''Pistoriusasi'' Politik Ambon
http://www.beritamalukuonline.com/2013/10/pistoriusasi-politik-ambon.html
Oleh: RONY SAMLOY
Jurnalis/Pemerhati Sosial-Politik Lokal
MISTERI seputar siapa caretaker Gubernur Maluku sudah terpecahkan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menugaskan mantan Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Saut Situmorang sebagai suksesor tentatif Karel Albert Ralahalu setelah orang nomor satu Maluku ini menyudahi drama pemerintahan dua periode, 2003/08 dan 2008/13, pada 15 September 2013.
Sempat muncul reaksi negatif dari DPRD Maluku terkait kewenangan pemerintah pusat tersebut. Dagelan politik begitu apik tersaji karena mengapung sikap pro dan kontra terkait pelantikkan Situmorang di Kemendagri pada Rabu, 23 Oktober lalu.
Fraksi PDIP dan Fraksi Kebangsaan menolak menghadiri pelantikkan dan menolak orang luar Maluku menjadi caretaker, sementara Fraksi Golkar, dan Fraksi Demokrat setuju.
Masyarakat menilai tonil yang memaparkan aroma pro kontra itu merupakan skenario pencitraan politik para legislator Karang Panjang Ambon untuk menarik simpati pemilih (konstituen) menjelang pemilihan anggota legislatif (pileg) pada 9 April 2014.
Maklum, dalam bingkai politik nasional, 45 legislator di Baileo Karang Panjang boleh jadi telah gagal memperjuangkan nasib dan obsesi sekira 1,3 juta rakyat Maluku. Dalam hitungan bulan, para wakil rakyat ini akan meninggalkan kursinya, namun mirisnya mereka menyisakan sejumlah pekerjaan rumah (PR), antara lain belum jelasnya Participating Interest (PI) 10 Persen Blok Masela, belum finalnya Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional, belum dilegitimasinya Maluku sebagai Provinsi Kepulauan dalam nomenklatur undang-undang organik, nasib ribuan tenaga outsorching di PLN Ambon dan Maluku yang belum disahkan sebagai pegawai tetap, kecilnya kuota putra-putri Maluku untuk seleksi Taruna Akademi Militer dan Kepolisian, dan masih banyak lagi beban moril yang tak diselesaikan anggota DPRD Maluku saat ini.
Untuk membungkusi kekalahan tawar menawar (bargaining) kepentingan dengan pemerintah pusat, dibuatlah paripurna sebagai momentum akal-akalan para pecundang politik. Rona kegagalan juga menyelimuti empat anggota DPR RI dan empat anggota DPD RI yang tak mampu memperjuangkan harapan jutaan rakyat mereka di Maluku.
Kekalahan orang Maluku adalah memilih wakil rakyat (senator) di Senayan yang tak mampu membuktikan militansi diri sehingga melemahkan nilai tawar daerah ini. Paling-paling mereka datang, duduk, diam, menangis, dapat gaji, dan tidur sono (pulas).
Sama seperti 45 anggota dewan di Karpan, karakter empat anggota DPR dan empat anggota DPD juga setali tiga uang. Mereka sama. Karena sudah dekat momentum politik, untuk menutupi kelemahan dan kegagalan, delapan senator di Senayan itu ramai-ramai datang ke Ambon, Maluku, untuk gelar ''Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan''.
Benar itu Program Legislasi Nasional. Namun, anak-anak Sekolah Dasar di Geser, Kabupaten Seram Bagian Timur, dan Wetar, Kabupaten Maluku Barat Daya, pasti tahu dari guru-guru mereka tentang apa itu Pancasila? Apa itu UUD 1945? Apa itu NKRI? dan apa itu Bhineka Tunggal Ika? Orang Maluku yang awam sekalipun sudah tahu empat pilar ini, walaupun Pancasila tak layak disebut pilar karena merupakan fondasi (bangunan dasar) dari Negara Indonesia.
Masyarakat lantas mengemukakan pertanyaan apa guna sosialisasi empat pilar kebangsaan itu kalau orang Maluku masih termarjinal, masih didiskriminasi, dan masih diperlakukan tak adil di negara yang ikut didirikannya pada 1945?.
Minimal ketidakadilan pembagian hasil kekayaan alam di darat dan di laut, meredam aksi pencurian hasil laut melalui ilegal license untuk membangun jalan-jalan tol di provinsi lain, di Jepang, Korea Selatan, dan China, seleksi Taruna Militer dan Kepolisian yang merugikan dan mematikan putra/putri terbaik Maluku, pembagian DAU/DAK yang tak sebanding dengan luas dan karakter wilayah Maluku, itu yang mesti diteriaki wakil-wakil rakyat di Baileo Karang Panjang dan Senayan.
Maluku butuh wakil rakyat yang militan seperti mendiang Frans Frederik Matruty tatkala menjadi anggota MPR RI pada periode 1999-2004, dan Mochtar Ngabalin. Meski nama terakhir datang dari dapil Sulawesi Selatan, namun dia putra Evav, Kepulauan Key. Kedua senator ini bukan tipe pengecut, dan pecundang bagi rakyat yang memilih mereka.
Tak bermaksud menyudutkan karakter politisi Maluku saat ini, namun politik lokal (Ambon) mesti ''dipistoriusasi'' dalam perspektif membangun kultur yang humanis, bermartabat, menghargai semangat ''Orang Basudara'', dan punya nilai tawar nasional.
Pistorius merupakan nama belakang dari atlet paralimpiade asal Afrika Selatan. Oscar Carl Lennard Pistorius begitu nama lengkapnya. Sejak usia 11 bulan Oscar harus menjalani amputasi pada kedua kakinya. Namun, kekurangan itu tak menjadi penghalang baginya untuk menjadi seorang pelari yang memecahkan rekor dunia pada lari jarak 100, 200, dan 400 meter, hingga banyak media internasional menyebutnya sebagai salah satu atlet paling berpengaruh pada 2008.
Itu semua berkat cinta, dukungan, dan filosofi keluarganya dalam memandang hidup, sehingga membuat Oscar pribadi yang kuat dan mengagungkan. Ketika masih bayi persis lima bulan setelah kakinya diamputasi, tutur Oscar, ibunya, Sheila menulis surat berbunyi demikian ''Pecundang sejati bukanlah orang terakhir yang melintasi garis akhir. Pecundang sejati adalah orang yang duduk di pinggir, orang yang bahkan tidak berusaha untuk bersaing''.
Surat itu disimpan ibunya agar dia bisa membacanya setelah menjadi dewasa. Oscar dididik dalam filosofi keluarganya yang keras, yakni tak boleh ada yang mengatakan tak bisa.! Dalam turbulensi politik nasional, kiprah orang Maluku tak bisa dipandang sebelah mata.
Banyak tokoh perintis, pergerakan maupun tokoh-tokoh kemerdekaan yang berasal dari sini. Lembaran sejarah perjuangan bangsa tak akan mungkin menafikan peran Thomas Mattulessy alias Kapitan Pattimura, Christina Tiahahu, Anthony Reebok, Philip Latumahina, Johanis Latuharhary, Johanis Leimena, Alexander Yacob Patty, Wem Reawaruw, Abdul Muthalib Sangadjie, dan lain-lain.
Akibat residu konflik kemanusiaan beberapa tahun silam, orang Maluku tersegregasi dalam pemikiran dan permukiman (teritorial). Dalam percakapan di banyak hal, agama secara kelembagaan terseret dan ikut diseret-seret, dan memungkinkan terciptanya dikotomi kepentingan Orang Basudara.
Kepentingan orang Maluku terpecah-pecah dalam banyak hal. Lakon ''katang (kepiting) dalam loyang (baskom)'' atau ''ikan makan ikan'' telah diperluas substansinya setelah Deklarasi Malino part II tahun 2002. Hal terkecil pun mesti diletakkan dalam konteks perimbangan.
Imbasnya, kualitas akhirnya dinomorduakan. Dalam setingan itu, masuk kepentingan lain yang mematikan kiprah dan kesempatan putra-putri terbaik lokal. Kepentingan pusat begitu langgeng bermain karena ketidakkompakkan orang Maluku dalam menyuarakan ketidakadilan atas daerah ini.
Bisa saja penunjukkan Situmorang erat kaitannya dengan retaknya bangunan sosial ''Orang Basudara'' terkait baik tidaknya posisi dan peran putra daerah dalam memediasi pemilihan gubernur Maluku periode 2013/18 putaran kedua, yang belum jelas jadwalnya karena masih menanti putusan Mahkamah Konstitusi usai pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Kabupaten SBT pada akhir September lalu.
Meski begitu, tak bisa dipungkiri penunjukkan Situmorang juga ikut terselip di dalamnya kepentingan partai status quo untuk menambah donasi suara dari Maluku pada pileg dan pemilihan presiden tahun depan. Segudang 'PR' yang ditinggalkan para wakil rakyat di Karpan dan Senayan maupun ketidakpedulian Pempus terhadap Maluku semata-mata disebabkan kelemahan internal orang Maluku.
Rapuhnya bangunan Orang Basudara diyakini menjadi alasan utama lemahnya nilai tawar Maluku di Jakarta. Membangun lagi kultur politik yang humanis, itu butuh proses panjang dan relatif butuh kesabaran dan kegigihan semua komponen, terutama elite politik, pemuka agama, pemuka masyarakat, dan dunia pendidikan.
Tapi, pendidikan politik mesti dimulai dari sikap para elite politik untuk mempertontonkan politik bermartabat dan empati. Mindset berpolitik orang Maluku mesti 'diinstal kembali' sehingga lakon-lakon pecundang disisikan dan ditinggalkan. Pilihlah legislator maupun pemimpin yang militan, dan tulus membangun Maluku.
Kultur politik Ambon mesti direnovasi dalam setingan pertanyaan mau jadi apa Maluku untuk 25-50 tahun ke depan jika Orang Basudara masih terpecah-pecah karena penonjolan eksklusifisme dan 'religiusasi' masing-masing?.
Dalam lapangan sepak bola, Manahati Lestusen, Alfian Tuasalamony, Finky Pasamba, Jhon Pattikawa, Valentino Telaubun, tak mengusung agama dan kampung mereka, tapi Maluku. Mungkin soalnya jadi lain kalau mereka berbaju timnas Garuda di panggung sepak bola internasional.
Karakter elite politik dan elite birokrat lokal yang pecundang dan kapitalis menjadi faktor pemicu lain mengapa Maluku masih dianaktirikan pempus hingga saat ini.
Belum ada kata terlambat untuk membingkai lagi semangat hidup Orang Basudara yang manis-e. Keterpaduan visi, dan peran merupakan keniscayaan untuk memproteksi Maluku dari berbagai ancaman krisis kepemimpinan lokal dan krisis multidimensi akibat rapuhnya bangunan sosial Orang Basudara. (***)
Jurnalis/Pemerhati Sosial-Politik Lokal
MISTERI seputar siapa caretaker Gubernur Maluku sudah terpecahkan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menugaskan mantan Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Saut Situmorang sebagai suksesor tentatif Karel Albert Ralahalu setelah orang nomor satu Maluku ini menyudahi drama pemerintahan dua periode, 2003/08 dan 2008/13, pada 15 September 2013.
Sempat muncul reaksi negatif dari DPRD Maluku terkait kewenangan pemerintah pusat tersebut. Dagelan politik begitu apik tersaji karena mengapung sikap pro dan kontra terkait pelantikkan Situmorang di Kemendagri pada Rabu, 23 Oktober lalu.
Fraksi PDIP dan Fraksi Kebangsaan menolak menghadiri pelantikkan dan menolak orang luar Maluku menjadi caretaker, sementara Fraksi Golkar, dan Fraksi Demokrat setuju.
Masyarakat menilai tonil yang memaparkan aroma pro kontra itu merupakan skenario pencitraan politik para legislator Karang Panjang Ambon untuk menarik simpati pemilih (konstituen) menjelang pemilihan anggota legislatif (pileg) pada 9 April 2014.
Maklum, dalam bingkai politik nasional, 45 legislator di Baileo Karang Panjang boleh jadi telah gagal memperjuangkan nasib dan obsesi sekira 1,3 juta rakyat Maluku. Dalam hitungan bulan, para wakil rakyat ini akan meninggalkan kursinya, namun mirisnya mereka menyisakan sejumlah pekerjaan rumah (PR), antara lain belum jelasnya Participating Interest (PI) 10 Persen Blok Masela, belum finalnya Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional, belum dilegitimasinya Maluku sebagai Provinsi Kepulauan dalam nomenklatur undang-undang organik, nasib ribuan tenaga outsorching di PLN Ambon dan Maluku yang belum disahkan sebagai pegawai tetap, kecilnya kuota putra-putri Maluku untuk seleksi Taruna Akademi Militer dan Kepolisian, dan masih banyak lagi beban moril yang tak diselesaikan anggota DPRD Maluku saat ini.
Untuk membungkusi kekalahan tawar menawar (bargaining) kepentingan dengan pemerintah pusat, dibuatlah paripurna sebagai momentum akal-akalan para pecundang politik. Rona kegagalan juga menyelimuti empat anggota DPR RI dan empat anggota DPD RI yang tak mampu memperjuangkan harapan jutaan rakyat mereka di Maluku.
Kekalahan orang Maluku adalah memilih wakil rakyat (senator) di Senayan yang tak mampu membuktikan militansi diri sehingga melemahkan nilai tawar daerah ini. Paling-paling mereka datang, duduk, diam, menangis, dapat gaji, dan tidur sono (pulas).
Sama seperti 45 anggota dewan di Karpan, karakter empat anggota DPR dan empat anggota DPD juga setali tiga uang. Mereka sama. Karena sudah dekat momentum politik, untuk menutupi kelemahan dan kegagalan, delapan senator di Senayan itu ramai-ramai datang ke Ambon, Maluku, untuk gelar ''Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan''.
Benar itu Program Legislasi Nasional. Namun, anak-anak Sekolah Dasar di Geser, Kabupaten Seram Bagian Timur, dan Wetar, Kabupaten Maluku Barat Daya, pasti tahu dari guru-guru mereka tentang apa itu Pancasila? Apa itu UUD 1945? Apa itu NKRI? dan apa itu Bhineka Tunggal Ika? Orang Maluku yang awam sekalipun sudah tahu empat pilar ini, walaupun Pancasila tak layak disebut pilar karena merupakan fondasi (bangunan dasar) dari Negara Indonesia.
Masyarakat lantas mengemukakan pertanyaan apa guna sosialisasi empat pilar kebangsaan itu kalau orang Maluku masih termarjinal, masih didiskriminasi, dan masih diperlakukan tak adil di negara yang ikut didirikannya pada 1945?.
Minimal ketidakadilan pembagian hasil kekayaan alam di darat dan di laut, meredam aksi pencurian hasil laut melalui ilegal license untuk membangun jalan-jalan tol di provinsi lain, di Jepang, Korea Selatan, dan China, seleksi Taruna Militer dan Kepolisian yang merugikan dan mematikan putra/putri terbaik Maluku, pembagian DAU/DAK yang tak sebanding dengan luas dan karakter wilayah Maluku, itu yang mesti diteriaki wakil-wakil rakyat di Baileo Karang Panjang dan Senayan.
Maluku butuh wakil rakyat yang militan seperti mendiang Frans Frederik Matruty tatkala menjadi anggota MPR RI pada periode 1999-2004, dan Mochtar Ngabalin. Meski nama terakhir datang dari dapil Sulawesi Selatan, namun dia putra Evav, Kepulauan Key. Kedua senator ini bukan tipe pengecut, dan pecundang bagi rakyat yang memilih mereka.
Tak bermaksud menyudutkan karakter politisi Maluku saat ini, namun politik lokal (Ambon) mesti ''dipistoriusasi'' dalam perspektif membangun kultur yang humanis, bermartabat, menghargai semangat ''Orang Basudara'', dan punya nilai tawar nasional.
Pistorius merupakan nama belakang dari atlet paralimpiade asal Afrika Selatan. Oscar Carl Lennard Pistorius begitu nama lengkapnya. Sejak usia 11 bulan Oscar harus menjalani amputasi pada kedua kakinya. Namun, kekurangan itu tak menjadi penghalang baginya untuk menjadi seorang pelari yang memecahkan rekor dunia pada lari jarak 100, 200, dan 400 meter, hingga banyak media internasional menyebutnya sebagai salah satu atlet paling berpengaruh pada 2008.
Itu semua berkat cinta, dukungan, dan filosofi keluarganya dalam memandang hidup, sehingga membuat Oscar pribadi yang kuat dan mengagungkan. Ketika masih bayi persis lima bulan setelah kakinya diamputasi, tutur Oscar, ibunya, Sheila menulis surat berbunyi demikian ''Pecundang sejati bukanlah orang terakhir yang melintasi garis akhir. Pecundang sejati adalah orang yang duduk di pinggir, orang yang bahkan tidak berusaha untuk bersaing''.
Surat itu disimpan ibunya agar dia bisa membacanya setelah menjadi dewasa. Oscar dididik dalam filosofi keluarganya yang keras, yakni tak boleh ada yang mengatakan tak bisa.! Dalam turbulensi politik nasional, kiprah orang Maluku tak bisa dipandang sebelah mata.
Banyak tokoh perintis, pergerakan maupun tokoh-tokoh kemerdekaan yang berasal dari sini. Lembaran sejarah perjuangan bangsa tak akan mungkin menafikan peran Thomas Mattulessy alias Kapitan Pattimura, Christina Tiahahu, Anthony Reebok, Philip Latumahina, Johanis Latuharhary, Johanis Leimena, Alexander Yacob Patty, Wem Reawaruw, Abdul Muthalib Sangadjie, dan lain-lain.
Akibat residu konflik kemanusiaan beberapa tahun silam, orang Maluku tersegregasi dalam pemikiran dan permukiman (teritorial). Dalam percakapan di banyak hal, agama secara kelembagaan terseret dan ikut diseret-seret, dan memungkinkan terciptanya dikotomi kepentingan Orang Basudara.
Kepentingan orang Maluku terpecah-pecah dalam banyak hal. Lakon ''katang (kepiting) dalam loyang (baskom)'' atau ''ikan makan ikan'' telah diperluas substansinya setelah Deklarasi Malino part II tahun 2002. Hal terkecil pun mesti diletakkan dalam konteks perimbangan.
Imbasnya, kualitas akhirnya dinomorduakan. Dalam setingan itu, masuk kepentingan lain yang mematikan kiprah dan kesempatan putra-putri terbaik lokal. Kepentingan pusat begitu langgeng bermain karena ketidakkompakkan orang Maluku dalam menyuarakan ketidakadilan atas daerah ini.
Bisa saja penunjukkan Situmorang erat kaitannya dengan retaknya bangunan sosial ''Orang Basudara'' terkait baik tidaknya posisi dan peran putra daerah dalam memediasi pemilihan gubernur Maluku periode 2013/18 putaran kedua, yang belum jelas jadwalnya karena masih menanti putusan Mahkamah Konstitusi usai pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Kabupaten SBT pada akhir September lalu.
Meski begitu, tak bisa dipungkiri penunjukkan Situmorang juga ikut terselip di dalamnya kepentingan partai status quo untuk menambah donasi suara dari Maluku pada pileg dan pemilihan presiden tahun depan. Segudang 'PR' yang ditinggalkan para wakil rakyat di Karpan dan Senayan maupun ketidakpedulian Pempus terhadap Maluku semata-mata disebabkan kelemahan internal orang Maluku.
Rapuhnya bangunan Orang Basudara diyakini menjadi alasan utama lemahnya nilai tawar Maluku di Jakarta. Membangun lagi kultur politik yang humanis, itu butuh proses panjang dan relatif butuh kesabaran dan kegigihan semua komponen, terutama elite politik, pemuka agama, pemuka masyarakat, dan dunia pendidikan.
Tapi, pendidikan politik mesti dimulai dari sikap para elite politik untuk mempertontonkan politik bermartabat dan empati. Mindset berpolitik orang Maluku mesti 'diinstal kembali' sehingga lakon-lakon pecundang disisikan dan ditinggalkan. Pilihlah legislator maupun pemimpin yang militan, dan tulus membangun Maluku.
Kultur politik Ambon mesti direnovasi dalam setingan pertanyaan mau jadi apa Maluku untuk 25-50 tahun ke depan jika Orang Basudara masih terpecah-pecah karena penonjolan eksklusifisme dan 'religiusasi' masing-masing?.
Dalam lapangan sepak bola, Manahati Lestusen, Alfian Tuasalamony, Finky Pasamba, Jhon Pattikawa, Valentino Telaubun, tak mengusung agama dan kampung mereka, tapi Maluku. Mungkin soalnya jadi lain kalau mereka berbaju timnas Garuda di panggung sepak bola internasional.
Karakter elite politik dan elite birokrat lokal yang pecundang dan kapitalis menjadi faktor pemicu lain mengapa Maluku masih dianaktirikan pempus hingga saat ini.
Belum ada kata terlambat untuk membingkai lagi semangat hidup Orang Basudara yang manis-e. Keterpaduan visi, dan peran merupakan keniscayaan untuk memproteksi Maluku dari berbagai ancaman krisis kepemimpinan lokal dan krisis multidimensi akibat rapuhnya bangunan sosial Orang Basudara. (***)