’’KELOMPOK GARIS KERAS’’ BERSELIWERAN DI MALUKU Waspadai Calgub yang Memelihara Elite dan Preman Radikalis
http://www.beritamalukuonline.com/2013/05/kelompok-garis-keras-berseliweran-di.html
AMBON – BERITA MALUKU. Setelah lepasnya Provinsi ke-27, Timor-Timur, dari pangkauan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berdiri sebagai Negara berdaulat (Republica Democratica de Timor Lorosae) pada akhir Agustus 1999 hingga 2 Mei 2002, Maluku akhirnya dipilih sebagai lahan baru untuk mewujudkan kepentingan politik, ekonomis, agama, dan militer.
Kota Ambon dan sebagian Maluku diporak-porandakan dalam konflik massif berhaluan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) pada pertengahan Januari 1999 hingga 2004, dan selanjutnya konflik antarkampung diciptakan untuk mengembalikan imaje militer yang ternoda selama konflik yang membumihanguskan Maluku dan tatanan hidup orang basudara sejak periode 2005 hingga masuk 2013.
Selama konflik menerjang Maluku, berbagai pihak mengambinghitamkan ketidakadilan sebagai akar konflik. Memang tak bisa dimungkiri kalau akar ketidakadilan juga ada benarnya karena peninggalan kolonial begitu tampak dalam kehidupan sosial dan birokrasi Maluku, khususnya di Ambon dan jazirah Lease.
Namun, jangan lupa, konflik Maluku pun telah disusupi banyak kepentingan, termasuk kepentingan uji coba persenjataan (senapan, ranjau, mortir, dan peluru) buatan dalam negeri. Itu dibuktikan dengan banyaknya persenjataan dalam negeri yang beredar dan digunakan warga sipil selama konflik membara beberapa tahun silam. Tak mungkin warga sipil memperoleh senjata tanpa didukung pihak yang dibiayai Negara untuk memproduksi senjata.
Untuk kepentingan kekuasaan, kelompok preman dari Jakarta dan Ambon dimanfaatkan untuk mendukung munculnya kembali kekuatan ’’Imperium Haruku’’ ke kursi kekuasaan Ambon dan birokrasi Maluku.
Insiden penghadangan kelompok pembawa obor saat Hari Ulang Tahun Pattimura pada 15 Mei 2012 lalu, mengindikasikan keterlibatan preman-preman yang dipelihara. Pemindahan lokasi perayaan HUT Pattimura ke Saparua, Maluku Tengah, 15 Mei 2013, membentangkan kesuksesan sosok tersebut namun menafikan dan menyudutkan kekuatan (power) orang nomor satu Ambon.
Pengalihan lokasi dianggap mematikan aura pariwisata Ambon Manisee. Untuk kepentingan gubernur Maluku 2013-2018, baik orang nomor satu maupun nomor dua Ambon pecah kongsi, dan tak akur. Isu mengemuka menyebutkan bahwa ada kepentingan orang nomor dua Ambon untuk menjadi orang nomor satu dalam pikada Kota Ambon medio 2016 mendatang.
Sekarang ini saja ada pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang berpihak ke wali kota, dan ada pimpinan SKPD yang pro wakil wali kota. Terbongkarnya kasus-kasus korupsi di Pemkot belakangan ini seakan menyajikan prahara di balik konflik kepentingan wali kota dan wawali. Wali kota merupakan kelompok Fredy Latuhamina yang terdepak dalam perebutan rekomendasi Golkar, sementara wawali merupakan anak emas wakil gubernur Maluku incumbent (petahana).
Di bagian lain, pendirian kantor Perwakilan Papua Merdeka (OPM) di Oxford, Inggris, belum lama ini, praktis menampar wajah para pemimpin Indonesia, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pemerintah RI bergeming dan mengancam akan membuka kantor Perwakilan Irlandia Utara di Jakarta, sebagai bentuk protes kepada Pemerintah Inggris.
Terlepas dari itu, Maluku telah lama dijadikan basis kelompok garis keras agama (radikalis) pascaruntuhnya kekuasaan otoritarian Soeharto sejak berkuasa 1968 hingga 1998 silam. Konflik Maluku ikut menambah cakar-cakar kepentingan kelompok radikalis agama yang menyulut konflik di hampir seantero Maluku. Ironisnya, ada sejumlah elite politik, termasuk pejabat teras di Kantor Gubernur Maluku, Pemerintah Kota Ambon, dan Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah, yang disinyalir dekat dan membiayai elite kelompok-kelompok ini untuk mencapai kepentingannya (kekuasaannya).
Keterlibatan orang-orang luar Maluku dan bukan asli Maluku dalam kerusuhan 11 September 2012, konflik Sepa-Hualoy, insiden HUT Pattimura tahun lalu, dan kejadian lain yang membarengi kejadian-kejadian sebelumnya, menjadi bukti sahih kalau preman-preman kelompok garis keras agama dan elite-elite garis keras agama ikut dibiayai pejabat-pejabat tertentu di Kantor Gubernur Maluku dan Pemkot Ambon.
Desa Batumerah, Kecamatan Sirimau, menjadi lokasi atau pabrik bahan meledak untuk membakar kerusuhan sosial di Ambon dan Maluku. Pemisahan kelompok garis keras agama dan nasionalis juga menyeruak dari lokasi ini. Bukankah konflik Maluku tahun 1999 juga berawal dari sini?
Karena itu, pemilihan gubernur Maluku akan menentukan awal atau akhir dari keberadaan orang Maluku untuk kembali membangun hubungan harmonis antara orang basudara. Pilih pemimpin yang membiayai elite-alite dan preman-preman garis keras agama akan menjadi awal dari kehancuran Maluku dalam waktu panjang. Apalagi, ada calon gubernur yang acap kali mengobarkan semangat Deklarasi Malino 2002 untuk memisahkan dan mendikotomikan Islam dan Kristen dalam konfigurasi politik Maluku jangka panjang. Hindari sosok-sosok gubernur seperti itu. Saatnya orang Maluku bersatu dan memilih calgub yang nasionalis, jujur, dan cerdas. (tim bm)
Kota Ambon dan sebagian Maluku diporak-porandakan dalam konflik massif berhaluan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) pada pertengahan Januari 1999 hingga 2004, dan selanjutnya konflik antarkampung diciptakan untuk mengembalikan imaje militer yang ternoda selama konflik yang membumihanguskan Maluku dan tatanan hidup orang basudara sejak periode 2005 hingga masuk 2013.
Selama konflik menerjang Maluku, berbagai pihak mengambinghitamkan ketidakadilan sebagai akar konflik. Memang tak bisa dimungkiri kalau akar ketidakadilan juga ada benarnya karena peninggalan kolonial begitu tampak dalam kehidupan sosial dan birokrasi Maluku, khususnya di Ambon dan jazirah Lease.
Namun, jangan lupa, konflik Maluku pun telah disusupi banyak kepentingan, termasuk kepentingan uji coba persenjataan (senapan, ranjau, mortir, dan peluru) buatan dalam negeri. Itu dibuktikan dengan banyaknya persenjataan dalam negeri yang beredar dan digunakan warga sipil selama konflik membara beberapa tahun silam. Tak mungkin warga sipil memperoleh senjata tanpa didukung pihak yang dibiayai Negara untuk memproduksi senjata.
Untuk kepentingan kekuasaan, kelompok preman dari Jakarta dan Ambon dimanfaatkan untuk mendukung munculnya kembali kekuatan ’’Imperium Haruku’’ ke kursi kekuasaan Ambon dan birokrasi Maluku.
Insiden penghadangan kelompok pembawa obor saat Hari Ulang Tahun Pattimura pada 15 Mei 2012 lalu, mengindikasikan keterlibatan preman-preman yang dipelihara. Pemindahan lokasi perayaan HUT Pattimura ke Saparua, Maluku Tengah, 15 Mei 2013, membentangkan kesuksesan sosok tersebut namun menafikan dan menyudutkan kekuatan (power) orang nomor satu Ambon.
Pengalihan lokasi dianggap mematikan aura pariwisata Ambon Manisee. Untuk kepentingan gubernur Maluku 2013-2018, baik orang nomor satu maupun nomor dua Ambon pecah kongsi, dan tak akur. Isu mengemuka menyebutkan bahwa ada kepentingan orang nomor dua Ambon untuk menjadi orang nomor satu dalam pikada Kota Ambon medio 2016 mendatang.
Sekarang ini saja ada pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang berpihak ke wali kota, dan ada pimpinan SKPD yang pro wakil wali kota. Terbongkarnya kasus-kasus korupsi di Pemkot belakangan ini seakan menyajikan prahara di balik konflik kepentingan wali kota dan wawali. Wali kota merupakan kelompok Fredy Latuhamina yang terdepak dalam perebutan rekomendasi Golkar, sementara wawali merupakan anak emas wakil gubernur Maluku incumbent (petahana).
Di bagian lain, pendirian kantor Perwakilan Papua Merdeka (OPM) di Oxford, Inggris, belum lama ini, praktis menampar wajah para pemimpin Indonesia, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pemerintah RI bergeming dan mengancam akan membuka kantor Perwakilan Irlandia Utara di Jakarta, sebagai bentuk protes kepada Pemerintah Inggris.
Terlepas dari itu, Maluku telah lama dijadikan basis kelompok garis keras agama (radikalis) pascaruntuhnya kekuasaan otoritarian Soeharto sejak berkuasa 1968 hingga 1998 silam. Konflik Maluku ikut menambah cakar-cakar kepentingan kelompok radikalis agama yang menyulut konflik di hampir seantero Maluku. Ironisnya, ada sejumlah elite politik, termasuk pejabat teras di Kantor Gubernur Maluku, Pemerintah Kota Ambon, dan Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah, yang disinyalir dekat dan membiayai elite kelompok-kelompok ini untuk mencapai kepentingannya (kekuasaannya).
Keterlibatan orang-orang luar Maluku dan bukan asli Maluku dalam kerusuhan 11 September 2012, konflik Sepa-Hualoy, insiden HUT Pattimura tahun lalu, dan kejadian lain yang membarengi kejadian-kejadian sebelumnya, menjadi bukti sahih kalau preman-preman kelompok garis keras agama dan elite-elite garis keras agama ikut dibiayai pejabat-pejabat tertentu di Kantor Gubernur Maluku dan Pemkot Ambon.
Desa Batumerah, Kecamatan Sirimau, menjadi lokasi atau pabrik bahan meledak untuk membakar kerusuhan sosial di Ambon dan Maluku. Pemisahan kelompok garis keras agama dan nasionalis juga menyeruak dari lokasi ini. Bukankah konflik Maluku tahun 1999 juga berawal dari sini?
Karena itu, pemilihan gubernur Maluku akan menentukan awal atau akhir dari keberadaan orang Maluku untuk kembali membangun hubungan harmonis antara orang basudara. Pilih pemimpin yang membiayai elite-alite dan preman-preman garis keras agama akan menjadi awal dari kehancuran Maluku dalam waktu panjang. Apalagi, ada calon gubernur yang acap kali mengobarkan semangat Deklarasi Malino 2002 untuk memisahkan dan mendikotomikan Islam dan Kristen dalam konfigurasi politik Maluku jangka panjang. Hindari sosok-sosok gubernur seperti itu. Saatnya orang Maluku bersatu dan memilih calgub yang nasionalis, jujur, dan cerdas. (tim bm)