Potret Kehidupan Warga Miskin di Kota Tua | Berita Maluku Online | Berita Terkini Dari Maluku Berita Maluku Online
Loading...

Potret Kehidupan Warga Miskin di Kota Tua

 Oleh: Daniel Leonard 
     Wartawan Antara Maluku     

SETIAP tahunnya pada September warga Ambon merayakan hari jadi kota ini, dan untuk tahun 2013 kota Ambon sudah mencapai usia ke-438, berarti kota ini semakin tua.

Di usianya yang semakin tua, masih saja ada permasalahan yang selalu berulang setiap tahunnya yaitu bencana banjir dan tanah longsor yang selalu menelan korban jiwa dan harta benda.

"Salah satu rekan saya yang menjadi korban banjir pada 2013 ini merasakannya dan mengungkapkan kesedihan dan rasa kuatirnya yang mendalam, jangan-jangan tahun depan lebih parah lagi, sementara tiap tahun di usianya yang semakin bertambah selalu saja kebanjiran penduduk yang mencari perbaikan nasib," kata pemerhati masalah sosial dan ekonomi, Charles Andlah di Ambon, Senin.

Pemerintah kota pun terkesan tak berdaya mengatasi permasalahan tersebut, sebab ada persoalan lain yang terus mengintai, yakni masalah perbaikan kehidupan.

Menurut Charles, masalah ini mampu membentuk pilar persoalan tak resmi yang mendikte kehidupan kota, sehingga memaksa pemerintah kota mencari pilihan yang cerdas. Memprihatinkan memang. Namun itulah arus yang tak terbendung dari sungai berkota yang merupakan bagian dari modernisasi.

Kota adalah suatu skenario yang disusun untuk memberikan daya tarik bagi siapa saja yang ingin ke kota agar kehidupannya membaik, namun yang terjadi adalah tontonan yang memilukan hati. Bagaimana tidak, Kaum miskin semakin terpinggirkan ke wilayah pesisir sementara pusat-pusat perbelanjaan atau pasar modern mulai bermunculan di mana-mana.

"Yang saya maksudkan dengan kaum miskin di sini adalah pemilik modal kecil yang berpola konsumsi tradisional atau ketat," kata Charles yang juga Kabid Analisa Statistik Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Maluku ini.

Pola konsumsi yang ketat adalah bagian dari karakter aktivitas ekonomi informal dan karakter lainnya adalah kewirausahaan, akumulasi kapital, menabung, hemat, dan bekerja keras dan mereka biasanya tergolong pribumi atau imigran dengan modal sumber daya manusia seadanya.

Dari sisi ketergantungan, kaum miskin kota tidak bergantung pada negara dan memiliki daya tahan tinggi terhadap krisis.

Dia mengatakan, ketika krisis ekonomi melanda maka sektor informal sama sekali tak terkena dampaknya. Ironisnya, kaum miskin kota senantiasa dikalahkan dalam perebutan ruang dan dimenangkan oleh mereka yang punya uang, padahal pembangunan kota tak lepas dari kuyup peluh keringat kaum miskin kota.

Alih-alih dihargai, kaum miskin kota pun sering mengalami viktimisasi. Bahwasanya, mereka adalah penyebab utama banjir karena mendiami bantaran kali atau di bawah kolong jembatan tidak dipungkiri. Namun pengakuan bahwa mereka adalah pembayar retribusi yang cukup signifikan juga tidak dapat terhindarkan.

Mungkin yang tidak boleh luput dari perhatian adalah upaya pembangunan yang teratur agar kota yang hanya berluas 377 Km persegi semakin cantik dan terus cantik. Kalau semakin cantik maka pilihan memindahkan ibu kota ke wilayah lain akan terpikir dua kali.

Pendatang terus bertambah Sangatlah ironi karena disadari semakin tua usia kota namun luasnya tidak bertambah, tetapi pendatang terus bertambah yang berdampak pada kepadatan penduduk.

"Masyarakat kita pun sebenarya sudah meng-kota, tetapi mereka sepertinya belum siap ber-kota," katanya.

Masyarakat kota adalah masyarakat yang telah melampaui tribalisme atau kesukuan dan hidup selaku warga dengan hak dan kewajiban yang jelas. Mungkin ada baiknya setiap orang yang mengurus KTP diberikan pemahaman tentang arti berkota yang sebenarnya, sementara masyarakat kota ini masih disesaki ego pribadi.

Ada banyak contoh dan salah satunya adalah perilaku membuang sampah sembarangan sehingga banyak sekali bungkusan plastik yang ke luar dari jendela kaca-kaca mobil di jalanan kota.

Perilaku tersebut menunjukkan bagaimana masyarakat ini masih berpola hidup hutan karena sampah dibuang sembarangan sehigga sulit diserap tanah.

Mereka lupa bahwa kotanya berlantaikan aspal dan semen yang tidak bisa serta-merta menerima dan mengolah sampah yang terbuang. Contoh lain adalah pembangunan pusat perbelanjaan tanpa drainase yang baik.

Yang ada di kepala pengembang hanyalah satu yaitu mengejar laba atau keuntungan, sedangkan nasib masyarakat sekitar yang tiap tahunnya dilanda banjir tak menjadi bahan pertimbangan. Apalagi yang bisa menjelaskan perilaku di atas kecuali gaya hidup yang berkeras tak mau berpindah dari gaya hidup tribal.

"Setiap masalah selalu menanti jawaban dan apakah banjir yang memakan korban pada ulang tahun ke-438 akan terjadi lagi di ulang tahun kota Ambon ke-439? Siap tidak siap, kita harus mulai belajar hidup ber-kota," ujar Charles.

Salah satunya adalah memperbaiki kehidupan kewargaan tentang kesadarab berkota, dan cara lain yakni mulai belajar menghargai kaum miskin kota pemilik modal kecil.

Alih-alih menjadi korban penggusuran, kaum miskin kota mesti dilihat sebagai potensi pemberdayaan ekonomi yang mandiri sebab mereka telah membuktikan dirinya mampu bertahan hidup di tengah krisis karena apa yang mereka butuhkan adalah skema-skema mikro kredit alternatif yang cerdas seperti yang dilakukan Muhammad Yunus di Bangladesh.

Penyaluran aspirasi politik mereka pun mesti berjalan dengan baik, sebab mereka adalah warga kota yang memiliki hak dan kewajiban setara di muka hukum.

Pemerintah sudah saatnya mengubah perannya dari mental pembangun gedung dalam arti sempit menjadi penyedia fasilitas dalam arti luas karena pemerintah bukan lagi pelaku pembangunan ansih, melainkan fasilitator, baik di tingkat infrastruktur maupun Perda atau perundang-undangan.

Pemerintah juga harus berperan dalam pemberdayaan di tataran regulasi dan atmosfer yang kondusif bagi masyarakat untuk menulis sejarah kesejahteraannya sendiri. Potensi ekonomi yang bertumbuh di sektor informal jangan dimatikan oleh pola pembangunan yang dipaksakan, melainkan akomodatif bagi inisiatif-inisiatif kewargaan.

Inisiatif kewargaan harus tetap dipertahankan, sebab kota ini pasti sangat maju karena masyarakat warganya yang kuat mampu tumbuh dari rahim sosial budayanya sendiri.

Pasar tradisional, misalnya, tumbuh dari budaya makan makanan segar dan organik nenek moyang bangsa ini tapi sesuatu yang sayangnya semakin surut dengan berkembangnya pasar swalayan dan pasar modern, sementara upaya meningatkan produksi dan mobilitas pangan lokal semakin jauh dari harapan.

"Kita memang sedang memperhatikan melemahnya daya tawar masyarakat warga di hadapan pilar-pilar kuasa kota. Para ibu rumah tangga tak mampu berbuat apa-apa kecuali membeli makanan instan berbungkus plastik yang menyisakan masalah sampah rumah tangga, tapi harapan akan kota berbasis kewargaan yang kokoh adalah harapan kita semua," ujarnya.

Muluk dan utopis memang, namun harapan tak bisa terlepas dari kemulukan sebab kondisi ini membuat orang berpikir keras tentang bagaimana cara mencapainya.

Kemulukan harapan membuat orang sadar bahwa cara yang dipilih mungkin salah, namun kesalahan adalah pembelajaran.
Profil 5175409438245245931
Beranda item

# Kota Ambon

Indeks

# ANEKA

Indeks