Pela - Gandong Perlu Direvitalisasi
http://www.beritamalukuonline.com/2013/04/pela-gandong-perlu-direvitalisasi.html?m=0
AMBON - BERITA MALUKU. Orang mengira konflik kemanusiaan berhaluan SARA (suku, agama, ras dan antargolongan) 1999-2004 adalah noktah memilukan terakhir yang menerpa biduk sejarah perjalanan orang Maluku.
Tapi, kegalauan itu justru masih terus menggelayut seiring meretasnya upaya perdamaian yang tak mampu mengikis angkara murka dari ’’Bumi Cengkih dan Pala’’.
Benang kusut soal konspirasi keji Negara atas pembantaian sistematis dan terselubung terhadap orang Maluku (genosida) masih terus tersaji, dan mengantarkan orang Maluku ke lorong-lorong panjang kegelisahan dan kemunafikan. Ikatan sosial yang terbungkus dalam patron ’’Pela’’ dan ’’Gandong’’ bisa jadi hanya simbol persekutuan yang rapuh, dan lekang ditelan masa.
Pela merupakan pola hubungan di antara kampung-kampung Islam dan Kristen yang didasari pada perjanjian untuk hidup berdampingan secara damai dan tidak saling menyerang. Sementara itu, Gandong adalah hubungan sosial yang damai atas dasar ikatan darah sebagai orang Maluku. Tradisi Pela dan Gandong pada dasarnya merupakan respon budaya rakyat Ambon, Haruku, Saparua, dan Seram, terhadap keterpilihan sosial-kultural Maluku secara keseluruhan.
Mengapa ’’Pela’’ dan ’’Gandong’’ tak berkutik menghadapi hantaman provokasi yang mengusung agama sebagai senjata pemusnah massal? Kerapuhan dan ketidakberdayaan itu di satu sisi disebabkan oleh kebijakan sistematis rezim Orde Baru yang dengan politik sentralistiknya telah meminggirkan (menafikan) akar budaya orang Maluku, terutama Maluku Tengah.
Di sisi lain, gagalnya konsep budaya tersebut disebabkan karena secara teoritik sebenarnya konsep Pela dan Gandong bukan diperuntukkan dalam konteks relasi agama, namun lebih pada relasi persaudaraan yang melewati batas-batas primordialisme. Selain itu, tradisi ini juga berlaku lebih secara internal antara penduduk asli Ambon, bukan dengan pihak luar.
Pemerintah Orde Baru yang sangat terobsesi dengan keamanan dan stabilitas nasional sebagai penopang pembangunan ekonomi, lebih banyak menggunakan pendekatan sentralistik melalui hegemoni militer ketimbang membangun kepekaan terhadap dinamika lokal baik yang berdimensi agama maupun etnik. Hal ini pula yang terjadi di Maluku.
Rezim Pemerintah di Jakarta berhasil sedemikian rupa mengontrol Maluku, sehingga menjadikan wilayah ini salah satu kawasan yang tak pernah mengalami gejolak keamanan yang berarti. Namun, pola sentralistik dan ketidakpekaan terhadap dinamika lokal inilah yang justru menyimpan benih-benih konflik yang dahsyat.
Pemerintah Pusat mempertahankan pola segregrasi wilayah berdasar agama warisan Belanda. Setiap permukiman atau kampung yang berbeda dihuni oleh penduduk dengan agama yang berbeda dan tiap-tiap kelompok tidak saling membaur. Segregrasi ini kemudian diikuti dengan segregrasi ekonomi, politik, dan cara pandang terhadap kelompok lain.
Pola segregrasi itu semakin mencolok yang mengarah pada penguatan identitas dua kelompok berdasar agama. Selain itu, persaingan dalam jabatan-jabatan publik,yang kemudian dibungkus dalam kompetisi agama-menimbulkan kecurigaan-kecurigaan pada kedua belah pihak.
Dalam rentang waktu mulai tragedi 11 September 2011 di pertigaan Mangga Dua hingga pembakaran rumah-rumah penduduk di Waringin, Tanah Lapang Kecil (Talake), dan Mardika, tersinyalir ada tiga kelompok yang bermain dan membuat Kota Ambon kembali membara. Pertama, kelompok orang-orang terlatih (meski berbeda sandi operasi) yang menjadikan rusuh Ambon sebagai jalan memuluskan skenario kepemimpinan militer pada pilkada Maluku pada 11 Juni medio 2013.
Kedua, kelompok kanan yang berisi pemain-pemain lama maupun kelompok garis keras atas nama agama, dan ketiga, kelompok baru yang berisi para pendatang (bukan orang Maluku) dengan tujuan untuk menguasai perekonomian Maluku maupun tujuan politik lain.
Perlu ada revolusi pemikiran atau atmosfer pencerahan secara kolektif betapa Pela Gandong harus bisa menjadi jembatan perdamaian yang menggiring orang Maluku pada perdamaian hakiki. Untuk apa kita harus baku maki (umpat), baku lempar, baku bakar, baku bunuh, baku tembak, baku hujat, kalau akhirnya orang luar yang menikmati hasil akhirnya.
Dalam semangat itu, sudah saatnya Pela dan Gandong direvitalisasi dalam konteks kehidupan orang Maluku, bahkan perspektif dinamika lokal orang Maluku perlu digalakkan. Kenapa kita harus menari dengan nyanyian dan tabuhan gendang orang lain? (ros)
Tapi, kegalauan itu justru masih terus menggelayut seiring meretasnya upaya perdamaian yang tak mampu mengikis angkara murka dari ’’Bumi Cengkih dan Pala’’.
Benang kusut soal konspirasi keji Negara atas pembantaian sistematis dan terselubung terhadap orang Maluku (genosida) masih terus tersaji, dan mengantarkan orang Maluku ke lorong-lorong panjang kegelisahan dan kemunafikan. Ikatan sosial yang terbungkus dalam patron ’’Pela’’ dan ’’Gandong’’ bisa jadi hanya simbol persekutuan yang rapuh, dan lekang ditelan masa.
Pela merupakan pola hubungan di antara kampung-kampung Islam dan Kristen yang didasari pada perjanjian untuk hidup berdampingan secara damai dan tidak saling menyerang. Sementara itu, Gandong adalah hubungan sosial yang damai atas dasar ikatan darah sebagai orang Maluku. Tradisi Pela dan Gandong pada dasarnya merupakan respon budaya rakyat Ambon, Haruku, Saparua, dan Seram, terhadap keterpilihan sosial-kultural Maluku secara keseluruhan.
Mengapa ’’Pela’’ dan ’’Gandong’’ tak berkutik menghadapi hantaman provokasi yang mengusung agama sebagai senjata pemusnah massal? Kerapuhan dan ketidakberdayaan itu di satu sisi disebabkan oleh kebijakan sistematis rezim Orde Baru yang dengan politik sentralistiknya telah meminggirkan (menafikan) akar budaya orang Maluku, terutama Maluku Tengah.
Di sisi lain, gagalnya konsep budaya tersebut disebabkan karena secara teoritik sebenarnya konsep Pela dan Gandong bukan diperuntukkan dalam konteks relasi agama, namun lebih pada relasi persaudaraan yang melewati batas-batas primordialisme. Selain itu, tradisi ini juga berlaku lebih secara internal antara penduduk asli Ambon, bukan dengan pihak luar.
Pemerintah Orde Baru yang sangat terobsesi dengan keamanan dan stabilitas nasional sebagai penopang pembangunan ekonomi, lebih banyak menggunakan pendekatan sentralistik melalui hegemoni militer ketimbang membangun kepekaan terhadap dinamika lokal baik yang berdimensi agama maupun etnik. Hal ini pula yang terjadi di Maluku.
Rezim Pemerintah di Jakarta berhasil sedemikian rupa mengontrol Maluku, sehingga menjadikan wilayah ini salah satu kawasan yang tak pernah mengalami gejolak keamanan yang berarti. Namun, pola sentralistik dan ketidakpekaan terhadap dinamika lokal inilah yang justru menyimpan benih-benih konflik yang dahsyat.
Pemerintah Pusat mempertahankan pola segregrasi wilayah berdasar agama warisan Belanda. Setiap permukiman atau kampung yang berbeda dihuni oleh penduduk dengan agama yang berbeda dan tiap-tiap kelompok tidak saling membaur. Segregrasi ini kemudian diikuti dengan segregrasi ekonomi, politik, dan cara pandang terhadap kelompok lain.
Pola segregrasi itu semakin mencolok yang mengarah pada penguatan identitas dua kelompok berdasar agama. Selain itu, persaingan dalam jabatan-jabatan publik,yang kemudian dibungkus dalam kompetisi agama-menimbulkan kecurigaan-kecurigaan pada kedua belah pihak.
Dalam rentang waktu mulai tragedi 11 September 2011 di pertigaan Mangga Dua hingga pembakaran rumah-rumah penduduk di Waringin, Tanah Lapang Kecil (Talake), dan Mardika, tersinyalir ada tiga kelompok yang bermain dan membuat Kota Ambon kembali membara. Pertama, kelompok orang-orang terlatih (meski berbeda sandi operasi) yang menjadikan rusuh Ambon sebagai jalan memuluskan skenario kepemimpinan militer pada pilkada Maluku pada 11 Juni medio 2013.
Kedua, kelompok kanan yang berisi pemain-pemain lama maupun kelompok garis keras atas nama agama, dan ketiga, kelompok baru yang berisi para pendatang (bukan orang Maluku) dengan tujuan untuk menguasai perekonomian Maluku maupun tujuan politik lain.
Perlu ada revolusi pemikiran atau atmosfer pencerahan secara kolektif betapa Pela Gandong harus bisa menjadi jembatan perdamaian yang menggiring orang Maluku pada perdamaian hakiki. Untuk apa kita harus baku maki (umpat), baku lempar, baku bakar, baku bunuh, baku tembak, baku hujat, kalau akhirnya orang luar yang menikmati hasil akhirnya.
Dalam semangat itu, sudah saatnya Pela dan Gandong direvitalisasi dalam konteks kehidupan orang Maluku, bahkan perspektif dinamika lokal orang Maluku perlu digalakkan. Kenapa kita harus menari dengan nyanyian dan tabuhan gendang orang lain? (ros)