KALI NUA, ASAL NAMA MAKARIKI DAN MAATOKE
http://www.beritamalukuonline.com/2013/03/ceritera-rakyat-maluku-13-kali-nua-asal.html
ADA dua orang putri cantik kakak beradik yang bernama Pina Aiya dan Pina Niki. Pina Aiya artinya Putri Raja. Mereka berdua kawin dengan seorang pencipta alam semesta bernama Upu Ama. Upu Ama bersama kedua isterinya pergi dan menempati daerah di dataran kaki gunung Binaya. Untuk memperoleh air minum di tempat ini sangat sulit.
Pada suatu kali, Upu Ama berpesan kepada kedua isterinya, “saya akan pergi mencari sebuah sumber air bagi kita”, kalian berdua tinggallah disini menunggu saya kembali. Apabila kalian menunggu lama, dan mendengar suatu bunyi yang besar dan dahsyat, itu pertanda bahwa saya sudah menemukan sumber air. Bunyinya akan terdengar sampai ke telinga kalian berdua dan sangat berbahaya bagi keselamatan kalian. Kalian berdua haruslah menghindar dari tempat ini”.
Upu Ama kemudian pergi dengan membawa sebuah tombak. Sepanjang hari ia tidak berhasil menemukan air sedikitpun. Upu Ama merasa sangat lelah dan leltih, mulailah ia berpikir untuk menciptakan suatu sumber air di situ untuk sepanjang masa. Upu Ama kemudian mengambil tombak yang dibawanya dan menikamnya ke tanah di mana ia berdiri, dan seketika itu pula keluarlah air yang meluap dan membanjiri daerah sekitarnya dengan suatu bunyi yang amat dahsyat.
Ketika mendengar bunyi tersebut, Pina Aiya segera lari meninggalkan tempat tinggalnya, sedangkan Pina Niki tidak mau lari. Sehingga dalam sekejab saja banjir datang dan menghanyutkan Pina Niki. Air itu lama kelamaan membanjiri dan membentuk sebuah kali (sungai) besar. Kali ini kemudian diberi nama “NUA” yang berarti “tikam, kali terbentuk”. Upu Ama segera kembali menemui kedua istrinya, tetapi ternyata yang ditemuinya hanyalah Pina Aiya sedangkan Pina Niki telah hilang terbawa banjir.
Upu Ama berpesan lagi kepada Pina Aiya agar tinggal dulu di tempat itu menunggu sampai ia kembali sebab ia harus pergi untuk mencari dimana Pina Niki terdampar. Upu Ama pergi mengikuti kali Nua hingga tiba di muara kali di pantai. Pina Niki ditemukan sudah tidak bernyawa lagi. Ia terdampar di sebuah pantai yang kemudian tempat itu dinamakan Makariki.
Upu Ama dengan kesal hati berjalan pulang untuk menemukan istrinya Pina Aiya di gunung Binaya, tetapi dalam perjalanan pulang dan telah mendekati rumah tempat tinggal Pina Aiya, Upu Ama dikejutkan oleh sambaran halilintar di tepi kali Nua. Upu Ama terkejut sehingga tubuhnya saat itu juga membeku dan menjadi batu karang di tengah-tengah kali Nua, sedangkan arwahnya menjelma menjadi sebuah biji petir yang bentuknya seperti sebuah boneka kecil.
Biji petir ini pulang dan menemui Pina Aiya di Gunung Binaya dan menceriterakan segala peristiwa yang terjdi baik yang menimpa diri Pina Niki maupun yang menimpa sang Upu Ama sendiri. Tubuh jasmaniah Upu Ama yang membatu di tengah kali Nua diberi nama Hatu Ainonase dan dipuja sebagai batu keramat, sedangkan biji petir sebagai arwah Upu Ama disembah sebagai benda suci. Biji petir ini kini masih tersimpan bersama kapak yang ditemukan oleh Sang Upu Ama (di bukit Kaiwasa) di rumah Tuan Tanah Marga Maatoke di Aisuru kilo 12 kecamatan Amahai.
Pina Aiya hidup seorang diri dan tidak bersuami lagi. Pada suatu hari datanglah Sounawe kepada Pina Aiya minta kesediaannya untuk menjadi istrinya. Pina Aiya menerima permintaan Sounawe. Dari perkawinan Sounawe dan Pina Aiya lahirlah marga Maatoke. Marga Maatoke dianggap sebagai salah satu suku turunan Upu ama hingga kini.
(Sumber: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Maluku dan Malut)
Pada suatu kali, Upu Ama berpesan kepada kedua isterinya, “saya akan pergi mencari sebuah sumber air bagi kita”, kalian berdua tinggallah disini menunggu saya kembali. Apabila kalian menunggu lama, dan mendengar suatu bunyi yang besar dan dahsyat, itu pertanda bahwa saya sudah menemukan sumber air. Bunyinya akan terdengar sampai ke telinga kalian berdua dan sangat berbahaya bagi keselamatan kalian. Kalian berdua haruslah menghindar dari tempat ini”.
Upu Ama kemudian pergi dengan membawa sebuah tombak. Sepanjang hari ia tidak berhasil menemukan air sedikitpun. Upu Ama merasa sangat lelah dan leltih, mulailah ia berpikir untuk menciptakan suatu sumber air di situ untuk sepanjang masa. Upu Ama kemudian mengambil tombak yang dibawanya dan menikamnya ke tanah di mana ia berdiri, dan seketika itu pula keluarlah air yang meluap dan membanjiri daerah sekitarnya dengan suatu bunyi yang amat dahsyat.
Ketika mendengar bunyi tersebut, Pina Aiya segera lari meninggalkan tempat tinggalnya, sedangkan Pina Niki tidak mau lari. Sehingga dalam sekejab saja banjir datang dan menghanyutkan Pina Niki. Air itu lama kelamaan membanjiri dan membentuk sebuah kali (sungai) besar. Kali ini kemudian diberi nama “NUA” yang berarti “tikam, kali terbentuk”. Upu Ama segera kembali menemui kedua istrinya, tetapi ternyata yang ditemuinya hanyalah Pina Aiya sedangkan Pina Niki telah hilang terbawa banjir.
Upu Ama berpesan lagi kepada Pina Aiya agar tinggal dulu di tempat itu menunggu sampai ia kembali sebab ia harus pergi untuk mencari dimana Pina Niki terdampar. Upu Ama pergi mengikuti kali Nua hingga tiba di muara kali di pantai. Pina Niki ditemukan sudah tidak bernyawa lagi. Ia terdampar di sebuah pantai yang kemudian tempat itu dinamakan Makariki.
Upu Ama dengan kesal hati berjalan pulang untuk menemukan istrinya Pina Aiya di gunung Binaya, tetapi dalam perjalanan pulang dan telah mendekati rumah tempat tinggal Pina Aiya, Upu Ama dikejutkan oleh sambaran halilintar di tepi kali Nua. Upu Ama terkejut sehingga tubuhnya saat itu juga membeku dan menjadi batu karang di tengah-tengah kali Nua, sedangkan arwahnya menjelma menjadi sebuah biji petir yang bentuknya seperti sebuah boneka kecil.
Biji petir ini pulang dan menemui Pina Aiya di Gunung Binaya dan menceriterakan segala peristiwa yang terjdi baik yang menimpa diri Pina Niki maupun yang menimpa sang Upu Ama sendiri. Tubuh jasmaniah Upu Ama yang membatu di tengah kali Nua diberi nama Hatu Ainonase dan dipuja sebagai batu keramat, sedangkan biji petir sebagai arwah Upu Ama disembah sebagai benda suci. Biji petir ini kini masih tersimpan bersama kapak yang ditemukan oleh Sang Upu Ama (di bukit Kaiwasa) di rumah Tuan Tanah Marga Maatoke di Aisuru kilo 12 kecamatan Amahai.
Pina Aiya hidup seorang diri dan tidak bersuami lagi. Pada suatu hari datanglah Sounawe kepada Pina Aiya minta kesediaannya untuk menjadi istrinya. Pina Aiya menerima permintaan Sounawe. Dari perkawinan Sounawe dan Pina Aiya lahirlah marga Maatoke. Marga Maatoke dianggap sebagai salah satu suku turunan Upu ama hingga kini.
(Sumber: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Maluku dan Malut)