Konflik Maluku Terkesan By Design dan By Omission
http://www.beritamalukuonline.com/2013/02/konflik-maluku-terkesan-by-design-dan.html
AMBON – BERITA MALUKU. Dari pendekatan pemajuan dan perlindungan terhadap Hak Azasi Manusia, praktis konflik massif yang terjadi di Maluku dalam kurun 1999-2004, dan pertikaian sporadis sejak kurun 2005, 2007, 2009-2013 bisa dikategorisasikan sebagai bagian dari pembiaran dan kelalaian negara. Karena itu, menjadi tugas media untuk memaksa pemerintah untuk memperbaiki kelalaiannya.
’’Terkesan konflik ini sudah dirancang dari jauh untuk meruntuhkan semangat persaudaraan orang Maluku, dan ada pembiaran untuk membuat pertikaian antar kampung terus berlanjut. Dalam kasus (konflik) di Maluku, ada by design (sudah dirancang khusus-red), dan ada by omission (pembiaran),’’ sahut Emy Tahapary, Kepala Kantor Perwakilan Komisi Nasional HAM Maluku dalam dialog publik bertajuk ’’Peran Media terhadap Perlindungan HAM di Maluku di Hotel Amaris, jalan Ponegoro, Urimessing Ambon, Kamis (21/2).
Dialog yang dihelat pengurus Maluku Media Centre periode 2013-2015 itu juga menampilkan narasumber lain, yakni Jhon Dirk Pasalbessy (Fakultas Hukum Unpatti) dan Rudi Fovid, Ketua Pengarah MMC sekaligis mewakili unsur pers.
Tahapary menyahuti itu untuk mengklarifikasi pertanyaan peserta, Rony Samloy, yang mempersoalkan indikasi by omission dalam penanganan pertikaian saudara di Maluku sejak 1999-2004 hingga konflik antar kampung yang masih terjadi hingga saat ini.
Tahapary mengungkapkan, dalam kasus bentrokkan antara Tuhaha-Siri-sori Kristen, misalnya, sesuai laporan akhir dari masyarakat setempat, hingga kini masih sering terdengar bunyi tembakan senjata organik.
’’Tak tahu jenis apa, tapi masyarakat bilang bunyi tembakannya ’tak bum, tak bum’. Saya heran, kenapa ada polisi, tapi masih saja ada bunyi letusan senjata api. Berarti ada pembiaran. Tak mungkin warga sipil bisa tahan senjata dengan bebas karena melanggar aturan,’’ sebutnya.
Begitu pun dalam kasus Hualoy-Sepa, kata Tahapary, ada semacam pembiaran dari aparat keamanan karena kejadian itu terjadi tak jauh dari pos keamanan.
’’Di Siri-sori Salam, ketika orang mau bangun kubah masjid, ada provokasi, bahwa lebih baik urung saja dan uang itu untuk beli senjata karena kampung tetangga pasti sudah punya banyak senjata, padahal setelah diinvestigasi hal itu tak benar, dan ada yang menghembuskan isu itu untuk mengacaukan lagi kondisi Maluku yang sudah mulai tenang,’’ bebernya.
Dalam soal pembuktian pidana, jelas Tahapary, ada tiga jenis alat tajam yang kemungkinan digunakan untuk membunuh warga Sepa, yakni parang, linggis, dan mancadu (kapak).
’’Apapun alasannya, tiga benda ini bisa digunakan untuk membunuh, dan itu dijadikan alat bukti sesuai rekomendasi kita,’’ sambungnya.
Sebelumnya, menurut Pasalbessy, orang sempat mempersoalkan jenis parang yang digunakan saat bentrok Hualoy-Sepa.
’’Parang yang dimaksudkan di sini parang yang digunakan ke kebun, tak bisa digunakan untuk membunuh orang. Tapi, dalam pembuktian, parang kebun pun masuk kategori alat bukti. Benda di depan saya (mik) ini, kalau bisa digunakan untuk membunuh, ya bisa dijadikan alat bukti,’’ terang kandidat doktor ilmu hukum pidana ini. (ros)
’’Terkesan konflik ini sudah dirancang dari jauh untuk meruntuhkan semangat persaudaraan orang Maluku, dan ada pembiaran untuk membuat pertikaian antar kampung terus berlanjut. Dalam kasus (konflik) di Maluku, ada by design (sudah dirancang khusus-red), dan ada by omission (pembiaran),’’ sahut Emy Tahapary, Kepala Kantor Perwakilan Komisi Nasional HAM Maluku dalam dialog publik bertajuk ’’Peran Media terhadap Perlindungan HAM di Maluku di Hotel Amaris, jalan Ponegoro, Urimessing Ambon, Kamis (21/2).
Dialog yang dihelat pengurus Maluku Media Centre periode 2013-2015 itu juga menampilkan narasumber lain, yakni Jhon Dirk Pasalbessy (Fakultas Hukum Unpatti) dan Rudi Fovid, Ketua Pengarah MMC sekaligis mewakili unsur pers.
Tahapary menyahuti itu untuk mengklarifikasi pertanyaan peserta, Rony Samloy, yang mempersoalkan indikasi by omission dalam penanganan pertikaian saudara di Maluku sejak 1999-2004 hingga konflik antar kampung yang masih terjadi hingga saat ini.
Tahapary mengungkapkan, dalam kasus bentrokkan antara Tuhaha-Siri-sori Kristen, misalnya, sesuai laporan akhir dari masyarakat setempat, hingga kini masih sering terdengar bunyi tembakan senjata organik.
’’Tak tahu jenis apa, tapi masyarakat bilang bunyi tembakannya ’tak bum, tak bum’. Saya heran, kenapa ada polisi, tapi masih saja ada bunyi letusan senjata api. Berarti ada pembiaran. Tak mungkin warga sipil bisa tahan senjata dengan bebas karena melanggar aturan,’’ sebutnya.
Begitu pun dalam kasus Hualoy-Sepa, kata Tahapary, ada semacam pembiaran dari aparat keamanan karena kejadian itu terjadi tak jauh dari pos keamanan.
’’Di Siri-sori Salam, ketika orang mau bangun kubah masjid, ada provokasi, bahwa lebih baik urung saja dan uang itu untuk beli senjata karena kampung tetangga pasti sudah punya banyak senjata, padahal setelah diinvestigasi hal itu tak benar, dan ada yang menghembuskan isu itu untuk mengacaukan lagi kondisi Maluku yang sudah mulai tenang,’’ bebernya.
Dalam soal pembuktian pidana, jelas Tahapary, ada tiga jenis alat tajam yang kemungkinan digunakan untuk membunuh warga Sepa, yakni parang, linggis, dan mancadu (kapak).
’’Apapun alasannya, tiga benda ini bisa digunakan untuk membunuh, dan itu dijadikan alat bukti sesuai rekomendasi kita,’’ sambungnya.
Sebelumnya, menurut Pasalbessy, orang sempat mempersoalkan jenis parang yang digunakan saat bentrok Hualoy-Sepa.
’’Parang yang dimaksudkan di sini parang yang digunakan ke kebun, tak bisa digunakan untuk membunuh orang. Tapi, dalam pembuktian, parang kebun pun masuk kategori alat bukti. Benda di depan saya (mik) ini, kalau bisa digunakan untuk membunuh, ya bisa dijadikan alat bukti,’’ terang kandidat doktor ilmu hukum pidana ini. (ros)