Pemekaran Kabupaten Kisar, Romang, Wetar dan Provinsi MBD
http://www.beritamalukuonline.com/2013/03/pemekaran-kabupaten-kisar-romang-wetar.html
Grand Design Dalam Konfigurasi Politik Global Abad 21
Oleh: RONY SAMLOY
DALAM perspektif geopolitik dan geostrategik internasional saat ini, ’’menjual’’ potensi wilayah Maluku Barat Daya adalah penting untuk menggugah Pemerintah Pusat agar lebih memedulikan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di pulau-pulau kecil yang merupakan beranda depan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Lepasnya Timor-Timur dan menjadi Negara berdaulat (Republica Democratica de Timor Lorosae) pada awal September 1999 hingga Mei 2002, dicaploknya Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia pada akhir 2002, kasus Pulau Rupat dan Kasus Ambalat di paruh 2003, mesti menjadi catatan kelam bagi elite pemimpin bangsa ini.
Artinya, bicara Indonesia bukan hanya Jawa, atau Jakarta Sentris. Harga diri dan keutuhan NKRI ada di pulau-pulau terluar, termasuk di Maluku. Pulau Lirang, Pulau Wetar, Pulau Kisar, Pulau Leti, Pulau Moa, Pulau Meitimiarang, dan Pulau Masela di Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku, merupakan hamparan pulau-pulau yang berbatasan langsung dengan Timor Leste dan Australia, dua sekutu Amerika Serikat (AS) di Pasifik Selatan.
Pada dekade 1980-an, pesawat Australia acap kali landing (mendarat) di lapangan terbang rumput Dusun Siota dan Dusun Nyama, Desa Klis di Moa, Kecamatan Moa-Lakor. Sebelum referendum (jajak pendapat) di Timtim, Agustus 1999, sebuah helikopter (diduga) milik Interfet mendarat darurat di Lapter Jhon Bakker, Kisar. Sebelum terbunuhnya Mayor Alfredo Reinado dalam sebuah kudeta berdarah di Dili, pejabat AS di Pentagon mengeluarkan komentar bahwa mereka melirik Wetar sebagai pangkalan militer. Medio 2012, Presiden Barack Obama memerintahkan penempatan 3000 personel marinis AS di Dili dan Darwin, utara Australia.
Tujuannya ganda, menghadang invasi militer China sekaligus memantau pergerakan jaringan terorisme melalui jalur selatan dunia. Bicara jalur selatan, Selat Ombay dan Selat Wetar bakal memegang peranan penting di abad 21 ini. Dua selat ini menjadi jalur lintas kapal selam nuklir AS yang hendak ke Subik dan Klark, pangkalan militer AS di Filipina dan ke Okinawa, markas militer AS di Jepang.
Dari simpul-simpul konfigurasi politik ini, perairan MBD bakal menjadi entry gate (pintu masuk) dan exit gate (pintu keluar) bagi kapal-kapal perang AS dan sekutunya. Karena itu, dalam pendekatan geopolitik, selayaknya kabupaten MBD menjadi fokus perhatian Pempus, terutama jajaran TNI-Polri. Tapi, ingat, bukan dengan pendekatan keamanan (security approach) yang berlebihan, tanpa dibarengi peningkatan kesejahteraan (prosperity approach). Bahasa idelogisnya hanya pemerataan pembangunan dan keadilan pembagian ’’roti pembangunan’’.
Dengan kekayaan melimpah di Blok Masela, Blok Sermata, Blok Leti, dan Blok Wetar, serta serbuk-serbuk emas dan tembaga yang menumpuk di gunung-gunung Wetar dan hutan-hutan Pulau Romang, MBD punya peranan krusial bagi Maluku dan NKRI di abad ini. Memang benar kata Fredy Latumahina, politisi senior Partai Golkar, bahwa cengkih pala adalah masa lalu, masa depan Maluku adalah laut dan kekayaan alam di dalamnya.
Kepentingan AS dan Australia relatif besar di MBD, selain di Timika, Papua. PT Gemala Borneo Utama di Romang dan PT Batutua Tembaga Raya di Wetar merupakan ’’kaki tangan’’ perusahaan multinasional di Australia. Dalam pengelolaan saham Blok Masela, jika Sheel Coorporation memperoleh 30 persen di bawah Inpex Ltd, itu pun merupakan bagian kepentingan bisnis AS. Inpex itu perusahaan Jepang yang masuk jaringan bisnis investor AS.
Kisar merupakan salah satu kecamatan tertua di Maluku persis setelah bergabung di Maluku melalui Ordonansi 1925. Sebelum itu, Wetar, Leti, dan Kisar menjadi pusat pemerintahan bentukkan pemerintah kolonial Belanda, Onderafdeeling Zuid Wester Eilandon, yang tunduk dari Kupang. Sebelum itu, benteng Delfhaven dan Vollenhaven dibangun untuk siaga Belanda menghadapi Portugis yang kemungkinan datang dari Timor. Sekutu pun menjadikan Kisar dan Damer sebagai pusat komando terendah untuk memantau gerak-gerik Jepang yang ingin menginvasi Australia semasa Perang Dunia II, 1939-1945. Tahun 1950-1952, kantor telekomunikasi di Wonreli yang dibangun Belanda, digunakan untuk membuka hubungan dengan dunia luar, termasuk Jakarta, setelah Kantor perhubungan Maluku di Ambon disegel militer Indonesia akibat memanasnya konstelasi politik persis saat pemberontakkan RMS di Ambon dan Seram.
Begitu strategisnya Kisar, Romang, dan Wetar sejak dulu hingga kini membuat pentingnya grand design baru untuk memekarkan tiga pulau itu untuk menjadi daerah otonom baru (DOB) di Indonesia. Cakupan ruang untuk dipercakapkan jelas dan legal karena Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) tak memberikan moratorium bagi wilayah perbatasan menjadi DOB. Mungkin setelah pemekaran Kisar, Romang dan Wetar menjadi DOB bersama Kepulauan Lease, Seram Utara, dan Tanimbar Utara, Wetar dikembangkan menjadi Daerah Otorita untuk mempermudah akses ke Dili.
Sebab, praktik ileggal fishing, illegal logging, dan illegal oil kini marak dan memunculkan sejumlah kerawanan di perairan Lirang, Wetar, Pulau Kambing (Atauro) dan Timor Besar. Apalagi, hingga kini belum ada agreement batas wilayah laut antara RI dan Timor Leste.
Dengan kekuatan dana dari Blok Masela dan Blok Sermata, Pulau-pulau Babar pun kelak layak meminta diri untuk membangun ’’mahligai kehidupan baru’’. Dukungan sumber daya manusia (SDM) tak perlu diragukan.Sebab, SDM MBD tersebar dari Masela hingga Wetar. Grand design politik dalam kurun 25-50 tahun ke depan akan menjawab wacana pembentukkan Provinsi MBD. Sedikitnya ada tujuh alasan fundamental untuk menjawab wacana dimaksud. Aspek pertama, bicara pulau-pulau perbatasan di Maluku, hanya MBD dari pendekatan geografis dan geokultural yang layak untuk dicakapkan. Goris Keraf, pakar bahasa nasional mengelompokkan rumpun bahasa Kisar dan sekitarnya dalam struktur kebahasaan Timor. Bahasa Galoli di Wetar, Bahasa Maaro di Kisar, dan Bahasa Leti serupa dengan bahasa yang digunakan penduduk Timor Leste di distrik (kabupaten) Atauro, Lautem dan Baucau.
Kedua, dari pendekatan etnografi. MBD baru masuk bergabung dalam yuridis administratif Maluku pada 1925, sementara sejak 1911 bergabung dalam Keresidenan Timor (Residentie van East) di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Kebudayaan orang MBD merupakan perpaduan kebudayaan Timor dan Luang (Mede Melay Patra Lgona/Mede Melay Patar Luono). Filosofi yang tak lekang waktu untuk membingkai kebhinekaan itu, yakni Nuspati Rai Patatra (Luang) dan Nohopai’ik Rai Pakakar (Kisar/Meher). Akulturasi kebudayaan Timor, Luang China, dan India melahirkan karya tradisional tenunan, penanggalan (kalender) hindu, penamaan (toponimi), arsitektur hindu, pemakaian nama hindu, astronomi hindu, yang tak seratus persen padu dengan kebudayaan alifuru yang mengakomodasi kristal-kristal kebudayaan Ternate dan Maluku Tengah.
Patasiwa-Patalima mengental dan ikut berbenturan dengan warna kebudayaan dalam sistem hukum adat, Lorlim/Urlim-Lorsiu/Ursiu di kepulauan Key. Tapi, kebudayaan masyarakat Key pun terbentuk dari sisa-sisa kebudayaan Hindu yang disebarkan punggawa-punggawa Kerajaan Majapahit dari Bali.
Ketiga, pendekatan geografis dan kesatuan masyarakat hukum adat. Etnis Kisar dan kebudayaan masyarakat pulau-pulau sekitarnya masuk jalur selatan, bukan tenggara. Sebutan tengara raya itu absurd (kabur) dan xenophobia. Profesor Koentjaraningrat mengelompokkan orang Kisar, Wetar, Romang, Damer, Sermata dan Tanimbar dalam kesatuan hukum adat Timor, bukan Maluku. Salah besar, orang Kisar dan sekitarnya menglaim diri mereka sebagai orang tenggara. Indikatornya Kisar dan Romang (dulu juga Wetar dan Damer) masuk kecamatan pulau-pulau terselatan (paling selatan).
Keempat, dalam konfigurasi politik lokal Maluku, orang MBD menjadi korban ’’kecelakaan sejarah’’ (historis accident) akibat imbas stigma RMS. Padahal, biar miskin, terisolir, dan tak dipedulikan pemerintah selama 60 tahun lebih, orang MBD tak pernah menuntut merdeka. Kalau pun ada, kapasitas orang itu tak jelas dan patut dipertanyakan. Ibarat ’’gajah bertarung pelanduk mati’’, orang MBD menjadi kelompok inferior dari segregrasi pemikiran yang masih saja mendikotomikan aura politik Lease (Ambon, Saparua, Nusalaut) dan Tenggara. Bicara Tenggara itu sekmentasi yang bermuara pada dominasi orang Key, meski leluhur orang Key ada yang datang dari Luang, Kecamatan Mdona Hyera, MBD. Politik identitas yang diagung-agungkan hanya memosisikan peran politik orang MBD sebagai kelompok penonton, bukan faksi petarung.
Kelima, untuk mematikan ruh-ruh separatisme melalui wilayah perbatasan di Maluku. Setelah Ambon dan sebagian wilayah Maluku diporak-porandakkan dalam konflik massif 1999-2004 dan pertikaian sporadis antarkampung akhir-akhir ini, isu separatisme sengaja didiamkan. Tapi, bahaya laten separatisme tak akan mati, ia tak lekang oleh waktu. Karena itu, mematikan ruh-ruh sectarian itu harus dengan penguatan masyarakat di pulau-pulau perbatasan. MBD punya kerawanan seperti itu. Memekarkan MBD menjadi sebuah provinsi anyar menjadi solusi di tengah percaturan politik nasional yang menjadikan Maluku lahan kepentingan militer, lahan bisnis elite politik dan birokrat, dan sasaran neokolonialisme dan neoliberalisme dengan tangan-tangan kapitalismenya.
Keenam, mengantisipasi bakal terwujudnya teori Jhon Naisbit, bahwa abad 21 merupakan kebangkitan kembali komunisme. Dan pasifik menjadi arena pertarungan besar kutub AS (NATO) dan kutub China-Korea Utara. Itu juga upaya menghindari jangan sampai Ligitan Jilid II terjadi di Maluku, khususnya di MBD.
Dan ketujuh atau terakhir, pembentukkan Provinsi MBD semata-mata untuk menyejahterakan masyarakat di pulau-pulau perbatasan Maluku. Pemancangan bendera merah putih, pembangunan monumen perbatasan, dan survei-survei kelautan hanya bagian kecil dari upaya menjaga kedaulatan di tapal batas NKRI. Sejatinya nasionalisme keindonesiaan akan tetap tumbuh jika pemberdayaan masyarakat diprioritaskan. Pembentukkan DOB wilayah perbatasan merupakan urgensi, bukan kepentingan elite meski tak bisa dimungkiri setiap pemekaran daerah selalu menjadi target para elite politik. Jangan sampai MBD tetap menjadi kawasan antah berantah, dan imbasnya Pempus akan kembali memungut rasa malu dari bekas provinsi ke-27 RI, Timor Leste. Apapun nama provinsinya, MBD tetap ada dalam bingkai NKRI dan Merah Putih menjadi harga mati yang harus dipertahankan hingga langit runtuh dan dunia hancur lebur. Kalwedo, Uplera Nodi Nora Ita.!. (RONY SAMLOY)
Oleh: RONY SAMLOY
DALAM perspektif geopolitik dan geostrategik internasional saat ini, ’’menjual’’ potensi wilayah Maluku Barat Daya adalah penting untuk menggugah Pemerintah Pusat agar lebih memedulikan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di pulau-pulau kecil yang merupakan beranda depan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Lepasnya Timor-Timur dan menjadi Negara berdaulat (Republica Democratica de Timor Lorosae) pada awal September 1999 hingga Mei 2002, dicaploknya Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia pada akhir 2002, kasus Pulau Rupat dan Kasus Ambalat di paruh 2003, mesti menjadi catatan kelam bagi elite pemimpin bangsa ini.
Artinya, bicara Indonesia bukan hanya Jawa, atau Jakarta Sentris. Harga diri dan keutuhan NKRI ada di pulau-pulau terluar, termasuk di Maluku. Pulau Lirang, Pulau Wetar, Pulau Kisar, Pulau Leti, Pulau Moa, Pulau Meitimiarang, dan Pulau Masela di Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku, merupakan hamparan pulau-pulau yang berbatasan langsung dengan Timor Leste dan Australia, dua sekutu Amerika Serikat (AS) di Pasifik Selatan.
Pada dekade 1980-an, pesawat Australia acap kali landing (mendarat) di lapangan terbang rumput Dusun Siota dan Dusun Nyama, Desa Klis di Moa, Kecamatan Moa-Lakor. Sebelum referendum (jajak pendapat) di Timtim, Agustus 1999, sebuah helikopter (diduga) milik Interfet mendarat darurat di Lapter Jhon Bakker, Kisar. Sebelum terbunuhnya Mayor Alfredo Reinado dalam sebuah kudeta berdarah di Dili, pejabat AS di Pentagon mengeluarkan komentar bahwa mereka melirik Wetar sebagai pangkalan militer. Medio 2012, Presiden Barack Obama memerintahkan penempatan 3000 personel marinis AS di Dili dan Darwin, utara Australia.
Tujuannya ganda, menghadang invasi militer China sekaligus memantau pergerakan jaringan terorisme melalui jalur selatan dunia. Bicara jalur selatan, Selat Ombay dan Selat Wetar bakal memegang peranan penting di abad 21 ini. Dua selat ini menjadi jalur lintas kapal selam nuklir AS yang hendak ke Subik dan Klark, pangkalan militer AS di Filipina dan ke Okinawa, markas militer AS di Jepang.
Dari simpul-simpul konfigurasi politik ini, perairan MBD bakal menjadi entry gate (pintu masuk) dan exit gate (pintu keluar) bagi kapal-kapal perang AS dan sekutunya. Karena itu, dalam pendekatan geopolitik, selayaknya kabupaten MBD menjadi fokus perhatian Pempus, terutama jajaran TNI-Polri. Tapi, ingat, bukan dengan pendekatan keamanan (security approach) yang berlebihan, tanpa dibarengi peningkatan kesejahteraan (prosperity approach). Bahasa idelogisnya hanya pemerataan pembangunan dan keadilan pembagian ’’roti pembangunan’’.
Dengan kekayaan melimpah di Blok Masela, Blok Sermata, Blok Leti, dan Blok Wetar, serta serbuk-serbuk emas dan tembaga yang menumpuk di gunung-gunung Wetar dan hutan-hutan Pulau Romang, MBD punya peranan krusial bagi Maluku dan NKRI di abad ini. Memang benar kata Fredy Latumahina, politisi senior Partai Golkar, bahwa cengkih pala adalah masa lalu, masa depan Maluku adalah laut dan kekayaan alam di dalamnya.
Kepentingan AS dan Australia relatif besar di MBD, selain di Timika, Papua. PT Gemala Borneo Utama di Romang dan PT Batutua Tembaga Raya di Wetar merupakan ’’kaki tangan’’ perusahaan multinasional di Australia. Dalam pengelolaan saham Blok Masela, jika Sheel Coorporation memperoleh 30 persen di bawah Inpex Ltd, itu pun merupakan bagian kepentingan bisnis AS. Inpex itu perusahaan Jepang yang masuk jaringan bisnis investor AS.
Kisar merupakan salah satu kecamatan tertua di Maluku persis setelah bergabung di Maluku melalui Ordonansi 1925. Sebelum itu, Wetar, Leti, dan Kisar menjadi pusat pemerintahan bentukkan pemerintah kolonial Belanda, Onderafdeeling Zuid Wester Eilandon, yang tunduk dari Kupang. Sebelum itu, benteng Delfhaven dan Vollenhaven dibangun untuk siaga Belanda menghadapi Portugis yang kemungkinan datang dari Timor. Sekutu pun menjadikan Kisar dan Damer sebagai pusat komando terendah untuk memantau gerak-gerik Jepang yang ingin menginvasi Australia semasa Perang Dunia II, 1939-1945. Tahun 1950-1952, kantor telekomunikasi di Wonreli yang dibangun Belanda, digunakan untuk membuka hubungan dengan dunia luar, termasuk Jakarta, setelah Kantor perhubungan Maluku di Ambon disegel militer Indonesia akibat memanasnya konstelasi politik persis saat pemberontakkan RMS di Ambon dan Seram.
Begitu strategisnya Kisar, Romang, dan Wetar sejak dulu hingga kini membuat pentingnya grand design baru untuk memekarkan tiga pulau itu untuk menjadi daerah otonom baru (DOB) di Indonesia. Cakupan ruang untuk dipercakapkan jelas dan legal karena Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) tak memberikan moratorium bagi wilayah perbatasan menjadi DOB. Mungkin setelah pemekaran Kisar, Romang dan Wetar menjadi DOB bersama Kepulauan Lease, Seram Utara, dan Tanimbar Utara, Wetar dikembangkan menjadi Daerah Otorita untuk mempermudah akses ke Dili.
Sebab, praktik ileggal fishing, illegal logging, dan illegal oil kini marak dan memunculkan sejumlah kerawanan di perairan Lirang, Wetar, Pulau Kambing (Atauro) dan Timor Besar. Apalagi, hingga kini belum ada agreement batas wilayah laut antara RI dan Timor Leste.
Dengan kekuatan dana dari Blok Masela dan Blok Sermata, Pulau-pulau Babar pun kelak layak meminta diri untuk membangun ’’mahligai kehidupan baru’’. Dukungan sumber daya manusia (SDM) tak perlu diragukan.Sebab, SDM MBD tersebar dari Masela hingga Wetar. Grand design politik dalam kurun 25-50 tahun ke depan akan menjawab wacana pembentukkan Provinsi MBD. Sedikitnya ada tujuh alasan fundamental untuk menjawab wacana dimaksud. Aspek pertama, bicara pulau-pulau perbatasan di Maluku, hanya MBD dari pendekatan geografis dan geokultural yang layak untuk dicakapkan. Goris Keraf, pakar bahasa nasional mengelompokkan rumpun bahasa Kisar dan sekitarnya dalam struktur kebahasaan Timor. Bahasa Galoli di Wetar, Bahasa Maaro di Kisar, dan Bahasa Leti serupa dengan bahasa yang digunakan penduduk Timor Leste di distrik (kabupaten) Atauro, Lautem dan Baucau.
Kedua, dari pendekatan etnografi. MBD baru masuk bergabung dalam yuridis administratif Maluku pada 1925, sementara sejak 1911 bergabung dalam Keresidenan Timor (Residentie van East) di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Kebudayaan orang MBD merupakan perpaduan kebudayaan Timor dan Luang (Mede Melay Patra Lgona/Mede Melay Patar Luono). Filosofi yang tak lekang waktu untuk membingkai kebhinekaan itu, yakni Nuspati Rai Patatra (Luang) dan Nohopai’ik Rai Pakakar (Kisar/Meher). Akulturasi kebudayaan Timor, Luang China, dan India melahirkan karya tradisional tenunan, penanggalan (kalender) hindu, penamaan (toponimi), arsitektur hindu, pemakaian nama hindu, astronomi hindu, yang tak seratus persen padu dengan kebudayaan alifuru yang mengakomodasi kristal-kristal kebudayaan Ternate dan Maluku Tengah.
Patasiwa-Patalima mengental dan ikut berbenturan dengan warna kebudayaan dalam sistem hukum adat, Lorlim/Urlim-Lorsiu/Ursiu di kepulauan Key. Tapi, kebudayaan masyarakat Key pun terbentuk dari sisa-sisa kebudayaan Hindu yang disebarkan punggawa-punggawa Kerajaan Majapahit dari Bali.
Ketiga, pendekatan geografis dan kesatuan masyarakat hukum adat. Etnis Kisar dan kebudayaan masyarakat pulau-pulau sekitarnya masuk jalur selatan, bukan tenggara. Sebutan tengara raya itu absurd (kabur) dan xenophobia. Profesor Koentjaraningrat mengelompokkan orang Kisar, Wetar, Romang, Damer, Sermata dan Tanimbar dalam kesatuan hukum adat Timor, bukan Maluku. Salah besar, orang Kisar dan sekitarnya menglaim diri mereka sebagai orang tenggara. Indikatornya Kisar dan Romang (dulu juga Wetar dan Damer) masuk kecamatan pulau-pulau terselatan (paling selatan).
Keempat, dalam konfigurasi politik lokal Maluku, orang MBD menjadi korban ’’kecelakaan sejarah’’ (historis accident) akibat imbas stigma RMS. Padahal, biar miskin, terisolir, dan tak dipedulikan pemerintah selama 60 tahun lebih, orang MBD tak pernah menuntut merdeka. Kalau pun ada, kapasitas orang itu tak jelas dan patut dipertanyakan. Ibarat ’’gajah bertarung pelanduk mati’’, orang MBD menjadi kelompok inferior dari segregrasi pemikiran yang masih saja mendikotomikan aura politik Lease (Ambon, Saparua, Nusalaut) dan Tenggara. Bicara Tenggara itu sekmentasi yang bermuara pada dominasi orang Key, meski leluhur orang Key ada yang datang dari Luang, Kecamatan Mdona Hyera, MBD. Politik identitas yang diagung-agungkan hanya memosisikan peran politik orang MBD sebagai kelompok penonton, bukan faksi petarung.
Kelima, untuk mematikan ruh-ruh separatisme melalui wilayah perbatasan di Maluku. Setelah Ambon dan sebagian wilayah Maluku diporak-porandakkan dalam konflik massif 1999-2004 dan pertikaian sporadis antarkampung akhir-akhir ini, isu separatisme sengaja didiamkan. Tapi, bahaya laten separatisme tak akan mati, ia tak lekang oleh waktu. Karena itu, mematikan ruh-ruh sectarian itu harus dengan penguatan masyarakat di pulau-pulau perbatasan. MBD punya kerawanan seperti itu. Memekarkan MBD menjadi sebuah provinsi anyar menjadi solusi di tengah percaturan politik nasional yang menjadikan Maluku lahan kepentingan militer, lahan bisnis elite politik dan birokrat, dan sasaran neokolonialisme dan neoliberalisme dengan tangan-tangan kapitalismenya.
Keenam, mengantisipasi bakal terwujudnya teori Jhon Naisbit, bahwa abad 21 merupakan kebangkitan kembali komunisme. Dan pasifik menjadi arena pertarungan besar kutub AS (NATO) dan kutub China-Korea Utara. Itu juga upaya menghindari jangan sampai Ligitan Jilid II terjadi di Maluku, khususnya di MBD.
Dan ketujuh atau terakhir, pembentukkan Provinsi MBD semata-mata untuk menyejahterakan masyarakat di pulau-pulau perbatasan Maluku. Pemancangan bendera merah putih, pembangunan monumen perbatasan, dan survei-survei kelautan hanya bagian kecil dari upaya menjaga kedaulatan di tapal batas NKRI. Sejatinya nasionalisme keindonesiaan akan tetap tumbuh jika pemberdayaan masyarakat diprioritaskan. Pembentukkan DOB wilayah perbatasan merupakan urgensi, bukan kepentingan elite meski tak bisa dimungkiri setiap pemekaran daerah selalu menjadi target para elite politik. Jangan sampai MBD tetap menjadi kawasan antah berantah, dan imbasnya Pempus akan kembali memungut rasa malu dari bekas provinsi ke-27 RI, Timor Leste. Apapun nama provinsinya, MBD tetap ada dalam bingkai NKRI dan Merah Putih menjadi harga mati yang harus dipertahankan hingga langit runtuh dan dunia hancur lebur. Kalwedo, Uplera Nodi Nora Ita.!. (RONY SAMLOY)