Amboina Bay: Ode Laste voor ’’Maluku Tanah Pusaka’’
http://www.beritamalukuonline.com/2013/03/amboina-bay-ode-laste-voor-maluku-tanah.html
Lakon ’’Parlente’’ Elite Ala Santa Claus, Robin Hood, dan Pekikan Heroistik Kapitein Pattimura
LAGU Amboina Bay (Teluk Amboina) yang dikidungkan syahdu oleh biduanita Paula Leiwakabessy menghidupkan suasana di dalam restoran Hotel Manise, kawasan Tanah Tinggi, Ambon, Kamis, 28 Maret 2013, kemarin sekira pukul 19.30 WIT.
Saat itu, selain penulis, juga ada empat jurnalis lokal, di antaranya Namira Prinsnora Amelia (Ambon Ekspres), Jenci Ratumassa (Ambon Ekspres), Tarsisius Sarkol (Ambon Ekspres), dan Aner Leunufna (Info Baru). Kita berlima lagi mewawancarai Baharudin Farowawan dan Abet Tetlalegi, pasangan kandidat wali kota/wakil wali kota Tual periode 2013-2018.
’’Saya suka dengar lagu ini (Amboina Bay),’’ ucap penulis kepada Namira. ’’Apa alasannya?’’ sahut Namira. ’’Ini lagu klasik Ambon, asli musik Hawaian, dan sarat makna,’’ balas penulis.
Sejenak kita diam karena fokus untuk wawancara selanjutnya. Teluk Amboina sudah mashyur sejak lama. Dulu, banyak peneliti Eropa dan Amerika yang datang ke Ambon hanya untuk meneliti aneka terumbu karang, beragam jenis biota laut, molusca hingga ikan-ikan laut pedalaman di dalam Teluk Amboina. Namun, persis di paruh abad ke-20, hampir sebagian besar ekosistem laut di Teluk Amboina rusak dan punah karena pengaruh sisa-sisa bom dan mesiu yang dibuang kapal-kapal perang Jepang yang menjadikan Lateri dan Halong sebagai pangkalan militer mereka.
Itu terjadi pascajatuhnya Bom Atom di Kota Hiroshima dan Kota Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945. Kini, nyaris tak ada lagi biota laut kebanggaan Teluk Amboina karena dampak pencemaran lingkungan yang dilakukan kapal-kapal tanker, kapal-kapal ikan, maupun hasil pembuangan sampah organik dari rumah-rumah tangga.
Sebenarnya konsep Ambon Water Front City (WFC) yang digagas Wali Kota Jopie Papilaya, punya tujuan untuk memperindah Teluk Amboina. Itu konsep modern mengadaptasi master plan Kota Dubai, Uni Emirat Arab. Menyusul kemudian rencana Pembangunan Victoria Park berlantai 45, persis di depan Benteng New Victoria (dulunya di zaman Portugis tahun 1575 disebut Nossa Senhora de Anunciada), untuk menambah kecantikan Ambon Manise.
Mega-mega proyek seperti Victoria Park, Maluku City Mall, Amboina City Centre, Jembatan Merah Putih, Taman Kota, dan Lapangan Merdeka menjadi bagian upaya mewarnai Monumen Gong Perdamaian Dunia (GPD) yang lebih dulu dibangun tahun 2010. Ironisnya, GPD dibangun sebagai penghargaan setelah lebih dulu orang Maluku diadu-domba dalam perang saudara dengan agama sebagai ’’detonator peledak’’.
Terhitung sejak kurun 1999-2004 dan pertikaian sporadik antarkampung saat ini menggambarkan adanya grand scenario Negara melalui institusi keamanan memorak-porandakkan Maluku.
Tatanan adat dan pratana persaudaraan orang Maluku dihancurkan. Keadaban yang terluka dan dilukai di tengah pengorbanan orang Maluku untuk Negara ini. Sebagai lapangan bersejarah, Lapangan Merdeka pernah melahirkan pemain-pemain bertalenta yang memperkuat timnas Indonesia di berbagai event internasional terhitung sejak dekade 1960-an hingga 1980-an.
Pesohor-pesohor lapangan hijau seperti Bertje Matulapelwa, Simson Rumahpassal, Jacob Sihasale, Tony Tanamal, dan Rocky Poetiray pernah bermain di lapangan di sentral Ambon ini.
Kini, Lapangan di depan Kantor Gubernur Maluku ini dibiarkan nirmakna, terpinggirkan dari pergulatan aktivitas olahraga prestasi. Ia kembali tersisih karena konsep Ambon City of Music.
Ingar bingar politik lokal lima tahun meminggirkan fungsi dan eksistensi Lapangan Merdeka sebagai ’’kawah candradimuka’’ melahirkan atlet-atlet alami nan mumpuni asal Maluku Tanah Pusaka. Ironisnya, nyaris tak ada kandidat gubernur maupun calon orang nomor dua di pilgub Maluku periode lima tahun ke depan, Juni 2013 nanti, yang menyinggung atau menawarkan visi pengembangan olahraga, setidaknya bagaimana menjadikan lagi Maluku sebagai gudangnya atlet bahkan seniman berkelas dunia di Tanah Air.
Keprihatinan itu menjadi satire, atau elegi di tengah angkara murka politik yang membosankan. ’’Hidup terlalu mudah dikorbankan hanya untuk politik,’’sindir Victor Hugo, novelis terkenal asal Amerika Latino.
Para calon pemimpin melakoni diri bagaikan figur masa lampau. Lakon ’onosel’ dan ’parlente’ tampak di situ. Ada yang menyerupai santa claus, tokoh penting yang acap kali mewarnai pesta perayaan Natal. Pada 1800-an, di Amerika Serikat, Santa Claus (Sinterklas) menggantikan Santo Nikolas sebagai lambang usaha untuk saling memberi. Memberi tanpa pamrih, tanpa embel-embel apalagi anasir politik.
Lakon Santa Claus acap kali dilakoni elite-elite politik maupun elite-elite birokrasi saat ini. Mereka suka membagi-bagikan uang, sembako, atau natura lain menjelang pembentangan tirai politik.Tujuannya mendapat dukungan pemilih.
Ketokohan Santa Claus dipolitisasi dalam kepentingan mencapai kekuasaan, tapi menipu dan membohongi rakyat (pemilih). Padahal, peran Santa Claus sekadar memberi, tak mengharapkan balik, tidak mau menerima balasan. Dalam politik tersaji dua hal, memberi dan menerima (take and give). Celakanya, banyak kandidat yang doyan korupsi, dan suka membagi-bagikan paket bantuan pemerintah atas nama pribadi.
Ini bak lakon Robin Hood, tokoh dalam cerita rakyat Inggris. Ia adalah seorang bangsawan yang menjadi musuh Sheriff of Nottingham atau Prince John. Bedanya, Robin Hood melawan pejabat yang korupsi untuk kepentingan rakyat. Ia memimpin 140 orang yang disebut “Merry Men” untuk melawan para koruptor.
Pemimpin kita saat ini melakukan korupsi hanya untuk kepentingan dirinya sendiri, dan membangun kekuasaan kelompok (oligarki), Mereka sama sekali tak memedulikan penderitaan dan jeritan rakyat.
Rakyat tetap sengsara, pemimpin pura-pura tuli, dan ambigu. Di tiang gantungan di Lapangan Merdeka, depan benteng New Victoria, pada 16 Desember 1817, Thomas Matulessy alias Kapitan (Kapitein) Pattimura menyerukan semangat kepahlawanan untuk menentang kolonialisme.
Portugis, Belanda dan Jepang merupakan musuh-musuh kita di zaman dulu. Musuh kita zaman ini, Abad ke-21, millennium tiga, adalah penjajahan gaya baru (neokolonialisme), kapitalisme gaya baru, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). KKN bagaikan telah menggurita dalam seluruh aspek penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, termasuk di Maluku.
Soal KKN, Maluku punya ranking teratas, nomor tiga nasional. Anehnya, jarang sekali ada kepala daerah di Maluku yang mendekam dalam bui karena korupsi.
Sarang korupsi, tapi di penjara kurang dihuni koruptor kelas kakap. Karena itu, jangan heran sebagian besar sosok yang mencalonkan diri sebagai gubernur dan wakil gubernur tak pernah sepi dari tudingan, demo-demo, dan pemberitaan tentang korupsi.Mereka juga berperan dalam korupsi dalam kapasitas sebagai decision maker dan dader administrative. DPRD dan kejaksaan pun sarang para mafia. Siapa harus teriak siapa?Pencuri tetap melindungi pencuri. Maling akan berkolaborasi dengan maling. Penjahat tahu di mana sarang penjahat.
Ekspektasi apa yang didengungkan kalau pemimpin Maluku nanti merupakan seorang koruptor? Lagi-lagi Maluku terpuruk. Terpuruk karena kesalahan rakyat untuk memilih pemimpin yang jujur, cerdas, berkarakter, nasionalis, dan tak melanggengkan atau melestarikan dinasti suku dan memprioritaskan keluarga dalam rekrutmen pegawai dan pejabat. Rakyat lebih memilih pemimpin yang kurang pandai berbagi (populis), dan tak humanis. Ada anekdot: pemimpin kita hanya tahu tambah-tambah (+) dan kali-kali (x), tapi tak tahu bagi-bagi (:).
Maluku Tanah Pusaka adalah ode terakhir (laste) yang mengidungkan kerinduan anak-anak Maluku akan pemimpin yang mampu menyatukan perbedaan dan menghilangkan gesekan-gesekan (karena latar belakang agama dan suku). Pemimpin Maluku yang diidam-idamkan adalah sosok yang militan dan berani mempertaruhkan hidup dan kariernya demi Maluku yang aman, bertoleran, humanis, dan dihargai di belantara perpolitikan nasional.
Ia rela mati hanya untuk mengungkap siapa drakula yang telah mencabut ribuan nyawa anak Maluku dan menggiring orang Maluku dalam drama kolosal para barbarian. Rakyat tak butuh pemimpin penjilat, kenyang lupa rakyat. Hancur tidaknya Maluku terpulang kesadaran bersama untuk memilih pemimpin tipikal cerdas, berani, berkarakter, dan mampu mengakomodasi semua kepentingan. Mena Maluku..! (RONY SAMLOY, Jurnalis Senior Maluku).
LAGU Amboina Bay (Teluk Amboina) yang dikidungkan syahdu oleh biduanita Paula Leiwakabessy menghidupkan suasana di dalam restoran Hotel Manise, kawasan Tanah Tinggi, Ambon, Kamis, 28 Maret 2013, kemarin sekira pukul 19.30 WIT.
Saat itu, selain penulis, juga ada empat jurnalis lokal, di antaranya Namira Prinsnora Amelia (Ambon Ekspres), Jenci Ratumassa (Ambon Ekspres), Tarsisius Sarkol (Ambon Ekspres), dan Aner Leunufna (Info Baru). Kita berlima lagi mewawancarai Baharudin Farowawan dan Abet Tetlalegi, pasangan kandidat wali kota/wakil wali kota Tual periode 2013-2018.
’’Saya suka dengar lagu ini (Amboina Bay),’’ ucap penulis kepada Namira. ’’Apa alasannya?’’ sahut Namira. ’’Ini lagu klasik Ambon, asli musik Hawaian, dan sarat makna,’’ balas penulis.
Sejenak kita diam karena fokus untuk wawancara selanjutnya. Teluk Amboina sudah mashyur sejak lama. Dulu, banyak peneliti Eropa dan Amerika yang datang ke Ambon hanya untuk meneliti aneka terumbu karang, beragam jenis biota laut, molusca hingga ikan-ikan laut pedalaman di dalam Teluk Amboina. Namun, persis di paruh abad ke-20, hampir sebagian besar ekosistem laut di Teluk Amboina rusak dan punah karena pengaruh sisa-sisa bom dan mesiu yang dibuang kapal-kapal perang Jepang yang menjadikan Lateri dan Halong sebagai pangkalan militer mereka.
Itu terjadi pascajatuhnya Bom Atom di Kota Hiroshima dan Kota Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945. Kini, nyaris tak ada lagi biota laut kebanggaan Teluk Amboina karena dampak pencemaran lingkungan yang dilakukan kapal-kapal tanker, kapal-kapal ikan, maupun hasil pembuangan sampah organik dari rumah-rumah tangga.
Sebenarnya konsep Ambon Water Front City (WFC) yang digagas Wali Kota Jopie Papilaya, punya tujuan untuk memperindah Teluk Amboina. Itu konsep modern mengadaptasi master plan Kota Dubai, Uni Emirat Arab. Menyusul kemudian rencana Pembangunan Victoria Park berlantai 45, persis di depan Benteng New Victoria (dulunya di zaman Portugis tahun 1575 disebut Nossa Senhora de Anunciada), untuk menambah kecantikan Ambon Manise.
Mega-mega proyek seperti Victoria Park, Maluku City Mall, Amboina City Centre, Jembatan Merah Putih, Taman Kota, dan Lapangan Merdeka menjadi bagian upaya mewarnai Monumen Gong Perdamaian Dunia (GPD) yang lebih dulu dibangun tahun 2010. Ironisnya, GPD dibangun sebagai penghargaan setelah lebih dulu orang Maluku diadu-domba dalam perang saudara dengan agama sebagai ’’detonator peledak’’.
Terhitung sejak kurun 1999-2004 dan pertikaian sporadik antarkampung saat ini menggambarkan adanya grand scenario Negara melalui institusi keamanan memorak-porandakkan Maluku.
Tatanan adat dan pratana persaudaraan orang Maluku dihancurkan. Keadaban yang terluka dan dilukai di tengah pengorbanan orang Maluku untuk Negara ini. Sebagai lapangan bersejarah, Lapangan Merdeka pernah melahirkan pemain-pemain bertalenta yang memperkuat timnas Indonesia di berbagai event internasional terhitung sejak dekade 1960-an hingga 1980-an.
Pesohor-pesohor lapangan hijau seperti Bertje Matulapelwa, Simson Rumahpassal, Jacob Sihasale, Tony Tanamal, dan Rocky Poetiray pernah bermain di lapangan di sentral Ambon ini.
Kini, Lapangan di depan Kantor Gubernur Maluku ini dibiarkan nirmakna, terpinggirkan dari pergulatan aktivitas olahraga prestasi. Ia kembali tersisih karena konsep Ambon City of Music.
Ingar bingar politik lokal lima tahun meminggirkan fungsi dan eksistensi Lapangan Merdeka sebagai ’’kawah candradimuka’’ melahirkan atlet-atlet alami nan mumpuni asal Maluku Tanah Pusaka. Ironisnya, nyaris tak ada kandidat gubernur maupun calon orang nomor dua di pilgub Maluku periode lima tahun ke depan, Juni 2013 nanti, yang menyinggung atau menawarkan visi pengembangan olahraga, setidaknya bagaimana menjadikan lagi Maluku sebagai gudangnya atlet bahkan seniman berkelas dunia di Tanah Air.
Keprihatinan itu menjadi satire, atau elegi di tengah angkara murka politik yang membosankan. ’’Hidup terlalu mudah dikorbankan hanya untuk politik,’’sindir Victor Hugo, novelis terkenal asal Amerika Latino.
Para calon pemimpin melakoni diri bagaikan figur masa lampau. Lakon ’onosel’ dan ’parlente’ tampak di situ. Ada yang menyerupai santa claus, tokoh penting yang acap kali mewarnai pesta perayaan Natal. Pada 1800-an, di Amerika Serikat, Santa Claus (Sinterklas) menggantikan Santo Nikolas sebagai lambang usaha untuk saling memberi. Memberi tanpa pamrih, tanpa embel-embel apalagi anasir politik.
Lakon Santa Claus acap kali dilakoni elite-elite politik maupun elite-elite birokrasi saat ini. Mereka suka membagi-bagikan uang, sembako, atau natura lain menjelang pembentangan tirai politik.Tujuannya mendapat dukungan pemilih.
Ketokohan Santa Claus dipolitisasi dalam kepentingan mencapai kekuasaan, tapi menipu dan membohongi rakyat (pemilih). Padahal, peran Santa Claus sekadar memberi, tak mengharapkan balik, tidak mau menerima balasan. Dalam politik tersaji dua hal, memberi dan menerima (take and give). Celakanya, banyak kandidat yang doyan korupsi, dan suka membagi-bagikan paket bantuan pemerintah atas nama pribadi.
Ini bak lakon Robin Hood, tokoh dalam cerita rakyat Inggris. Ia adalah seorang bangsawan yang menjadi musuh Sheriff of Nottingham atau Prince John. Bedanya, Robin Hood melawan pejabat yang korupsi untuk kepentingan rakyat. Ia memimpin 140 orang yang disebut “Merry Men” untuk melawan para koruptor.
Pemimpin kita saat ini melakukan korupsi hanya untuk kepentingan dirinya sendiri, dan membangun kekuasaan kelompok (oligarki), Mereka sama sekali tak memedulikan penderitaan dan jeritan rakyat.
Rakyat tetap sengsara, pemimpin pura-pura tuli, dan ambigu. Di tiang gantungan di Lapangan Merdeka, depan benteng New Victoria, pada 16 Desember 1817, Thomas Matulessy alias Kapitan (Kapitein) Pattimura menyerukan semangat kepahlawanan untuk menentang kolonialisme.
Portugis, Belanda dan Jepang merupakan musuh-musuh kita di zaman dulu. Musuh kita zaman ini, Abad ke-21, millennium tiga, adalah penjajahan gaya baru (neokolonialisme), kapitalisme gaya baru, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). KKN bagaikan telah menggurita dalam seluruh aspek penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, termasuk di Maluku.
Soal KKN, Maluku punya ranking teratas, nomor tiga nasional. Anehnya, jarang sekali ada kepala daerah di Maluku yang mendekam dalam bui karena korupsi.
Sarang korupsi, tapi di penjara kurang dihuni koruptor kelas kakap. Karena itu, jangan heran sebagian besar sosok yang mencalonkan diri sebagai gubernur dan wakil gubernur tak pernah sepi dari tudingan, demo-demo, dan pemberitaan tentang korupsi.Mereka juga berperan dalam korupsi dalam kapasitas sebagai decision maker dan dader administrative. DPRD dan kejaksaan pun sarang para mafia. Siapa harus teriak siapa?Pencuri tetap melindungi pencuri. Maling akan berkolaborasi dengan maling. Penjahat tahu di mana sarang penjahat.
Ekspektasi apa yang didengungkan kalau pemimpin Maluku nanti merupakan seorang koruptor? Lagi-lagi Maluku terpuruk. Terpuruk karena kesalahan rakyat untuk memilih pemimpin yang jujur, cerdas, berkarakter, nasionalis, dan tak melanggengkan atau melestarikan dinasti suku dan memprioritaskan keluarga dalam rekrutmen pegawai dan pejabat. Rakyat lebih memilih pemimpin yang kurang pandai berbagi (populis), dan tak humanis. Ada anekdot: pemimpin kita hanya tahu tambah-tambah (+) dan kali-kali (x), tapi tak tahu bagi-bagi (:).
Maluku Tanah Pusaka adalah ode terakhir (laste) yang mengidungkan kerinduan anak-anak Maluku akan pemimpin yang mampu menyatukan perbedaan dan menghilangkan gesekan-gesekan (karena latar belakang agama dan suku). Pemimpin Maluku yang diidam-idamkan adalah sosok yang militan dan berani mempertaruhkan hidup dan kariernya demi Maluku yang aman, bertoleran, humanis, dan dihargai di belantara perpolitikan nasional.
Ia rela mati hanya untuk mengungkap siapa drakula yang telah mencabut ribuan nyawa anak Maluku dan menggiring orang Maluku dalam drama kolosal para barbarian. Rakyat tak butuh pemimpin penjilat, kenyang lupa rakyat. Hancur tidaknya Maluku terpulang kesadaran bersama untuk memilih pemimpin tipikal cerdas, berani, berkarakter, dan mampu mengakomodasi semua kepentingan. Mena Maluku..! (RONY SAMLOY, Jurnalis Senior Maluku).