jawa ikan mati bisa 4 kali. Di sini saya makan ikan hidup-hidup, ditangkap dari laut langsung disantap. Saya berjanji akan mengundang pejabat-pejabat daerah ini maupun tamu-tamu asing untuk makan di sini suatu hari nanti. Saya minta bapak Raja dan masyarakat di sini bisa siapkan harinya dan pelaksanaan acaranya,’’ pesan orang nomor satu Kota Ambon itu.
Menurut Richard, bagi Negara-negara berkembang, warganya berantusiasme ke luar negeri, Singapura, Malaysia, Belanda, Jerman, dan Negara-negara maju lainnya di Eropa dan Asia.
’’Tapi orang Barat itu mereka suka cari pemandangan alam yang asli. Mereka back to natural. Makanya tiap tahun banyak turis yang berkunjung ke Pulau Osi, Ora (Seram Barat/Maluku), Raja Ampat (Papua Barat), karena alamnya asli. Di sini ada potensi yang bisa kita kembangkan untuk menarik masuk para wisatawan,’’ terang Richard.
Dijelaskan Richard, identitas suatu bangsa atau suku bangsa diketahui dari tiga hal, yakni bahasa, makanan, dan pranata-pranata sosial.
’’Dari gaya bahasa, kita bisa tahu orang ini dari Jawa, orang ini dari Makassar, orang ini dari Maluku Tenggara,orang ini dari Hatuhaha, orang ini dari Ternate. Di Ambon khusus di jazirah Leitimur tak ada lagi bahasa asli, hanya dialek melayu Ambon. Untuk makanan, orang tahu orang itu dari Makassar karena coto Makassar, orang itu dari Madura karena coto Madura, orang itu dari Palembang karena empek-empek, orang itu dari Manado karena bubur manado, dan itu sudah diakui secara nasional. Di Ambon sebenarnya ada produk yang bisa dikembangkan secara nasional, tinggal kemauan kita bersama. Unsur ketiga adalah pranata-pranata sosial, misalnya seni musik, tari-tarian, rumah adat baileo dan lainnya. Khusus untuk musik Pemkot telah mengumandang Ambon sebagai ’City of Music’ karena sejak lama kedekatan orang Ambon dengan musik memang sangat kental. Khusus untuk baileo, kita harapkan setelah Latuhalat ini, Seilale dan Amahusu pun bisa bangun baileo yang representatif. Jadi kita perlu lestarikan kearifan lokal kita sebagai daya kekuatan pengembangan sektor pariwisata,’’ imbau Richard. (ev/mg bm 015/rony samloy)