Film "Cahaya Dari Timur, Beta Maluku": Satire, Ironi, Humanisme, dan Eskpektasi Sepak Bola Maluku
http://www.beritamalukuonline.com/2014/01/film-cahaya-dari-timur-beta-maluku.html?m=0
Oleh: RONY SAMLOY
SECARA pribadi, sebagai jurnalis olahraga, saya kagum dan memberikan apresiasi tinggi kepada Glend Fredly Latuihamallo dan kawan-kawan yang menginspirasi pembuatan film layar lebar:’’ Cahaya Dari Timur, Beta Maluku’’. Saya respek sekali atas niat baik sang sutradara, Angga Dimas Sasongko, dan artis pendukung Chicco Jerikho, untuk memfilmkan kisah mantan pesepakbola asal Tulehu Sani Tawainella yang sukses menyemai benih-benih perdamaian dan pesan-pesan humanisme melalui sepak bola.
SEPAK bola mengandung tiga unsur, sporty, respect, dan regulation. Dalam bingkai olahraga, sepak bola kerap menyerukan pentingnya perdamaian, tak ada perlakuan rasial (no racism), bebas penggunaan obat-obat terlarang (no drugs), dan mencapai kemenangan dengan cara-cara elegan dan bermartabat (fair play).
Dalam sudut pandang respect (saling menghargai), FIFA sebagai otoritas tertinggi sepak bola di muka bumi selalu berupaya menjadikan sepak bola sebagai momentum terbaik untuk melupakan perang, tidak memerhatikan warna kulit, suku, agama, ras, atau kelompok kepentingan. Tak ada hitam putih dalam sepak bola.
Sepak bola harus bebas dari anasir dan intervensi politik. Biarkan sepak bola bermain dalam ranahnya sendiri. Sepak bola pun tunduk pada aturan baku FIFA, tak bisa diintervensi hukum Negara sekali pun.
Ketua Komisi Disiplin PSSI Hinca Panjaitan menegaskan Hukum Negara Tidak Berlaku dalam Sepak Bola. Menurut pria Batak ini, sepak bola adalah permainan yang dikuasai dan dikontrol FIFA secara mutlak. Maka, kompetisi sepak bola pun dikelola dan dimiliki oleh FIFA. Namun, mengingat sebuah pertandingan sepak bola butuh lapangan yang berada di bawah kedaulatan sebuah negara, maka tak ada pertandingan sepak bola tanpa izin negara.
Namun, dalam sebuah pertandingan, hukum negara tidak lagi berlaku. Segala hal yang terjadi di atas lapangan hijau merujuk pada regulasi yang ditetapkan oleh FIFA sebagai otoritas tertinggi dalam sepak bola. Hal tersebut, berlaku untuk semua negara di seluruh dunia yang menjadi anggota FIFA. Bahkan, dalam beberapa kasus, hukum di sebuah negara harus tunduk pada hukum sepak bola yang dibuat FIFA.
"Sepak bola memiliki kedaulatannya sendiri. Bentuk-bentuk intervensi dalam sepak bola yang dilakukan negara, bisa berbuah sanksi dari FIFA," kata Hinca yang meraih gelar doktor ilmu hukum olah raga dari Universitas Pelita Harapan, Tangerang ini.
Maluku punya dua ikon utama pembangunan, yakni seni dan olahraga. Sepanjang dekade 1970an sampai 1980an, nama Maluku begitu kesohor dengan musisi-musisi haus festival internasional, seperti Enteng Tanamal, Bob Tutupoly, Broery Pesolima (Marantika), Melky Goeslaw, Utha Likumahuwa. Jopie Latul, Harvey Malaiholo, Ruth Sahanaya, dan lainnya. Dari jalur olahraga, siapa tak kenal petinju Wiem Gommies, juara Asian Games 1972 di Thailand, Carolina Nina Rieuwpassa (sprinter putri pertama Indonesia yang tampil di Olimpiade 1972 Muenchen dan 1976 Montreal), Ema Tahapary, Albert Papilaya, Elyas Pical, Poly Pesireron, Nico Thomas, dan olahragawan Maluku lainnya.
Dari lapangan hijau berjejer sejumlah pesohor, antara lain Rony Pattinasarany, Bertje Mattulapelwa, John Lesnussa, Simson Rumahpassal, Jacob Sihasale, Ferril Raymond Hattu, Dony Latupeirissa, Alexander Saununu, Rocky Poetiray, Khairil Anwar Ohorella, Manahati Lestusen, dan generasi selanjutnya yang masih menghiasi starting eleven timnas Merah Putih di sejumlah event regional dan internasional. Kejayaan masa lampau itu kini terdegradasi perkembangan zaman, dan korban iklan-iklan stasion televisi swasta nasional.
Kini kejayaan orang Maluku di bidang seni dan olahraga terpuruk seiring ketidakpedulian pemerintah daerah dan imbas pembangunan rumah-rumah modern. Dibanding daerah lain, mayoritas anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota di Maluku tak paham olahraga. Mereka hanya kewel soal konfigurasi politik nasional, tapi otak kurang gizi ketika disinggung visi dan strategi pembangunan seni dan olahraga Maluku. Satire mengemuka ketika banyak penggila sepak bola yang tak tahu di mana posisi Kota Ambon.
Mereka lebih akrab dengan nama Jayapura, Papua, atau Ternate, Maluku Utara. Alangkah naif jika mereka kaitkan Ambon dengan Papua, bukan dengan Maluku karena Ambon ibu kota Maluku. Tapi itu realita karena sampai saat ini klub kebanggaan Ambon, PSA terpuruk dan tidur panjang dalam ketidakpastian.
Ejekan lain bermunculan ketika orang mempertanyakan apa ada tim dari Maluku yang bertahta di Indonesia Super League (ISL)? Kita mau jawab apa ketika pertanyaan itu dilontarkan? Paling-paling duduk diam dan menghindari perbantahan yang bisa berbuntut insiden tak diinginkan. Dalam AD/ART PSA, wali kota ex ofisio Ketua umum PSA. Herannya, selama hampir 15 tahun terakhir, dua wali kota Ambon lebih memilih membina tinju dan atletik.
Lapangan Merdeka sebagai lapangan bersejarah yang kerap melahirkan pemain-pemain potensial untuk Timnas Garuda A, B, dan C di zaman revolusi dan dekade 1990an, justru dialihfungsikan sebagai lapangan upacara dan pusat perhelatan konser musik, kampanye-kampanye politik, dan tempat mangkal anak baru gede (ABG). Sah-sah saja kebijakan Pemkot Ambon sebagai imbas kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan konsekuensi sebuah kota modern.
Beruntung di tengah satire dan ironi pembinaan sepak bola Ambon, ada ’ratna mutu manikam’ bernama Tulehu. Negeri di utara Pulau Ambon ini menjadi ikon pembinaan sepak bola di Maluku dan Indonesia. Dari Tulehu pula orang kembali memelajari Maluku dengan segala mozaiknya, entah keindahan alamnya maupun melimpahnya bakat-bakat luar biasa di lapangan hijau dan cabor lain.
Tulehu menjadi kebanggaan tersendiri karena menjadi satu-satunya desa di dunia yang sukses mengantarkan putra-putranya menjadi juara di negaranya (baca: Indonesia) tahun 2006. Sebagai jantung Pulau Ambon yang menghubungkan Pulau Seram, Pulau Saparua, Pulau Nusalaut, Pulau dan Haruku, Tulehu tak begitu terkontaminasi dengan perang saudara yang melanda Maluku dalam kurun 1999-2004 lampau. Sepak bola telah mentransformasi warga Tulehu untuk senantiasa menyuarakan pesan-pesan perdamaian, ’’katong samua basudara, potong di kuku, rasa di daging ale rasa, beta rasa’’.
Adalah Sani Tawainella, mantan pemain pelajar Maluku di Pekan Olahraga Pelajar Nasional (Popnas) 1995 di Jawa Timur dan anggota timnas pelajar Indonesia di Kejuaran Piala Asia di Brunei Darusalam tahun 1996, yang sukses memadukan semangat kekeluargaan orang Maluku, katong samua basudara, dalam tim sepak bola yang kemudian menjadi juara Indonesia tahun 2006 di Stadion Si Jalak Harupat, Kabupaten Soreang, Jawa Barat, usai menundukkan tim favorit DKI Jakarta melalui drama adu penalti yang berkesudahan 4-3. Selain juara, tim Maluku juga memperoleh trofi tim fair play, dan top scorer atas nama Syaiful Bachri Ohorella. Satu-satunya gelar yang lepas adalah pemain terbaik yang jatuh ke pelukan pemain DKI.
Dalam perspektif penulis, apa yang diinspirasi Glend Fredly dkk semata-mata dilandasi pada ekspektasi tinggi, kelak seni dan olahraga (terutama sepak bola) menjadi ikon kemajuan Maluku di panggung nasional dan internasional. Seni dan sepak bola akan memegang peranan penting dalam mendapatkan imej nasional setelah peran politik orang Maluku dipinggirkan rezim Orde Baru dan rezim saat ini.
Akhir kata, daripada pejabat daerah dan elite politik pusing tujuh keliling memikirkan nasib 10 Persen PI Blok Masela, Provinsi Kepulauan dan Lumbung Ikan Nasional, lebih baik memfokuskan diri menonton film ’’Cahaya Dari Timur, Beta Maluku’’ sekaligus menyiapkan diri dan keluarga menonton aksi-aksi spektakuler di FIFA World Cup di Brasil, 12 Juni sampai 13 Juli 2014. Hidup terasa lebih hambar jika hanya dikorbankan untuk politik. (*)
SECARA pribadi, sebagai jurnalis olahraga, saya kagum dan memberikan apresiasi tinggi kepada Glend Fredly Latuihamallo dan kawan-kawan yang menginspirasi pembuatan film layar lebar:’’ Cahaya Dari Timur, Beta Maluku’’. Saya respek sekali atas niat baik sang sutradara, Angga Dimas Sasongko, dan artis pendukung Chicco Jerikho, untuk memfilmkan kisah mantan pesepakbola asal Tulehu Sani Tawainella yang sukses menyemai benih-benih perdamaian dan pesan-pesan humanisme melalui sepak bola.
SEPAK bola mengandung tiga unsur, sporty, respect, dan regulation. Dalam bingkai olahraga, sepak bola kerap menyerukan pentingnya perdamaian, tak ada perlakuan rasial (no racism), bebas penggunaan obat-obat terlarang (no drugs), dan mencapai kemenangan dengan cara-cara elegan dan bermartabat (fair play).
Dalam sudut pandang respect (saling menghargai), FIFA sebagai otoritas tertinggi sepak bola di muka bumi selalu berupaya menjadikan sepak bola sebagai momentum terbaik untuk melupakan perang, tidak memerhatikan warna kulit, suku, agama, ras, atau kelompok kepentingan. Tak ada hitam putih dalam sepak bola.
Sepak bola harus bebas dari anasir dan intervensi politik. Biarkan sepak bola bermain dalam ranahnya sendiri. Sepak bola pun tunduk pada aturan baku FIFA, tak bisa diintervensi hukum Negara sekali pun.
Ketua Komisi Disiplin PSSI Hinca Panjaitan menegaskan Hukum Negara Tidak Berlaku dalam Sepak Bola. Menurut pria Batak ini, sepak bola adalah permainan yang dikuasai dan dikontrol FIFA secara mutlak. Maka, kompetisi sepak bola pun dikelola dan dimiliki oleh FIFA. Namun, mengingat sebuah pertandingan sepak bola butuh lapangan yang berada di bawah kedaulatan sebuah negara, maka tak ada pertandingan sepak bola tanpa izin negara.
Namun, dalam sebuah pertandingan, hukum negara tidak lagi berlaku. Segala hal yang terjadi di atas lapangan hijau merujuk pada regulasi yang ditetapkan oleh FIFA sebagai otoritas tertinggi dalam sepak bola. Hal tersebut, berlaku untuk semua negara di seluruh dunia yang menjadi anggota FIFA. Bahkan, dalam beberapa kasus, hukum di sebuah negara harus tunduk pada hukum sepak bola yang dibuat FIFA.
"Sepak bola memiliki kedaulatannya sendiri. Bentuk-bentuk intervensi dalam sepak bola yang dilakukan negara, bisa berbuah sanksi dari FIFA," kata Hinca yang meraih gelar doktor ilmu hukum olah raga dari Universitas Pelita Harapan, Tangerang ini.
Maluku punya dua ikon utama pembangunan, yakni seni dan olahraga. Sepanjang dekade 1970an sampai 1980an, nama Maluku begitu kesohor dengan musisi-musisi haus festival internasional, seperti Enteng Tanamal, Bob Tutupoly, Broery Pesolima (Marantika), Melky Goeslaw, Utha Likumahuwa. Jopie Latul, Harvey Malaiholo, Ruth Sahanaya, dan lainnya. Dari jalur olahraga, siapa tak kenal petinju Wiem Gommies, juara Asian Games 1972 di Thailand, Carolina Nina Rieuwpassa (sprinter putri pertama Indonesia yang tampil di Olimpiade 1972 Muenchen dan 1976 Montreal), Ema Tahapary, Albert Papilaya, Elyas Pical, Poly Pesireron, Nico Thomas, dan olahragawan Maluku lainnya.
Dari lapangan hijau berjejer sejumlah pesohor, antara lain Rony Pattinasarany, Bertje Mattulapelwa, John Lesnussa, Simson Rumahpassal, Jacob Sihasale, Ferril Raymond Hattu, Dony Latupeirissa, Alexander Saununu, Rocky Poetiray, Khairil Anwar Ohorella, Manahati Lestusen, dan generasi selanjutnya yang masih menghiasi starting eleven timnas Merah Putih di sejumlah event regional dan internasional. Kejayaan masa lampau itu kini terdegradasi perkembangan zaman, dan korban iklan-iklan stasion televisi swasta nasional.
Kini kejayaan orang Maluku di bidang seni dan olahraga terpuruk seiring ketidakpedulian pemerintah daerah dan imbas pembangunan rumah-rumah modern. Dibanding daerah lain, mayoritas anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota di Maluku tak paham olahraga. Mereka hanya kewel soal konfigurasi politik nasional, tapi otak kurang gizi ketika disinggung visi dan strategi pembangunan seni dan olahraga Maluku. Satire mengemuka ketika banyak penggila sepak bola yang tak tahu di mana posisi Kota Ambon.
Mereka lebih akrab dengan nama Jayapura, Papua, atau Ternate, Maluku Utara. Alangkah naif jika mereka kaitkan Ambon dengan Papua, bukan dengan Maluku karena Ambon ibu kota Maluku. Tapi itu realita karena sampai saat ini klub kebanggaan Ambon, PSA terpuruk dan tidur panjang dalam ketidakpastian.
Ejekan lain bermunculan ketika orang mempertanyakan apa ada tim dari Maluku yang bertahta di Indonesia Super League (ISL)? Kita mau jawab apa ketika pertanyaan itu dilontarkan? Paling-paling duduk diam dan menghindari perbantahan yang bisa berbuntut insiden tak diinginkan. Dalam AD/ART PSA, wali kota ex ofisio Ketua umum PSA. Herannya, selama hampir 15 tahun terakhir, dua wali kota Ambon lebih memilih membina tinju dan atletik.
Lapangan Merdeka sebagai lapangan bersejarah yang kerap melahirkan pemain-pemain potensial untuk Timnas Garuda A, B, dan C di zaman revolusi dan dekade 1990an, justru dialihfungsikan sebagai lapangan upacara dan pusat perhelatan konser musik, kampanye-kampanye politik, dan tempat mangkal anak baru gede (ABG). Sah-sah saja kebijakan Pemkot Ambon sebagai imbas kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan konsekuensi sebuah kota modern.
Beruntung di tengah satire dan ironi pembinaan sepak bola Ambon, ada ’ratna mutu manikam’ bernama Tulehu. Negeri di utara Pulau Ambon ini menjadi ikon pembinaan sepak bola di Maluku dan Indonesia. Dari Tulehu pula orang kembali memelajari Maluku dengan segala mozaiknya, entah keindahan alamnya maupun melimpahnya bakat-bakat luar biasa di lapangan hijau dan cabor lain.
Tulehu menjadi kebanggaan tersendiri karena menjadi satu-satunya desa di dunia yang sukses mengantarkan putra-putranya menjadi juara di negaranya (baca: Indonesia) tahun 2006. Sebagai jantung Pulau Ambon yang menghubungkan Pulau Seram, Pulau Saparua, Pulau Nusalaut, Pulau dan Haruku, Tulehu tak begitu terkontaminasi dengan perang saudara yang melanda Maluku dalam kurun 1999-2004 lampau. Sepak bola telah mentransformasi warga Tulehu untuk senantiasa menyuarakan pesan-pesan perdamaian, ’’katong samua basudara, potong di kuku, rasa di daging ale rasa, beta rasa’’.
Adalah Sani Tawainella, mantan pemain pelajar Maluku di Pekan Olahraga Pelajar Nasional (Popnas) 1995 di Jawa Timur dan anggota timnas pelajar Indonesia di Kejuaran Piala Asia di Brunei Darusalam tahun 1996, yang sukses memadukan semangat kekeluargaan orang Maluku, katong samua basudara, dalam tim sepak bola yang kemudian menjadi juara Indonesia tahun 2006 di Stadion Si Jalak Harupat, Kabupaten Soreang, Jawa Barat, usai menundukkan tim favorit DKI Jakarta melalui drama adu penalti yang berkesudahan 4-3. Selain juara, tim Maluku juga memperoleh trofi tim fair play, dan top scorer atas nama Syaiful Bachri Ohorella. Satu-satunya gelar yang lepas adalah pemain terbaik yang jatuh ke pelukan pemain DKI.
Dalam perspektif penulis, apa yang diinspirasi Glend Fredly dkk semata-mata dilandasi pada ekspektasi tinggi, kelak seni dan olahraga (terutama sepak bola) menjadi ikon kemajuan Maluku di panggung nasional dan internasional. Seni dan sepak bola akan memegang peranan penting dalam mendapatkan imej nasional setelah peran politik orang Maluku dipinggirkan rezim Orde Baru dan rezim saat ini.
Akhir kata, daripada pejabat daerah dan elite politik pusing tujuh keliling memikirkan nasib 10 Persen PI Blok Masela, Provinsi Kepulauan dan Lumbung Ikan Nasional, lebih baik memfokuskan diri menonton film ’’Cahaya Dari Timur, Beta Maluku’’ sekaligus menyiapkan diri dan keluarga menonton aksi-aksi spektakuler di FIFA World Cup di Brasil, 12 Juni sampai 13 Juli 2014. Hidup terasa lebih hambar jika hanya dikorbankan untuk politik. (*)