= Artikel = Narasi Penalti ’’Demokrasi Terasi’’ Maluku
http://www.beritamalukuonline.com/2013/07/artikel-narasi-penalti-demokrasi-terasi.html
’’Lebih baik kalah di atas pendirian, daripada menang di atas kebohongan dan kecurangan’ (Pepatah Australia)
TAJUK di atas relatif aneh jika kita membacanya. Tapi, bagi yang tetap mencermati dinamika politik pascapenetapan Komisi Pemilihan Umum Maluku pada 2 Juli 2013, kalimat yang menjadi topik catatan ringan ini, punya makna yang luas dan orientatif seputar prahara pemilihan umum kepala daerah (pilkada) Maluku periode 2013-2018.
Cakapan dan cakupannya soal demokrasi lokal yang telah dikotori semangat sektarianisme dan oligarki pihak penyelenggara pilkada Maluku maupun kaki-kaki tangannya di kabupaten/kota.
Dalam cakapan itu, Abraham Lincoln (1809-1865) bilang, demokrasi (demos dan cratein) adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Presiden AS ke-16 ini adalah presiden yang anti perbudakan melalui dekrit-dekritnya.
Lepas dari itu, dalam istilah yang lebih konkret, demokrasi dipandang sebagai mekanisme penyaluran aspirasi politik rakyat di mana rakyat memiliki otoritas (kekuasaan tertinggi) dalam proses pergantian pemerintahan (suksesi).
Di Amerika yang mengklaim diri sebagai ’Bapak Demokrasi’ (Father of Democration), rakyat benar-benar menjadi subjek utama dalam setiap perhelatan politik maupun suksesi kepemimpinan nasional. Rakyat di sana tetap tidur nyenyak, berlibur ke negara lain, dan tak lagi mengubris bagaimana sikap senat atau Majelis Tinggi dalam menentukan arah dan haluan kebijakan pemerintah federal untuk menaikan pajak atau kebijakan fiskal. Sebab, umumnya rakyat AS sudah cerdas dan sejahtera. Apresiasi maupun partisipasi politik rakyatnya di atas 90 persen, lebih tinggi soal dua item serupa dari negara-negara lain di dunia.
Di Singapura, negara yang dekat geogragis dengan Indonesia, rakyatnya pun sudah sejahtera dan cerdas dalam penentuan apresiasi dan partisipasi politik. Bagaimana dengan apresiasi politik rakyat di Indonesia?
Rakyat kita belum diberikan ’mandat’ atau kekusaan tertinggi untuk menyalurkan maupun menentukan aspirasi politiknya. Oleh sebab itu, rakyat di sini tak nyenyak tidur hanya karena DPR (lembaga legislatif) belum memutuskan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Maklum saja, kenaikan harga BBM berefek domino ke aspek-aspek maupun kebutuhan hidup lain yang mau tidak mau harus mengikuti kenaikan tersebut.
Rakyat Indonesia masih terjebak dengan kultur politik yang mengultuskan partai, agama dan kepercayaan, serta terlena dengan politik melankolis kekuasaan. Kapasitas maupun integritas (perilaku politik dan moral) sosok acap kali terpinggirkan oleh kekuasaan dan kekuatan uang. Suara rakyat bukan lagi suara Tuhan (vox populi vox dei), tapi suara elite akhirnya harus dianggap sebagai Suara Tuhan (vox cognitoris vox dei).
Adagium politik usang dan anyar ini terasa punya relevansi dengan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Maluku, Kamis, 2 Juli 2013, yang mengesahkan hasil keputusan KPU Seram Bagian Timur (SBT) di atas testimoni komisioner lembaga ini sendiri maupun Badan Pengawas Pemilu Maluku kalau rekapitulasi suara di SBT bermasalah karena sarat penggelembungan suara (ribuan orang meninggal juga ada dalam daftar pemilih) dan pelanggaran pilkada lainnya di wilayah itu.
KPU Maluku telah memosisikan diri mereka sebagai sekelompok kecil elite yang menentukan menang tidaknya para pasangan dalam kompetisi politik lima tahunan ini. Hasilnya biar sarat kecurangan dan termanipulasinya kebenaran, tapi KPU Maluku tetap berlindung di balik redaksional undang-undang bahwa ’’Keputusan KPU tak bisa diganggu gugat’’.
Menyimak apa yang dikatakan Gubernur Karel Albert Ralahalu, Kamis, 4 Juli 2013, bahwa Pilkada Maluku 2013-2018 tak berkualitas sungguh sebuah ungkapan sarkastik (penuh ejekan) dan prihatin. Sarkastik karena selain aneh, KPU Maluku mengakui kalau mereka menetapkan dan mengesahkan sesuatu yang sesunguhnya bermasalah.
Prihatin bukan karena jagoan incumbent (petahana) dikalahkan secara sistematis, terstruktur, dan massif oleh kekuatan partai nonseat yang mendukung incumbent SBT, tapi karena lembaga penyelenggara yang berlabel independen memang kenyataannya tak independen dan berpihak pada pasangan tertentu. Sinyalemen awal kalau sandiwara ini telah diatur rapi dan terstruktur apik bukan tanpa alasan.
Produk demokrasi yang diharapkan melahirkan tipikal pemimpin yang cerdas, bersih, dan bervisi jelas menyelamatkan Maluku dari lembah kemiskinan akibat wabah korupsi, telah ternoda dan dinodai arogansi dan kepentingan politik sesaat karena iming-iming tertentu dan balas jasa politik.
Demokrasi Maluku telah dikotori semangat sektarianisme dan pengultusan para pecundang karena kekuasan dan mesin politik yang digerakkan uang berlimpah ruah. Roh demokrasi lokal telah mati, membusuk, dan kelak menanti berdentangnya genta kematian, bahwa pilkada Maluku putaran kedua akan melahirkan pemenang, dan pecundang, bukan menyajikan tipikal pemimpin dan sosok-sosok pelayan rakyat. Benar, para calon harus siap kalah dan siap menang.
Tapi, kalah dan menang harus tetap berjalan di atas semangat yang fair, elegan, tanpa skeptimistik (keragu-raguan), tidak menggunakan cara-cara kotor, dan tetap menjunjung nilai-nilai demokrasi yang jujur, dan sehat.
KPU Maluku adalah aktor, eksekutor, sekaligus penjahat politik yang menarasikan ’’demokrasi bau terasi’’ ke dalam panggung politik lokal. Uang dan kecurangan adalah dua instrumen yang memuluskan upaya sistematis KPU Maluku menganulir kemenangan orang (pasangan) lain dalam pilkada Maluku kali ini. Mungkin para komisioner yang sudah hampir pensiun dari KPU Maluku akan tersenyum lebar karena sehabis ini mereka akan ketiban durian runtuh atas sandiwara dan konspirasi mereka. Minimal sebuah mobil avansa atau topangan studi lanjut guru besar di luar Maluku.
Tapi, terima atau tidak, rakyat Maluku akan menerima getah pahitnya, bahwa pilkada Maluku tahun ini bakal melahirkan pemenang, pecundang, dan (maaf) petarung politik yang punya masalah dan pernah bikin masalah. Apa yang mau diharapkan rakyat kalau pemimpinnya datang dengan masalah dan pernah bikin masalah. Kini, rakyat Maluku tinggal menanti terwujudnya ’mimpi-mimpi buruk’ (nightmare) atas ’’demokrasi bau terasi’’ yang diwariskan Idrus Tatuhey cs di KPU Maluku. Ini pun menjadi penalti (hukuman) bagi rakyat yang tak cerdas memilih calon pemimpinnya. Sebagian rakyat Maluku sedang tidak sadar, kalau mereka telah menyalurkan aspirasi politik yang naïf dan tak berorientasi masa depan. Selamat menempuh lorong-lorong kemunafikan yang menggelisahkan ini!. (rony samloy)
TAJUK di atas relatif aneh jika kita membacanya. Tapi, bagi yang tetap mencermati dinamika politik pascapenetapan Komisi Pemilihan Umum Maluku pada 2 Juli 2013, kalimat yang menjadi topik catatan ringan ini, punya makna yang luas dan orientatif seputar prahara pemilihan umum kepala daerah (pilkada) Maluku periode 2013-2018.
Cakapan dan cakupannya soal demokrasi lokal yang telah dikotori semangat sektarianisme dan oligarki pihak penyelenggara pilkada Maluku maupun kaki-kaki tangannya di kabupaten/kota.
Dalam cakapan itu, Abraham Lincoln (1809-1865) bilang, demokrasi (demos dan cratein) adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Presiden AS ke-16 ini adalah presiden yang anti perbudakan melalui dekrit-dekritnya.
Lepas dari itu, dalam istilah yang lebih konkret, demokrasi dipandang sebagai mekanisme penyaluran aspirasi politik rakyat di mana rakyat memiliki otoritas (kekuasaan tertinggi) dalam proses pergantian pemerintahan (suksesi).
Di Amerika yang mengklaim diri sebagai ’Bapak Demokrasi’ (Father of Democration), rakyat benar-benar menjadi subjek utama dalam setiap perhelatan politik maupun suksesi kepemimpinan nasional. Rakyat di sana tetap tidur nyenyak, berlibur ke negara lain, dan tak lagi mengubris bagaimana sikap senat atau Majelis Tinggi dalam menentukan arah dan haluan kebijakan pemerintah federal untuk menaikan pajak atau kebijakan fiskal. Sebab, umumnya rakyat AS sudah cerdas dan sejahtera. Apresiasi maupun partisipasi politik rakyatnya di atas 90 persen, lebih tinggi soal dua item serupa dari negara-negara lain di dunia.
Di Singapura, negara yang dekat geogragis dengan Indonesia, rakyatnya pun sudah sejahtera dan cerdas dalam penentuan apresiasi dan partisipasi politik. Bagaimana dengan apresiasi politik rakyat di Indonesia?
Rakyat kita belum diberikan ’mandat’ atau kekusaan tertinggi untuk menyalurkan maupun menentukan aspirasi politiknya. Oleh sebab itu, rakyat di sini tak nyenyak tidur hanya karena DPR (lembaga legislatif) belum memutuskan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Maklum saja, kenaikan harga BBM berefek domino ke aspek-aspek maupun kebutuhan hidup lain yang mau tidak mau harus mengikuti kenaikan tersebut.
Rakyat Indonesia masih terjebak dengan kultur politik yang mengultuskan partai, agama dan kepercayaan, serta terlena dengan politik melankolis kekuasaan. Kapasitas maupun integritas (perilaku politik dan moral) sosok acap kali terpinggirkan oleh kekuasaan dan kekuatan uang. Suara rakyat bukan lagi suara Tuhan (vox populi vox dei), tapi suara elite akhirnya harus dianggap sebagai Suara Tuhan (vox cognitoris vox dei).
Adagium politik usang dan anyar ini terasa punya relevansi dengan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Maluku, Kamis, 2 Juli 2013, yang mengesahkan hasil keputusan KPU Seram Bagian Timur (SBT) di atas testimoni komisioner lembaga ini sendiri maupun Badan Pengawas Pemilu Maluku kalau rekapitulasi suara di SBT bermasalah karena sarat penggelembungan suara (ribuan orang meninggal juga ada dalam daftar pemilih) dan pelanggaran pilkada lainnya di wilayah itu.
KPU Maluku telah memosisikan diri mereka sebagai sekelompok kecil elite yang menentukan menang tidaknya para pasangan dalam kompetisi politik lima tahunan ini. Hasilnya biar sarat kecurangan dan termanipulasinya kebenaran, tapi KPU Maluku tetap berlindung di balik redaksional undang-undang bahwa ’’Keputusan KPU tak bisa diganggu gugat’’.
Menyimak apa yang dikatakan Gubernur Karel Albert Ralahalu, Kamis, 4 Juli 2013, bahwa Pilkada Maluku 2013-2018 tak berkualitas sungguh sebuah ungkapan sarkastik (penuh ejekan) dan prihatin. Sarkastik karena selain aneh, KPU Maluku mengakui kalau mereka menetapkan dan mengesahkan sesuatu yang sesunguhnya bermasalah.
Prihatin bukan karena jagoan incumbent (petahana) dikalahkan secara sistematis, terstruktur, dan massif oleh kekuatan partai nonseat yang mendukung incumbent SBT, tapi karena lembaga penyelenggara yang berlabel independen memang kenyataannya tak independen dan berpihak pada pasangan tertentu. Sinyalemen awal kalau sandiwara ini telah diatur rapi dan terstruktur apik bukan tanpa alasan.
Produk demokrasi yang diharapkan melahirkan tipikal pemimpin yang cerdas, bersih, dan bervisi jelas menyelamatkan Maluku dari lembah kemiskinan akibat wabah korupsi, telah ternoda dan dinodai arogansi dan kepentingan politik sesaat karena iming-iming tertentu dan balas jasa politik.
Demokrasi Maluku telah dikotori semangat sektarianisme dan pengultusan para pecundang karena kekuasan dan mesin politik yang digerakkan uang berlimpah ruah. Roh demokrasi lokal telah mati, membusuk, dan kelak menanti berdentangnya genta kematian, bahwa pilkada Maluku putaran kedua akan melahirkan pemenang, dan pecundang, bukan menyajikan tipikal pemimpin dan sosok-sosok pelayan rakyat. Benar, para calon harus siap kalah dan siap menang.
Tapi, kalah dan menang harus tetap berjalan di atas semangat yang fair, elegan, tanpa skeptimistik (keragu-raguan), tidak menggunakan cara-cara kotor, dan tetap menjunjung nilai-nilai demokrasi yang jujur, dan sehat.
KPU Maluku adalah aktor, eksekutor, sekaligus penjahat politik yang menarasikan ’’demokrasi bau terasi’’ ke dalam panggung politik lokal. Uang dan kecurangan adalah dua instrumen yang memuluskan upaya sistematis KPU Maluku menganulir kemenangan orang (pasangan) lain dalam pilkada Maluku kali ini. Mungkin para komisioner yang sudah hampir pensiun dari KPU Maluku akan tersenyum lebar karena sehabis ini mereka akan ketiban durian runtuh atas sandiwara dan konspirasi mereka. Minimal sebuah mobil avansa atau topangan studi lanjut guru besar di luar Maluku.
Tapi, terima atau tidak, rakyat Maluku akan menerima getah pahitnya, bahwa pilkada Maluku tahun ini bakal melahirkan pemenang, pecundang, dan (maaf) petarung politik yang punya masalah dan pernah bikin masalah. Apa yang mau diharapkan rakyat kalau pemimpinnya datang dengan masalah dan pernah bikin masalah. Kini, rakyat Maluku tinggal menanti terwujudnya ’mimpi-mimpi buruk’ (nightmare) atas ’’demokrasi bau terasi’’ yang diwariskan Idrus Tatuhey cs di KPU Maluku. Ini pun menjadi penalti (hukuman) bagi rakyat yang tak cerdas memilih calon pemimpinnya. Sebagian rakyat Maluku sedang tidak sadar, kalau mereka telah menyalurkan aspirasi politik yang naïf dan tak berorientasi masa depan. Selamat menempuh lorong-lorong kemunafikan yang menggelisahkan ini!. (rony samloy)